Sumber foto Instagram @elsamaharrani |
"Kalau kita menolong orang maka kita
akan ditolong juga dengan oleh Allah.”
Ucapan tersebut saya dengar saat Elsa
Maharrani menceritakan bagaimana bisnis busana miliknya bisa tumbuh melesat
hanya dalam waktu singkat. Elsa sendiri bahkan tidak menyangka, bisnisnya bisa
berkembang secepat itu.
Maharrani, sebuah merek pakaian milik
Elsa ini sebetulnya berdiri sejak Februari 2019. Uniknya saat pandemi Covid-19
menerjang setahun kemudian di tahun 2020, usaha Elsa justru bertumbuh tiga kali
lipat.
Tidak hanya sukses dengan bisnis
Maharrani. Kesuksesan Elsa juga bertumbuh bersama keberadaan sebuah kampung
yang lantas berubah menjadi kampung jahit.
Selama menyimak berbagai penuturan Elsa
tentang tumbuh kembang bisnisnya tersebut, saya terkesan dengan beberapa cerita
yang cukup inspiratif dari sosok Elsa, Maharrani, serta bagaimana bergeraknya
perekonomian sebuah kampung jahit yang ada di sekitar Maharrani.
Ini dia beberapa catatan dari saya yang
semoga bisa menjadi inspirasi positif bagi saya dan siapapun yang membaca
tulisan ini.
Terbiasa Berdagang dari Kecil
Sembilan dari sepuluh rezeki ada di
pengusaha. Dengan sembilan pintu rezeki yang bisa terbuka untuk seseorang yang
mau berdagang itulah kemudian yang menjadi salah satu alasan Elsa untuk
menekuni profesi sebagai pengusaha hingga sekarang.
Bagi Elsa sendiri, menjadi pedagang
bukanlah hal baru untuknya. Wanita kelahiran 5 Maret 1990 ini bahkan mengaku
sudah menjadi penjual sejak kelas 2 SD.
Semua berawal sejak krisis moneter yang
terjadi di tahun 1998. Meski orang tuanya berstatus PNS, namun dengan
keberadaan 10 anak, akhirnya orang tua Elsa merasa perekonomian keluarga mereka
pun cukup berat.
“Jadi akhirnya ibu turun tangan sampe
bilang gini, mau nggak anak-anak jualan? Kebetulan saya sama abang waktu itu
yang ditawarin,” tutur anak ke dua dari 10 bersaudara tersebut.
Akhirnya sejak kelas 2 SD, Elsa mulai
berkenalan dengan profesi pedagang. Saat itu ia berjualan kue hasil buatan
ibunya dengan dijajakan keluar masuk kampung.
Uniknya karena masih duduk di bangku
kelas 2 SD, Elsa saat itu belum terlalu mahir dalam berhitung. Ia mengaku di
usianya waktu itu baru mengenal pelajaran penjumlahan dan pengurangan. Namun
gara-gara terus diasah dalam kegiatan menjual kue yang dilakoninya, akhirnya
Elsa pun jadi mahir Matematika. Bahkan gara-gara itu juga, ia sampai mendapat
peringkat pertama di kelas.
Kegiatan berdagang pun terus ia lakukan
hingga SMP dan kuliah. Makin hari, barang yang dijual Elsa juga makin beragam.
Sampai-sampai teman-temannya di bangku kuliah menjulukinya dengan palu gada.
“Kan
ada temen di kelas gitu yang bilang. Yang saya ini kalau jualannya ini mulai
dari sendal jepit sampai lulur bali. Sampai
slide kuliah sampai pulsa itu ada. Pokoknya palu gada deh, apa lu mau gue ada,”
kenang Elsa.
Padahal,
Elsa kala itu mengenyam pendidikan S1 di jurusan ilmu kesehatan masyarakat. Bukan
di jurusan ekonomi. Pada akhirnya ia menekuni bisnis karena menuruti nasihat
dosennya untuk tidak berbisnis di bidang kesehatan.
