Matematika anak SD zaman now memang dahsyat!
Beneran, saya kaget waktu anak saya Kayyisah yang duduk kelas 2 SD saat ini
harus berjibaku dengan matematika materi perkalian dan pembagian.
Seinget saya yang lahir tahun 80-an, materi
itu baru saya pelajari ketika kelas 4 SD. Kalau nggak salah inget sih sekitar
kelas itu. Sudah gitu, paling angkanya pun tidak sampai 50-an ke atas.
Eh, giliran anak sekarang dong, matematikanya
bentuk perkalian dan pembagian yang angkanya sampai puluhan atau mendekati
angka 100.
Masalahnya muncul saat saya yang otak kiri
harus mengajari Kayyisah yang cenderung lebih sedikit kekuatannya di otak
kanan. Kalau buat orang otak kiri, matematika itu menyenangkan. Kayak mainan!
Tapi tidak bagi orang otak kanan yang tidak
bisa menghapal ritme. Anak saya Kayyisah ini kalau diminta menghitung mundur 23
ke 18 misalnya, dia kesulitan membayangkan bagaimana angka-angka yang harus ia
susun mundur.
Pada akhirnya ia bisa menghitung dengan membayangkan
kesepuluh jarinya. Tapi… hitungannya sering kacau. Jika awalnya bisa menghitung
21, 20, 19, jika ketemu hitungan seperti itu lagi, dia bisa kesulitan.
Pas saya tanya, katanya jari yang ada dalam
bayangannya sedang goyang-goyang. Jadi kacaulah hitungan dia!
Di saat itu rasanya saya jadi teringat film India
berbau pendidikan berjudul Taree Zameen. Di film itu ada adegan di mana seorang
anak mendapat soal matematika dan ia malah membayangkan dua benda bertubrukan. Eh,
hasil hitungannya pun kacau lagi. Kesamaan lain anak ini dengan Kayyisah anak
saya, anaknya sama-sama jago menggambar. Benar-benar ciri khas anak otak kanan!
Saking frustasinya, saya sampai curhat ke
Facebook dan status WhatsApp. Alhamdulilah banget, endingnya saya malah dapat
banyak ilmu dari para ibu-ibu yang di seantero media sosial Fb dan WA.
Yang Perlu Diperhatikan Saat Mengajari Matematika ke Anak Otak Kanan-Visual
Kalau saya rangkum, ada beberapa tips yang
bisa orang tua terapkan untuk mengajari anak otak kanan yang cenderung kuat
visualnya. Beberapa tips berikut ini terutama menjadi titik perhatian khusus
yang perlu orang tua lakukan saat mengajak anak otak kanan visual dalam meningkatkan
kognitif atau kemampuan belajar logika atau matematikanya.
1. Gunakan benda riil
Di Facebook, ada beberapa ibu yang
menyarankan untuk mengajak anak menghitung benda riil. Ini susah banget saya
terapkan. Karena faktanya, anak kelas 2 zaman sekarang nggak dihadapkan pada
hitungan angka satuan sampai belasan saja.
Salah seorang teman yaitu Fitrah, lantas
menunjukkan alat hitung yang waktu kecil buat saya familiar banget. Uniknya,
alat ini menurut saya jarang dipakai lagi oleh anak-anak zaman sekarang.
Jatuhnya seperti yang dialami Kayyisah. Ia
jadi dituntut menguasai matematika dengan kesepuluh jarinya, dengan coretan
hitungan, atau dengan bayangan. Tentunya, ini siksaan banget buat anak visual
untuk menghitung dengan sesuatu yang tidak ia lihat dengan mata.
Akhirnya, saya malah menemukan cara
menghitung perkalian dan pembagian dengan kesepuluh jari di sebuah channel
Youtube. Ini awalnya setelah saya membuat status di Whatsapp, lalu dikomen oleh
seorang wali murid yang anaknya teman Kayyisah di sekolah.
Sebut saja namanya Mama Ory ya. Mamanya Ory
ini menunjukkan video bagaimana ia mengajari Ory menghitung perkalian dan
pembagian dengan menggunakan kesepuluh jarinya.
Karena Orynya dividioin sambil ngantuk, saya
pun jadi bingung mencerna cara yang dimaksud. Saya minta Mama Ory untuk membuat
video sendiri. Eh, dia menolak katanya mengaku bukan ustadzah! Hahaha… Dia
bilang, cara itu menghitung itu ia dapat dari ajaran bapaknya waktu kecil.
Karena penasaran, akhirnya saya browsing di
Youtube. Dan ketemulah cara berhitung perkalian dan pembagian dengan
menggunakan sepuluh jari. Sejak itu, hidup saya dan Kayyisah jadi tenang karena
satu masalah hidup sudah selesai! Hahaha…
2. Gunakan warna-warni
Cara lain, ada yang memberi clue tentang
warna-warni. Ingat yang tadi saya tulis teman saya Fitrah menunjukkan alat
bantu hitung? Nah, alat hitungnya itu warna-warni. Awalnya memang anaknya
sangat tergantung dengan itu. Tapi katanya, kini anaknya sudah bisa melepas alat
tersebut dan bisa ingat dengan patokan warna yang ada di ingatannya.
