Kondisi sebuah jalan di Lamongan. Sumber foto: dokumen pribadi |
Tumpukan sampah di mana-mana dan asap pembakaran sampah yang membuat saya tidak bisa bernafas dengan lega saat pagi dan sore, menjadi hal yang mengganggu buat saya akhir-akhir ini.
Sebetulnya saya masih tinggal di Lamongan. Namun sejak Juni kemarin, saya pindah tempat tinggal ke daerah yang berbeda kecamatan.
Uniknya meski sama-sama Lamongan, kok ya bisa berbeda cara masyarakatnya dalam mengelola sampah.
Di tempat ayah ibu saya, masyarakatnya lumayan sadar akan bank sampah, sampai pembuatan pupuk dengan memanfaatkan limbah sampah organik.
Sementara perumahan tempat saya tinggal sebelumnya, yah, lumayan sih, ada pengangkutan sampah rutin. Itu saja yang menjadi andalannya.
Ndilalah di desa tempat saya tinggal sekarang, jangankan ada pilah-pilih sampah, pengangkutan sampah rutin pun tidak ada.
Akhirnya masyarakat mengandalkan mengolah sampah dengan membakarnya. Hal itu rutin bisa kerap saya lihat saat pagi atau sore.
Sementara itu jika keluar desa, saya menjumpai tumpukan-tumpukan sampah yang asal dibuang di pinggir jalan yang sepi.
Untungnya sekolah tempat anak saya belajar memiliki program sedekah barang bekas. Paling tidak, ini jadi bentuk upaya mengurangi masalah sampah di desa tempat saya tinggal sekarang.
Rencana nantinya, sampah terutama barang bekas plastik akan dipilah-pilih dan diolah menjadi bijih plastik. Tentunya nilai ekonomis sampah pun jadi bisa meningkat.
Program sedekah sampah yang dilaksanakan setiap hari Selasa di MI MUTU Lopang. |
Kadang saya berpikir, andai makin banyak masyarakat yang minim sadar masalah sampah, tentunya ini bisa menjadi bom waktu bagi Indonesia dan bahkan bumi yang kita tempati saat ini.
Namun pikiran saya berhenti saat saya menjumpai sebuah berita internet, ternyata Kabupaten Banyumas kini memiliki sistem pengelolaan sampah yang keren. Padahal sebelumnya, daerah ini pernah mengalami darurat sampah.
Jika bisa dibilang pahlawan, mungkin orang yang tepat untuk julukan itu adalah Arky Gilang Wahab dan Greenprosa. Greenprosa ini adalah sebuah perusahaan pengelolaan sampah yang menggunakan teknologi biokonversi maggot. Kerennya, mereka ini terbesar lho se Indonesia!
Logo Greenprosa. Sumber foto: Facebook Arky Gilang Wahab |
Tak hanya bercerita tentang darurat
sampah yang ada di Banyumas serta bagaimana Arky dan Greenprosa kemudian mampu mengatasi
masalah sampah, tulisan saya kali ini akan mengupas apa dan bagaimana tentang
maggot, serta bagaimana si belatung ini bisa berjasa menjadi penyelamat masalah
sampah.
Belajar Membuat Maggot dari Eyang Google
Google memang bisa menjadi sumber ilmu pengetahuan andai kita bisa menggunakannya. Dan itulah yang dirasakan Arky.
Usaha maggot yang kini cukup besar dikelolanya itu semuanya berawal dari upayanya mencari tahu bagaimana budidaya maggot bisa ia lakukan.
Ini dikarenakan pada dasarnya Arky
justru memiliki latar belakang pendidikan bidang Geodesi dan Geomatika Institut
Teknologi Bandung atau ITB. Ia mengaku tidak memiliki dasar ilmu untuk bisa membuat
maggot.
Arky Gilang Wahab. Sumber foto: web ASTRA |
“Saya kebanyakan ilmunya dari eyang Google.
Sama dari ini sih, dari paper-paper internasional. Kita baca-baca gitu,”
jawabnya yang waktu itu belum menemukan tulisan terbitan nasional yang bisa mengungkap
dengan detail tentang maggot.
Karena memelajarinya sendiri, Arky
sampai menghabiskan waktu selama satu tahun lebih hanya untuk belajar dan percobaan
cara membuat maggot.
Proses awal ini ia lakukan bersama adik ipar,
teman, dan tetangganya. Lalu di tahun 2019 akhir atau sekitar tahun 2020, ada
rekan-rekan dari Jurusan Peternakan Universitas Jenderal Sudirman yang turut
membantu Arky dalam melakukan penelitian budidaya maggot.