“Karena
gini, dosen saya dulu pernah bilang gini. Kesehatan itu baik. Bisnis itu juga
baik. Tapi kalau berbisnis dalam kesehatan itu gak baik. Gitu. Iya dulu dosen saya
bilang gitu. Jadi kalau bisnis kesehatan itu nggak baik. Maksudnya itu bisnis.
Kesehatan yang dibisniskan itu nggak baik.
Kalau kesehatan dibisnisin, kalau kesehatan tolongin aja orang gitu ya.
Iya tolongin aja. Bantuin aja udah jangan dua-duanya di situ. Pilih salah satu.”
Di
masa kuliah, Elsa sudah menikah dan memiliki anak. Bahkan saat wisuda, ia dalam
kondisi hamil anak ke dua. Inilah yang membuat Elsa tidak terpikir untuk
mencari-cari pekerjaan apalagi yang berkaitan dengan ilmu kuliahnya.
Karena
kasihan dengan anak-anak yang harus ditinggal jika ia memilih berkarir di luar
rumah, akhirnya Elsa kembali berjualan. Usai lulus kuliah, Elsa mencoba
berjualan hijab. Dengan modal Rp3 juta, Elsa mendaftar menjadi agen beberapa
merek pakaian terkenal di Indonesia.
Ia
mengawali usahanya ini dengan membeli 10 potong pakaian. Nyatanya, semuanya
tidak laku. Meski sempat mengaku merasa jatuh, Elsa lantas belajar dan mencari
tahu kiat sukses berjualan dari teman-temannya yang sudah berhasil, terutama yang
telah berhasil lewat marketplace.
Setelah
tahu ilmunya, Elsa lantas melanjutkan usahanya kembali dengan mendaftar sebagai
distributor dan agen di beberapa agen merek busana terkenal. Semua itu
dilakoninya dari tahun 2016 hingga awal tahun 2018.
Kisah Awal Berdirinya Maharrani
Pandemi
Covid-19 yang pernah terjadi beberapa tahun lalu memang cukup mengguncang
perekonomian masyarakat. Apalagi bagi desa tempat Elsa tinggal di Kuranji yang
berada di perbatasan Kabupaten dan Kota Padang.
Jangankan
karena efek pandemi, dalam kondisi sebelumnya saja masyarakat di sana banyak
yang menggantungkan hidup dari profesi petani atau kuli bangunan. Bisa dibilang,
hampir mayoritas masyarakat di sana berada dalam kondisi ekonomi menengah ke
bawah.
Hal
itulah yang membuat Fajri Gufran Zainal, suami dari Elsa terpikir untuk
mengajak istrinya membuat sebuah usaha yang bisa menggerakkan perekonomian
masyarakat. Terutama yang ada di kampung halamannya tersebut.
Elsa dan suaminya, Fajri Gufran Zainal. Sumber foto: Instagram @elsamaharrani |
Di
awal 2019 akhirnya berdirilah Maharrani, sebuah usaha produksi pakaian yang
tenaga kerjanya berasal dari para ibu rumah tangga yang tinggal di sekitar
rumah mereka.
Lambat
laun ketika Maharrani makin besar, makin banyak juga masyarakat yang terlibat dalam
proses produksi. Hingga akhirnya terciptalah Kampung Jahit di daerah Kuranji Kota
Padang.
Keberadaan
Kampung Jahit ini memang pada akhirnya cukup membantu perekonomian masyarakat
di daerah tersebut. Para wanita yang bekerja sama dengan Elsa dan Maharrani pun
bahkan bisa memiliki penghasilan tetap di atas upah minimum regional Kota
Padang.
Kini,
Maharrani bahkan sudah memiliki agen dan reseller dari Aceh sampai Papua.
Bahkan produk Maharrani sudah bisa dijumpai di salah satu mall di Malaysia.
Terkesan Mustahil, tapi Beberapa Hal Berikut Justru tak Berlaku pada Maharrani
Kini Maharrani sudah bisa diperhitungkan
sebagai merek busana asal Indonesia. Dengan tetap berpusat di Padang Sumatera
Barat, Maharrani hingga kini sudah memiliki reseller di banyak daerah di
Indonesia.
Nyatanya, ada beberapa hal unik di balik
bisnis busana Maharrani sejak awal berdiri hingga sekarang.