Ini langsung membuat saya teringat keajaiban
Kayyisah yang bisa menghapal urutan mainan warna-warni padahal banyak jumlahnya.
Saya yang setiap hari membereskan mainan itu, menyusun dari bawah ke atas saja
nggak kunjung hapal lho!
Jadilah ketika menerangkan ulang apa yang
saya lihat di video Youtube tentang perhitungan dengan 10 jari, saya harus
menggunakan spidol warna-warni. Untuk perkalian 2, 3, dan 4, saya juga harus
membuat garis warna-warni di jarinya.
Dan Kayyisah jadi senang, hingga akhirnya
cepat paham.
3. Biarkan ia menjelaskan dirinya dengan gambar
Ada salah satu teman Facebook yang menurut
saya sarannya lumayan mengena di Kayyisah yang memang suka menggambar. Teman Facebook
bernama Mbak Octafinda ini ndilalah juga punya anak yang suka menggambar.
Nah, untuk mengerjakan soal Matematika bahkan
Bahasa Indonesia, anaknya sampai harus minta kertas coret-coretan. Karena katanya,
anaknya tipe visual. Saat dihadapkan pada sebuah soal, ia harus menjelaskan
diri dulu dalam bentuk coretan gambar.
4. Membiasakan Bermain Lego
Di Facebook, ibu lain yang anaknya juga otak
kanan dan termasuk slow urusan matematika adalah Mbak Achi. Mbak Achi ini setelah
tahu anaknya otak kanan, lalu dikonsultasikan ke psikolog dan disarankan untuk
main lego.
Kalau dari analisa saya, alasannya, karena lego
warna-warni. Tonjolan-tonjolan kecil yang harus direkatkan antara lego satu dengan
lego lain jika seseorang ingin membuat suatu bentuk, maka ia harus
memerhitungkan lego ukuran apa, dikombinasikan dengan ukuran yang mana, perlu
berapa lego, lego warna apa saja yang perlu digabungkan biar hasilnya bagus, dan
seterusnya.
Jadi, bermain lego menurut kata Mbak Achi, bisa
jadi seperti terapi. Makin sering anaknya main lego, makin terpola kemampuan
matematika di otaknya.
5. Harus sabar
Ini sebetulnya kunci utama ya. Dan ini juga
yang diingatkan oleh beberapa teman bahkan keluarga ke saya.
Karena pada dasarnya, anak otak kanan memang
kebanyakan bukan anak yang dianggap kurang dalam segi kognitif. Bukan karena
dia bodoh. Tapi karena pendidikan di Indonesia banyak mengambil sudut pandang
dan cara penyelesaian otak kiri.
Contoh saja untuk buku yang dipakai di
sekolah. Ada salah satu penerbit yang sangat terkenal bagus dan berkualitas bukunya.
Apalagi jika itu buku pelajaran.
Sayangnya, buku dari penerbit ini sangat
memperdalam bahasan sains dan matematikanya. Misalnya untuk materi pembagian. Buku
ini mengajak anak untuk berhitung pembagian angka puluhan yang hampir mendekati
angka 100 dengan cara pengurangan.
Contohnya soal 81 dibagi 9. Caranya, 81 harus
dikurangi 9 sampai ketemu angka nol. Ini Kayyisah kelelahan banget karena dia tentunya
harus 9 kali bolak-balik menghitung.
Padahal pembagian itu bisa menggunakan jari
yang diwarna-warni, atau mengajak anak sambil bercerita sesuai dengan kenyataan
yang ada lalu diselipkan angka yang harus dihitung.
Kalau kata murid saya dulu yang otak kanan, yang
kesulitan menghitung 1 dikurangi 0, komentar dia, “Kami itu cuma ingin dikasih
bayangan, kenapa harus menghitung angka-angka ini. Jadi bukan menghitung
angka-angka saja.”
Dan betul saja. Kalau saya menjelaskan ke
Kayyisah arti soal 1 dikurangi 0, saya harus bercerita, “Misalnya kamu punya 1
donat. Dibagi ke orang yang... nggak ada! Trus kamu bagi berapa?”
Jatuhnya sih menurut saya, walau bagaimana
pun, anak otak kanan ya perlu juga kok diajak main logika. Cuma ya itu tadi. Kalau
anak otak kiri langsung sat set sat set. Anak otak kanan angkanya harus dibuat
cerita dulu. Sebuah proses yang tidak bisa cepat.
Jadi begitulah ya para orang tua kalau punya anak otak kanan, eh, orang tuanya terutama emaknya yang setiap hari harus ngebelajarin dia, ternyata otak kiri. Kayak saya! Hahaha...
Sabar ya Buk ya… Mereka itu cerdas. Hanya saja
anak otak kanan memang punya cara yang tidak seperti kebanyakan diajarkan
di pendidikan formal. Mereka anak yang unik dan kreatif!
Post a Comment
Post a Comment