“Kami
memulai riset pada akhir tahun 2018 akhir. Hanya menghasilkan 10 Kg maggot per
hari. Hanya melibatkan 4 orang dengan sumber pakan dari warga dan pasar
tradisional. Kami melakukan budidaya di belakang rumah dengan box. Dan alhmadulillah
mulai menghasilkan telur larva,” terang Arky.
Pria kelahiran 8 September 1986 ini lalu
menjelaskan bagaimana garis besar siklus membuat maggot. Berawal dari telur, maggot
tersebut lalu ditetaskan selama lima hari hingga kemudian menjadi baby larva.
Dalam bentuk setelah 5 hari itulah, baby
larva kemudian diberi makan sampah organik. Setelah itu 10 hari kemudian
barulah bisa dipanen. “Itu sih pada garis besarnya. Nanti kita sisihkan sekitar
5 sampai 10 persen untuk menjadi indukan,” imbuh Arky.
Sampah organik yang sudah diolah menjadi bubur untuk makanan maggot. Sumber foto: Instagram @greenprosa |
Indukan ini kemudian dimasukkan ke dalam
kandang lalu menjadi lalat. Lalat ini kawin dan bertelur. Pejantannya mati
setelah kawin. Sedangkan induknya mati setelah bertelur. Dan begitulah seterusnya
siklus yang ada.
Maggot, Si Rakus yang Mampu Menyelamatkan Masalah Sampah
Saat ingat teman saya yang ingin
budidaya maggot, yang kemudian baru saya tahu kalau maggot itu adalah belatung,
saya lalu berpikir, untuk apa belatung kok dibudidayakan ya?
Maggot BSF. Sumber foto: Instagram @greenprosa |
Dari hasil tanya-tanya ke suami, dan
mengulik Instagram Greenprosa di @greenprosa, saya menemukan fakta kalau keberadaan
maggot terutama Maggot BSF atau Black Soldier Fly ini ternyata cukup besar
manfaatnya. Mulai dari mengatasi masalah sampah terutama sampah organik, hingga
ketika usai panen, hasilnya dapat digunakan untuk berbagai macam produk.
Untuk urusan pengelolaan sampah, Maggot
BSF dapat mengurai sampah organik hingga 5 sampai 10 kali berat badannya. Rakus
banget, pikir saya! Karena itulah Maggot BSF sangat cepat dan efisien dalam
mengelola sampah.
Sedangkan usai panen, Maggot BSF terutama
yang ada di Greenprosa, bisa menghasilkan dua macam produk. Produk pertama
adalah Maggot BSF fresh, sedangkan produk ke dua adalah biofrass pupuk organik.
Pupuk dari maggot. Sumber foto: Instagram @greenprosa |
Maggot BSF yang masih segar atau fresh
nantinya dapat digunakan sebagai pakai ikan atau hewan ternak. Tujuan yang sama
juga bisa digunakan untuk Maggot BSF yang sudah dikeringkan.
Kalau kata suami saya, penggunaan maggot
pada pakan ternak ini dikarenakan kandungan protein yang cukup tinggi pada
maggot. Bahkan katanya kalau di luar negeri, bisa dikonsumsi manusia juga
karena saking tinggi kandungan proteinnya.
Produk ke dua yaitu biofrass atau pupuk
organik. Biofrass ini memiliki kandungan nutrisi yang cukup kaya. Saat digunakan
sebagai pupuk, biofrass dapat meningkatkan pembuahan dan mencegah keberadaan
hama.
Penjelasan inilah yang kemudian menjawab
pertanyaan saya, mengapa kok sampai ada orang yang mau membudidayakan belatung
atau maggot. Keberadaan maggot yang rakus akan sampah organik sebagai
makanannya inilah yang membuat masalah sampah jadi bertemu solusinya.
Uniknya, si lalat Maggot BSF ini tidak
membawa dan menyebarkan penyakit seperti lalat lainnya terutama si lalat hijau,
lho! Pasalnya, lalat ini tidak menggigit ketika hinggap, serta berkembang biak
kemudian mati saat dewasa.
Berawal dari Masalah Sampah di Banyumas hingga Bekerja Sama dengan Taman Safari Indonesia
Di tahun 2018, Kabupaten Banyumas pernah
mengalami darurat sampah. Sampai-sampai timbunan sampah pun terjadi di alun-alun
dan di tengah-tengah kota.
Darurat sampah ini terjadi akibat
tutupnya tempat pembuangan sampah akhir atau TPA di Kabupaten Banyumas. Hal ini
dikarenakan adanya penolakan masyarakat sekitar TPA yang merasa dirugikan.
Dari satu tempat yang kemudian
masyarakat sekitarnya protes karena dirugikan, pindah ke tempat lain. Eh,
masyarakat di sekitar itu juga protes kalau daerahnya jadi TPA. Akhirnya pindahlah
ke tempat lain. Ternyata, masyarakat sekitarnya protes juga.