1.
Maharrani mematahkan anggapan bahwa usaha garmen hanya bisa ada di Jawa
Suatu ketika di saat Elsa akhirnya
berhasil menjadi agen dan distributor pakaian, suami Elsa, Fajri Gufran Zainal
berujar padanya. “Ini kalau
jualan-jualan terus, social impactnya apa sih? Yang kaya kan kita sendiri. Terus,
nggak bisa gitu kita produksi gitu.”
Intinya, Elsa diminta untuk meningkatkan
kapasitas diri. Tapi permintaan suaminya saat itu ia tolak mentah-mentah. Dalam
perhitungan Elsa, mana mungkin membuka usaha rumah jahit di Padang, Sumatera
Barat tempat mereka tinggal. Karena menurutnya, budaya masyarakat Minang adalah
menjadi pedagang.
Selain itu menurut Elsa, orang yang ahli
memproduksi barang adalah orang Jawa. Ia sangat paham, jika urusan konveksi
garmen, di Jawa memang cukup banyak.
Kondisi tersebut tidak demikian halnya di
Padang. Bahkan untuk bahan baku saja harus mendatangkan dari Jawa.
Meski Elsa menganggap mustahil, namun suami
Elsa tetap melihat hal tersebut bisa dilakukan di Padang. Karena terus menerus
diyakinkan oleh suaminya, akhirnya Elsa mencoba terjun di dunia bisnis busana
di awal tahun 2019.
2.
Tidak bisa menjahit bukan berarti tidak bisa memproduksi busana
Karena tidak bisa menjahit, Elsa pun
menawari seorang ibu penjahit untuk diajak kerja sama. Awalnya ada salah satu
penjahit yang didatangi Elsa. Namun saat diajak kerja sama, upah menjahit yang
diminta cukup tinggi.
Akhirnya, bertemulah Elsa dengan seorang
mahasiswa jurusan tata busana dari Universitas Negeri Padang. Mahasiswa inilah
yang kemudian menjadi penjahit pertama dari usaha yang dimiliki Elsa waktu itu.
Semua alat dan bahan jahit berasal dari
Elsa. Mahasiswa ini tinggal menjahit saja.
Di lain waktu, Elsa bertemu dengan salah
seorang pejahit rumahan yang sebelumnya terbiasa menjahit di pabrik garmen di
Jakarta. Dalam sehari, penjahit ini mampu menjahit sebanyak empat hingga lima
potong baju. Dengan upah menjahit yang waktu itu Elsa terapkan sebesar Rp25
ribu per baju, penjahit ke dua ini pun bisa mendapatkan upah sekitar Rp150 ribu
dalam sehari. Bahkan dalam seminggu, penjahit tersebut bisa mendapatkan upah Rp
500 hingga Rp700 ribu.
3.
Ibu yang bekerja di rumah juga bisa bekerja secara profesional
Ada yang sempat bingung saat melihat Maharrani
yang justru mengajak para ibu rumah tangga untuk membangun dan mengembangkan
sebuah bisnis busana. Karena biasanya, para ibu rumah tangga ini tidak bisa
terikat waktu dan sulit untuk mengikuti target. Sementara Maharrani sendiri diakui
Elsa adalah sebuah usaha yang makin hari makin menambah target pencapaiannya. Mulai
dari produksi hingga penjualan.
Elsa yang awalnya memilih menjadi ibu rumah tangga, kini bisa berkiprah dengan usaha busana brand Maharrani-nya. Sumber foto: Instagram @elsamaharrani |
Namun
di balik itu, Elsa cukup sadar dengan kondisi permasalahan di Indonesia. Ia sendiri
mengaku dan merasakan, menjadi ibu rumah tangga namun ingin berkarya atau
berkarir tidaklah bisa sama seperti anak muda yang bekerja di luar rumah dari
pagi sampai sore.
Seorang
wanita yang memutuskan menikah dan punya anak, kerap dihadapkan pada
permasalahan pilihan. Meraka bisa berkarir di luar rumah. Namun di sisi lain,
ada nasib anak-anak yang ditinggal bekerja dan harus dipikirkan.
