"Kamu jadi cewek jangan terlalu berani."
"Kamu itu cewek. Apa salahnya sih minta tolong!"
Saya ingat betul dua kalimat tersebut datang dari seorang pria yang hingga kini menjadi sahabat saya.
Alasan mengapa ia sampai mengatakan hal tersebut adalah karena ia sering melihat saya terlalu keras pada diri sendiri.
Awalnya saya menertawakan jika ia sudah mengatakan hal tersebut dengan mimik wajah serius. Tak pernah saya pedulikan meski ia sudah berucap tulus.
Namun ia yang sebetulnya telah membantu menyuarakan suara terdalam dari diri saya, serta saya yang tak pernah mau mendengarkannya, akhirnya membuat monster dalam diri saya keluar bertahun-tahun.
Saat Sakit Psikis dan Tak Tersolusikan
Dulu sebelum menikah, saya memang memiliki kepribadian yang terlalu kuat. Lebih tepatnya, arogan bahkan pada kebutuhan diri sendiri.
Saya tidak suka segala hal yang berunsur kelemahan wanita. Mengeluh, apa-apa gampang minta tolong, atau sedikit-sedikit harus curhat ke orang lain
Bahkan saat sedih pun saya tekan untuk tidak menangis, tidak merutuki kesedihan berkepanjangan.
Saya bisa kuat meski sendirian!
Mudah bagi saya untuk mengalihkan perasaan tidak nyaman. Jalan-jalan sendiri, nongkrong dan makan sendiri, beli buku yang saya suka dan mau, atau apapun itu. Karena saya punya uang dan tidak terikat pada siapapun.
Namun saat menikah dan punya anak, ketika kondisinya berubah 180 derajat, saya tidak bisa lagi melakukan apapun untuk menenangkan diri saat ketidaknyamanan psikis datang.
Akhirnya, otak saya yang suka travelling ke mana-mana. Suka overthinking sendiri.
Pernah saya meminta tolong orang lain untuk membantu masalah saya. Membantu lho ya, bukan curhat. Eh, yang ada malah masalahnya tidak kunjung selesai.
Pikir saya, baru minta tolong. Apalagi curhat. Malah blas nggak akan ada solusinya!
Akhirnya jadilah emosi saya mudah sekali meledak-ledak. Seperti bom waktu yang dulu-dulu terabaikan lalu meledak di masa kini.
Kejadian meminta tolong orang lain yang tak ditolong itulah makin membuat saya tak ingin lagi percaya pada siapapun.
Apalagi prinsip saya, melakukan sesuatu saat ada masalah haruslah bagian dari solusi. Kalau solusi tak terselesaikan, ya ngapain dilakukan?
Merasa sendirian, merasa tak dicintai siapapun, membuat mental saya jatuh terpuruk.
Cukuplah Allah yang Mengisi Tangki Cinta Itu
Sebetulnya, saya tidak memahami bagaimana diri sendiri kok harus memenuhi tangki cinta sendiri.
Lalu saya ingat kawan saya, Citra. Ia pernah mengajak saya dan kawan saya Tari untuk sejenak melakukan refleksi pijat kaki.
"Kita itu harus mencintai diri sendiri. Kerja keras boleh. Tapi ingat kalau kita punya kebutuhan diri sendiri juga," kalau tak salah demikian ucapnya.
Ya, kami bertiga waktu itu berprofesi reporter. Profesi yang sering membuat kami tak sadar, kami wanita dan punya hk untuk dicintai. Kami wanita dan tak bisa melulu disuruh sama keras berjuang seperti kaum pria.
Sejak itulah, saat tinggal di Kalsel, saya sering rutin memperhatikan tubuh. Pergi bekam, refleksi tangan kaki, ke salon untuk perawatan, serta refreshing.
Tapi ya itu tadi, masalah muncul ketika saya berkeluarga dan tak lagi bisa melakukan itu semua. Saya tidak tahu, bahwa sesungguhnya ada cara lain untuk mengisi tangki cinta ke diri sendiri.
Bagi umat muslim, jawaban itu ada pada Allah. Zat yang maha memiliki kasih sayang.
Beberapa waktu yang lalu, sempat saya mendengar ceramah tentang mengapa ada orang yang mudah marah. Mudah berkata-kata yang bisa menyakiti orang lain.
Jleb, saya merasa itu saya!
Nah, menurut ustadnya waktu itu, hal tersebut dikarenakan orang tersebut kurang terpenuhi tangki kasih sayangnya.
Padahal kalau saja dia mau minta, ya minta saja pada Allah untuk dipenuhi tangki cintanya. Caranya ya dengan ibadah.
Nyatanya, kata-kata ustad tersebut ada benarnya. Saat ramadan kali ini ketika saya mencoba memerbaiki hubungan vertikal ke Allah, saya akui, rasa ingin mudah marah itu mulai mereda.
Padahal saya masih seorang wanita yang kini tak bisa lagi ke salon, jalan-jalan atau nongkrong sendiri, beli ini itu sendiri.
Jadi definisi berterima kasih pada diri sendiri bukanlah lalu menjadi orang yang mengutamakan kebutuhan diri sendiri. Tapi kita mesti menjaga hubungan dengan pemilik dan pencipta kita, yaitu Allah SWT. Karena bagaimana kita mencintai-nya akan terefleksi pada bagaimana kita mencintai diri sendiri dan orang lain.
Post a Comment
Post a Comment