Nah lho, akhirnya pemerintah daerah pun
bingung. Imbasnya, masyarakat daerah Banyumas jadi memiliki masalah sampah yang
tertimbun di mana-mana. Pemerintah daerah pun lalu menghimbau masyarakatnya
untuk bisa mengelola sampah.
Hal itulah yang membuat Arky berpikir
untuk mencari cara mengatasi masalah sampah di daerahnya. Pemuda asal Desa
Banjaranyar, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas ini juga terpikir bagaimana
caranya memiliki usaha yang ada manfaarnya. Jadilah ia pun terjun ke
pengelolaan sampah.
Selain masalah sampah di Banyumas, Arky
juga melihat adanya peluang penjualan pupuk kompos dan maggot untuk pakan
ternak dan ikan yang sangat besar.
Mesin pemilah sampah otomatis antara organik dan anorganik yang kini digunakan di beberapa Tempat Pembuangan Sampah Terpadu di Banyumas. Sumber foto: Instagram @greenprosa |
Padahal saat itu sebetulnya Arky sudah
memiliki perusahaan di ranah lain yang sesuai dengan latar belakang pendidikan
S1-nya, yaitu ilmu di pemetaan dan penerbangan. Namun karena pandemi di tahun
2020, usaha ini makin hari makin kurang berkembang. Justru usahanya dalam
budidaya maggot yang makin mengalami kemajuan.
Kini bisa dibilang Kabupaten Banyumas sudah
terbebas dari masalah sampah. Namun ruang gerak Arky serta Greenprosa tidak berhenti
begitu saja. Sejak tahun lalu, Greenprosa bahkan digandeng oleh Taman Safari
Indonesia atau TSI Bogor untuk menjadi solusi mengatasi masalah sampah di sana.
Sampah-sampah yang diolah oleh
Greenprosa ini terdiri dari kotoran hewan sampai sampah yang ditampung di Tempat
Pengelolaan Sampah Terpadu atau TPST di TSI. Jadi, pengelolaannya dilakukan di
dekat TSI Bogor.
Bahkan tak hanya TSI Bogor yang jadi
sasaran Greenprosa. Sampah organik domestik dari warga sekitar TSI pun juga
akan diolah Greenprosa sebagai bentuk tanggung jawab sosial TSI untuk kawasan
Cisarua.
Unit pengelolaan sampah terpadu di TSI Bogor. Sumber foto: Instagram @greenprosa |
Arky dan Penghargaan SATU Indonesia Awards
Seperti yang sudah saya ceritakan
sebelumnya, sebetulnya budidaya maggot yang dilakukan Arky berawal dari masalah
sampah yang ada di daerahnya, Banyumas. Selain itu, Arky ingin memiliki usaha
yang dapat bermanfaat bagi sekitar.
“Harapannya ya makin banyak orang yang
sadar untuk mawas diri, untuk mengurus sampahnya. Terus kami juga berharap kami
sendiri dengan tim bisa mengembangkan sayap, semakin jauh, semakin lebar,
semakin bisa manfaat buat orang banyak,” ujar Arky.
Nyatanya, bermanfaat bagi banyak orang
seperti yang diucapkan Arky ini jika dijabarkan secara detail, memiliki
beberapa sisi positif
1. Berkurangnya masalah tumpukan sampah di TPA
Saat ini di Banyumas, sampah tidak
langsung dibuang dan dikumpulkan di TPA. Akan tetapi, diolah terlebih dahulu. Jadi
sebelum disetor ke TPA, sampah dari masyarakat dipisahkan dari organik dan
nonorganik. Baik menggunakan mesin maupun langsung oleh manusia.
Kemudian, sampah
organik ini diolah dulu menjadi bubur sampah di tempat pembuangan sampah
terpadu. Bubur sampah organik ini yang lalu menjadi makanan maggot.
Salah satu TPST di Banyumas. Sumber foto: Instagram @greenprosa |
Karena kegiatan tersebut,
sampah yang dibuang di TPA pun menjadi berkurang. Tidak ada lagi timbunan
sampah di mana-mana karena sampah yang ada dikumpulkan dan diproses dulu oleh
para petugas sampah.
2. Mengajak banyak orang untuk menyelesaikan masalah sampahnya masing-masing
“Semua orang sebenarnya mampu untuk
menyelesaikan permasalahan sampah jika telah menyadari bahwa sampah adalah
masalah.”
Kutipan tersebut saya baca di Instagram
@Greenprosa. Hiks namun sayangnya, coba, berapa banyak sih orang yang sadar
kalau sampah itu masalah?
Di tempat saya tinggal saja,
masyarakatnya hobi membakar sampah. Kebiasaan ini utamanya berlangsung saat
pagi dan sore hari.