“Nanti
anaknya gimana gitu. Nah jadi banyak ibu-ibu rumah tangga yang akhirnya memilih
untuk di rumah. Tapi sebagai wanita juga membutuhkan apresiasi untuk diri
sendiri gitu. terus saya juga memikirkan gimana, jadi bagaimana untuk mengscale
up diri ibu-ibu rumah tangga itu,” tutur Elsa.
Karena
itulah dengan dibentuknya Kampung Jahit Maharrani, Elsa juga memberikan
pelatihan menjahit serta membina pemberdayaan para wanita yang ikut bekerja
menjadi penjahit di Maharrani.
Tercatat,
sekitar 60 persen pekerja di Maharrani adalah perempuan yang bekerja sebagai
ibu rumah tangga. Adapun penjahit produk Maharrani di antaranya ada juga yang merupakan
wanita difabel. Uniknya, tidak ada pendamping khusus dalam pelatihan untuk para
difabel ini.
Beberapa Faktor Penentu Kesuksesan Maharrani
Jika melihat kondisi Elsa yang tidak
bisa menjahit, tidak punya pengalaman dan ilmu bisnis serta menjadi pengusaha,
mungkin secara logika, rasanya mustahil usaha Maharrani miliknya bisa tumbuh
dengan begitu cepat.
Dari pengakuan Elsa, ternyata ada
beberapa hal yang bisa dibilang menjadi faktor penentu mengapa Maharrani bisa
tumbuh dan berkembang dengan begitu cepat. Mulai dari faktor SDM terdekat di
sekelilingnya, sampai jalur langit, istilah untuk keberhasilan yang hanya Tuhan
lah penentunya.
1. Visi
bisnis yang tidak hanya untuk keuntungan diri sendiri
Jika
dibilang usahanya sukses, Elsa sendiri mengaku kalau semuanya itu bisa jadi
karena niat awal yang mereka miliki sebelum membangun sebuah bisnis. Sejak awal,
ia dan suaminya berniat ingin punya bisnis yang tidak hanya untuk diri mereka
sendiri.
”Kita
punya prinsip itu seperti Quran surat Muhammad ayat 7 gitu. Terus sebaik-baik
manusia adalah orang yang paling banyak bermanfaat bagi orang banyak gitu,”
ujar Elsa.
Dari
awal niat yang sudah dibentuk inilah yang membuat setiap ada tantangan yang
terjadi dalam tumbuh kembang Maharrani sejak awal, nyatanya selalu saja da
jalur langit atau pertolongan Allah yang datang.
Beberapa
kali kejadian pertolongan dari Allah itulah yang membuat Elsa mengaku, ia dan
suaminya selalu yakin bahwa target usaha yang makin hari makin mereka
tingkatkan akan selalu ada jalan keluarnya.
“Kalau
saya cuman jadi distributor berarti kan saya cuman hanya diri saya dan reseller
saya gitu. Tapi kalau saya jadi produsen, itu saya bisa mengelola para penjahit
saya, bisa mengelola agen dan reseller,” begitu alasan Elsa.
2.
Keberadaan suami dan keluarga terdekat yang menjadi support system utama
Elsa
dan suaminya bisa dikatakan pasangan yang saling melengkapi. Jika Elsa hobi
berdagang, suaminya lah yang membuatkan sistem untuk dijalankan oleh Elsa. Hal ini
mereka jalankan bersama sejak menjalankan usaha penjualan ponsel, reseller
baju, hingga mendirikan dan membesarkan Maharrani.
“Memang
suami lebih ke apapun prakarsa ya pemikiran yang ngatur dari awal sampai akhir.
Nah saya memang hobinya cuman jualan-jualan, jualan laku gitu-gitu itu. Yang intinya
kalau saya disuruh mikir, ah juga nggak sanggup juga sebenernya sih,” aku Elsa.
Jika
dalam dunia bisnis, Elsa mengaku kalau ia adalah tipe orang marketing. Sedangkan
suaminya lebih ke sistem. Semua peraturan yang ada di Maharrani pun dibuatkan
oleh suaminya.
