Kalau ditanya kenapa saya menulis, mungkin
bisa panjang ceritanya. Saya bisa mengungkit cerita di masa SMP saat mulai hobi membuat
cerita pendek anak. Kesimpulan singkatnya, menulis itu bagian dari hobi.
Bisa dibilang itu jawaban yang klise. Tapi dari
jawaban itu, hobi menulis bisa membuat banyak teman mengira saya Jurusan Sastra
Indonesia setelah mereka tahu saya memilih baris di deretan mahasiswa Fakultas
Ekonomi saat prosesi kelulusan. Hobi menulis membuat saya mengambil profesi
reporter sebagai kerjaan pertama sementara banyak teman kuliah berada di rel
lurusnya yaitu menjadi guru. Dan hobi menulis juga membuat saya lebih sering
diminta mengajar mata kuliah sampai mata pelajaran bahasa Indonesia
dibandingkan sesuai ilmu kuliah saya yang sebenarnya yaitu pendidikan ekonomi.
Hingga sekarang ini, menulis yang erat
kaitannya dengan bloger menjadi profesi saya. Orang tua sempat menyesalkan
keputusan tersebut. Wajar, mereka menguliahkan saya sampai empat setengah tahun
lalu sekarang ilmunya seperti tidak terpakai sama sekali.
Dari sekian cerita tersebut, jawaban
pertanyaan tentang mengapa saya menulis, tetaplah sama. Ya memang karena hobi.
Tapi saat menjadi bloger, ternyata ada hal
lain yang akhirnya mendampingi alasan tersebut.
Saat memutuskan serius menjadi bloger, saya
memilih niche parenting. Alasannya karena begitu banyak ilmu parenting yang
kerap saya dapatkan dari semasa kuliah di jurusan keguruan sampai saat pernah menjadi
guru.
Lalu suatu ketika, anak saya yang pertama sakit-sakitan
hingga puncaknya ketahuan kalau dia kena TB. Saya di titik post partum
depression. Setelah agak mereda dari segala badai tersebut, saya menuliskannya
di blog.
Bukan perkara yang mudah untuk menulis sambil
mengingat semua hal yang tidak mengenakkan. Selama menulis segala hal tentang
mengapa, apa, dan bagaimana anak terkena TB, saya banyak menahan tangis.
Akhirnya tiga tulisan pun jadi. Di titik
itu saya masih belum merasa apa keuntungan menulis dari mengingat semua cerita masa
lalu yang sering membuat saya menangis.
Tulisan tersebut bisa dibaca di sini:
Penyebab Malnutrisi Hingga Telat Tumbuh Kembang Itu Bernama TB
TB, Penyakit yang Membuat Ayah Berhenti Merokok
TB Membuat Kayyisah Menjadi Anak tak Biasa
Jika ada yang berkata writing is healing, itu
tidak terjadi pada saya. Yang malah sempat terpikir, anak saya dapat masalah
kesehatan ini itu, karena saya bloger. Tuhan tahu, saya perlu bahan untuk
menulis.
Logika yang mungkin terasa terbalik ya?
Karena biasanya kebanyakan orang memilih menjadi bloger karena ingin berbagi
pengalaman. Tapi di saya, gara-gara menjadi bloger, saya dikasih hidup yang
banyak pengalaman.
Seiring waktu, saya sering mendapat
pertanyaan tentang masalah TB pada anak. Ada yang bertanya di kolom komentar. Banyak juga yang menghubungi saya lewat pesan Instagram.
Inti pertanyaannya rata-rata seputar
bagaimana anak saya saat kena TB. Padahal, sebetulnya semua itu sudah saya
tulis di blog.
Di kemudian hari, saya amati sebetulnya
para ibu yang sampai bertanya langsung ke saya tersebut butuh tempat untuk berbagi
cerita dan ditenangkan. Saya sendiri tidak berani menjawab yang di luar
kapasitas saya. Lha saya bukan dokter, juga tidak bertemu langsung dengan
anaknya. Sering saya meminta mereka untuk mengikuti saja apa kata dokter atau
saran untuk mencari dokter lain sebagai second opinion.
Selain tulisan tentang pengalaman anak yang TB,
tulisan lain tentang bagaimana menghadapi anak yang baru sembuh dari sakit juga
banyak dibaca di blog saya. Tebakan saya, tentu, ini besar kemungkinannya
berasal dari para ibu yang googling di internet untuk mencari tahu jawaban dari
masalah kesehatan yang sedang dihadapi anaknya.
Ini tulisannya: Anak Lemas Setelah Sembuh dari Sakit, Ini Dia Cara Memulihkannya
Hal tersebut mengingatkan kebiasaan saya
sendiri yang paling hobi tanya Google kalau anak saya kenapa-kenapa. Dan kebiasaan
bertanya pada Google ini memang makin menjadi ketika saya sudah punya anak.
Kesimpulan saya…
1. Banyak dari para ibu yang akan bertanya
dulu pada Google setiap ada masalah
2. Setiap ibu punya cerita dan masalah yang
berbeda
3. Para ibu, bahkan di seluruh dunia, bisa
saling terhubung dengan cerita pengalaman yang dibagikan di internet
Dari situlah akhirnya saya punya alasan
tambahan mengapa saya menulis. Karena sebagai ibu, saya bisa membagi pengalaman
saya lewat tulisan. Seperti cerita pengalaman tentang anak yang kena TB,
akhirnya tulisan tentang hal tersebut bisa jadi pengetahuan untuk para ibu
lain.
Kalau saja banyak ibu di dunia ini yang mau menulis,
membagi berbagai cerita pengalamannya lewat internet, bisa memudahkan para ibu
lain yang bertanya pada Google tentang masalah yang sama.
Jadi para ibu di segala penjuru dunia, ayo
kita menulis. Milikilah blog dan tulislah segala kejadian yang pernah kita
alami. Karena pengalaman itu ada artinya bagi para ibu lain yang sedang mencari
jawaban dari pertanyaannya lewat internet.
Mbaaa, saya tuh ya, google ibarat udah jadi koentjih! hahaha.
ReplyDeleteApa-apa saya lebih suka nge google ketimbang tanya 1 orang, karena di google tuh jawabannya banyak, jadi kita tau mana yang bener, mana yang hoax.
Kalau saya menulis sebenarnya cuman asal aja, biar kisah saya kesimpan di google, biar dibaca anak cucu nanti, ga taunya malah jadi salah satu jalan rezeki, Alhamdulillah :)