Udara pagi yang seharusnya segar, jadi
terganggu karena asap. Sedangkan di sore hari, sisa pembakaran sampah berterbangan
di mana-mana. Tumpukan sampah pun saya lihat ada di banyak tempat di sepanjang
jalan.
Jadi kalau ditanya apakah merasa sampah jadi
masalah, banyak orang di sekitar saya mungkin menjawab tidak. Karena selama ini
mereka menemukan solusi dari pembakaran sampah atau pembuangan sampah
sembarangan.
Nah di akun Instagram Greenprosa, sering
saya jumpai edukasi seputar bagaimana mengolah sampah secara mandiri. Sampah
hendaknya dipilah-pilah. Yang organik bisa diolah menjadi pupuk atau dengan
mengandalkan maggot.
Tak hanya itu, bahkan Arky dan Greenprosa
juga berbagi edukasi tentang seluk beluk budidaya maggot serta produk
turunannya di akun TikToknya @mrmaggotbsf. Bahkan jika ingin memiliki usaha
terkait maggot tapi tidak ingin budidaya dan cukup menjadi reseller produk, di
akun tersebut juga ada caranya.
TikTok Mr Maggot yang dikelola tim dari Greenprosa |
3. Ingin mengubah nasib pahlawan kebersihan
Sebetulnya usaha yang dilakukan Arky
serta Greenprosa juga didasari rasa prihatin melihat nasib petugas kebersihan.
Arky melihat imbalan yang didapat para petugas kebersihan kurang sebanding
dengan upaya kerja keras yang sudah mereka lakukan.
Melihat hal itu, Arky dan Greenprosa
kemudian mencoba membantu dengan memberikan pelatihan yang mampu diterapkan
para petugas kebersihan. Tujuannya adalah agar para petugas kebersihan ini bisa
menerapkan ilmu hasil pelatihan untuk menambah penghasilan.
4. Meringankan perekonomian para petani dan peternak
Keuntungan yang dirasakan oleh petani
dan peternak dengan adanya produk pakan dan pupuk dari maggot ini adalah pada
harganya yang lebih murah dari produk kimia. Apalagi produk dari maggot ini
bersifat organik.
Tentunya hal ini cukup membantu para
petani dan peternak karena modal yang dikeluarkan jadi lebih kecil. Apalagi hasilnya
pun justru lebih optimal dari pada produk dari bahan kimia.
4. Meningkatkan ketahanan pangan
Pupuk organik yang dihasilkan dari
pengelolaan maggot serta maggot itu sendiri memiliki manfaat yang besar bagi
bidang pertanian dan peternakan. Hal ini dikarenakan kandungan nutrisi terutama
protein yang cukup tinggi.
Mencicipi maggot yang diolah menjadi camilan. Sumber foto: Instagram @greenprosa |
5. Terbukanya banyak lapangan kerja
Di balik budidaya maggot yang dilakukan Arky
dan Greenprosa, ternyata membawa dampak bagi terciptanya banyak lapangan kerja.
Mulai dari para pembudidaya maggot yang menjadi mitra dari Greenprosa, masyarakat
yang mengelola bubur sampah, sampai mereka yang menjual maggot.
Tak heran, upaya yang dilakukan Arky dan
Greenprosa membuatnya mendapat apresiasi yaitu penghargaan SATU Indonesia Awards
di bidang lingkungan pada tahun 2021 sebagai Penggerak Program Sistem Konversi
Limbah Organik untuk Ciptakan Ketahanan Pangan. Arky dinilai menjadi generasi
muda Indonesia yang punya prestasi dalam memberi kontribusi positif bagi
masyarakat dan lingkungan.
Apa yang dilakukan Arky juga selaras
dengan syarat penilaian SATU Indonesia Awards yang mensyaratkan poin
kebermanfaatan bagi lingkungan, memiliki bentuk kegiatan yang terus
berkelanjutan, serta berkontribusi bagi upaya pemerintah dalam mengatasi
masalah yang ada.
Penghargaan yang diterima Arky ini
membuatnya berkesempatan mendapatkan bantuan dana kegiatan serta pelatihan dari
Astra. Bisa kita lihat hingga sekarang, apa yang dilakukan Arky sejak usahanya
belajar sendiri budidaya maggot dari Google di tahun 2018, kini makin hari,
usaha tersebut makin besar dan makin memiliki dampak positif bagi masyarakat
dan lingkungan.
Semangat Arky untuk berbagi manfaat ini
sangat selaras dengan kata SATU pada SATU Indonesia Awards yang diterimanya,
yaitu Semangat Astra Terpadu untuk Indonesia. Ada semangat Arky dan Greenprosa di
hari ini dan nanti, untuk masa depan banyak orang dan bumi yang lebih baik.
Post a Comment
Post a Comment