Selain
suami, ada juga bagian dari keluarga Elsa yang turut andil dalam tumbuh kembang
Maharrani. Salah satunya adalah adiknya yang memiliki latar belakang ilmu hukum
dan kemudian mengambil peran sebagai HRD.
“Bahkan
kita kepada karyawan itu pakai kontrak kerja. Ini sangat membantu saya gitu. Jadi
Maharrani itu bukan Elsa Maharrani aja. Tapi ada timnya gitu,” aku Elsa.
3. Menerapkan
hasil dari pengalaman dan ilmu saat menjadi agen dan reseller
Dalam
memulai dan menjalankan Maharrani, Elsa sangat terbantu dari pengalamannya saat
menjadi agen dan reseller brand busana merek besar di Indonesia. Diakuinya saat
memulai bisnis Maharrani, ia sudahmemiliki pasar, sudah tahu trik dalam menjalankan
penjualan.
“Jadi
ketika saya jadi produsen, saya udah tahu gimana trik-triknya yang di hilir
gitu. Jadi kalau jadi di hilir tuh kayak gini, katalognya gimana. Terus
bagaimana produk yang disukai pasar gitu berdasarkan pengalaman saya jadi
distributor,” terang Elsa.
Elsa
mera terus belajar adalah hal yang penting sebagai bagian dari pengembangan
bisnisnya. Saat ia ingin menaikkan level usahanya, itu artinya ia harus mencari
mentor atau ilmu lain. Proses belajar yang ia lakukan diakuinya mulai dari baca
buku hingga melihat video dari Youtube.
4.
Kelihaian tim manajemen dalam menganalisa pasar dan mewujudkan target usaha
Bisa dibilang Maharrani memang memiliki
konsep yang berbeda dengan kebanyakan garmen atau usaha konveksi di Jawa.
Maharrani memiliki sistem kampung jahit. Ada sebuah tim yang bekerja sama
dengan memberdayakan para wanita di sekitarnya.
Dalam menggerakkan dan memberdayakan
masyarakat di Kampung Jahit, Elsa mengaku ia dan timnya akan melakukan riset terlebih
dahulu. “Rahasianya adalah kita harus memahami kebutuhan customer itu apa. Nah
kita untuk di Maharrani kita melakukan riset gitu. Jadi kita meletakkan diri kita sebagai
customer.”
Misalnya saat pandemi beberapa tahun
yang lalu. Pada awalnya Maharrani banyak memproduksi baju-baju pesta, untuk nikahan,
atau baju-baju lain dengan kesan terlalu glamor gitu. Tapi ketika pandemi datang,
orientasi orang pada pilihan busana pun berubah.
“Orang nggak pergi kondangan lagi, orang
nggak perlu di pesta lagi. Nah di situlah kita memutuskan, kita bikin baju yang
dibutuhkan oleh orang. Market kita tuh kita pindahin dari ibu-ibu pergi-pergi pesta,
sekarang kita pindahin jadi ibu-ibu yang bekerja. Jadi kalau orang kerja itu
kan kantor Senin sampai Jumat itu butuh baju apa gitu. Nah di situlah kita
bikin baju dinas gitu,” terang Elsa.
Maharrani juga terus meningkatkan target
pencapainnya. Dalam setiap target, Elsa akui, target tersebut harus diikuti
dengan solusi bagaimana agartarget tersebut bisa tercapai. Setelah target
tersebut tercapai, maka Maharrani harus membuat target baru dan kembali
memikirkan cara pencapaiannya.
“Jadi kita adain target dulu. Dari
target itu baru kita turunkan. Ketika target kita Rp3 M, yang kita butuhkan
admin berapa orang gitu, penjahit berapa orang. Nah kalau target kita Rp12 M,
kita butuh spesifikasi adminya yang bagaimana, terus kita butuh toolsnya apa. Misalnya
di awal-awal kita nggak butuh web, kita nggak butuh ini, enggak butuh itu. Kita
cuma jual aja. Tapi ketika kita udah ada target, kita jadinya mencari pasar
yang lebih baru gitu. Kita harus cari pasar baru misalnya, dengan bikin web,
bikin lapak jualan. Jadi kita explore lagi,” terang Elsa.
Intinya
menurut Elsa, harus ada strategi dan langkah-langkah lain dalam setiap target
yang dibuat. Tidak bisa melakukan hal yang sama untuk hasil yang berbeda.
5.
Meningkatkan kapasitas para penjahit meski mereka bekerja di rumah
masing-masing
Dalam
mengelola dan memberdayakan ibu-ibu penjahit, diakui Elsa, awalnya dulu memang
serabutan. Target ke penjahit pun asal selesai.
Tapi
saat tim sudah banyak, mulailah dibangun sistem manajemen. Mulai dari sistem
Standar Operasioanal Prosedur atau SOP, sistem kontrak kerja, sampai sistem
bagi hasil.
Begitu
halnya dengan tim. “Terus bagaimana membangun tim, itulah jadinya ada yang
namanya tim pemasaran, ada tim produksi. Dari tim produksi, kita juga ada di
bawahnya, fashion designer. Ada tim-tim kita yang bergerak di sana di situ.”
Keberadaan
penjahit sendiri ada di bawah tim produksi. Kemudian ketika Maharrani menerima
penjahit, mereka pun memberikan kontrak kerja.
Lalu
ketika ada konsumen yang memesan baju, akan ada orang yang memberi tahu ke
penjahit mulai dari menunjukkan siapa konsumen yang memesan, apa
latarbelakangnya, dan jahitan pun harus sesuai standar.
“Jadi
kita menyiapkan dua orang kuat. Dua kali quality control gitu. Terus kita juga
sering mengadakan FGD gitu. Sekali sebulan kita mengadakan pertemuan dengan
para Mitra jahit. Di situ kita adakan kajian. Setelah adain kajian, kita juga
memberikan bagaimana mengelola, memberikan mereka bagaimana cara menjahit yang
benar,” terang Elsa.
Kajian rutin bersama para mitra jahit dan tim Maharrani. Sumber foto: Instagram @kampungjahitmaharrani |
Dalam
pertemuan tersebut juga dipaparkan bagaimana target Maharrani, bagaimana Maharrani
saat ini, serta bagaimana posisinya. Itulah yang dilakukan setiap bulan.
Sistem
ini juga menjadi solusi setiap kali ada masalah yang datang dalam bisnis Maharrani.
Misalnya mulai dari adanya tenaga kerja yang tidak sesuai SOP, maka ia pun akan
keluar sendiri.
Mimpi Elsa untuk Masa Depan Bisnis dan Pemberdayaan Masyarakat
Kini,
Maharrani telah tumbuh dan berkembang dengan pesat sebagai sebuah UMKM. Taraf kehidupan
masyarakat di sekitar atau dalam Kampung Jahit pun makin meningkat.
Kiprah
Elsa dalam mengembangkan bisnis yang bisa memberi dampak bagi masyarakat luas di
sekitarnya inilah yang turut menjadi nilai plus dari Elsa dalam ajang SATU
Indonesia Awards. Di tahun 2021, Elsa menerima apresiasi bidang kewirausahaan
dalam ajang tersebut.
Dari
penghargaan tersebut itulah Elsa mendapatkan hadiah berupa uang yang kemudian
ia gunakan untuk membangun workshop menjahit.
Jika
ditanya apa mimpinya ke depan, ternyata apa yang Elsa harapkan tak hanya terus
berkembangnya Maharrani. Tapi juga kampung jahit yang merupakan bentuk
pemberdayaan masyarakat.
“Kita
bermimpi Maharrani ini bisa berkembang. Sehingga proses produksinya lebih
banyak. Dan kampung jahit itu nggak hanya ada di Padang saja. Kita juga mimpi
ada di daerah-daerah lain,” harap Elsa.
Dengan
keberadaan Kampung Jahit, secara tidak langsung menurut Elsa, ada perekonomian
banyak keluarga yang terbantu dari para ibu yang bisa bekerja meski cukup di rumah
saja. Para wanita ini bisa membantu nafkah keluarga, namun tetap dan tidak
meninggalkan rumah apalagi anak.
Post a Comment
Post a Comment