Sebuah tawaran karir yang menjanjkan hadir di
depan mata. Posisi yang bergengsi, pun gaji yang menggiurkan. Namun di
timbangan yang lain, ada pasangan apalagi si kecil yang telah hadir mengisi
kehidupan kita.
Nah lho, kalau kita dihadapkan pada pilihan
seperti ini, pilih yang mana ya?
Fenomena tersebut bukanlah hal yang baru lagi
saat ini. Apalagi sekarang, wanita tidak lagi dipandang sebelah mata dan
dianggap mampu bersaing untuk mengisi posisi-posisi kunci yang biasanya
dipercayakan kepada pria.
“Kalau itu yang terjadi, perlu kompromi,
pengorbanan, dan pengertian antar pasangan,” jawab Rostina Tonggo Morito,
psikolog dari Batam ketika disodorkan keberadaan fenomena tersebut yang saat
ini kerap menghinggapi masyarakat khususnya di perkotaan.
Wanita yang kini menyandang HR Consultant dan
Praktisi di PT Tunaskarya Indoswasta ini kemudian menyarankan dua alternatif
yang bisa dilakukan oleh pasangan yang harus terpisahkan jarak atau tempat.
Yang pertama adalah suami yang harus
berkorban untuk meninggalkan pekerjaan dan memilih mengikuti sang istri.
“Bisa mungkin terpisah untuk sementara
sekitar satu sampai tiga bulan. Di sini, sang istri bisa menyiapkan dahulu
seperti tempat tinggal atau kebutuhan sekolah untuk si kecil. Baru jika
semuanya sudah siap, pasangan dan anak bisa ikut pindah,” Rostina memberikan
contoh.
Pilihan kedua yang disarankan oleh Rostina
adalah justru untuk memilih keluarga daripada karir. Mengapa justru itu yang
harus dipilih, karena menurutnya banyak pertimbangan yang lebih positif
daripada jika sang wanita memilih untuk karir di tempat lain.
“Sekarang bayangkan jika kita bekerja di
tempat lain, meskipun dengan gaji lebih besar, tentunya pengeluaran kan juga
akan lebih besar. Harus ada dua tempat tinggal, ongkos untuk bolak balik, atau
biaya untuk komunikasi dengan keluarga,” jelas Rostina.
Ia pun memberikan lagi pertimbangan apabila
itu menyangkut tentang anak yang ditinggalkan. Menurutnya, anak akan kehilangan
figur ibu apalagi jika ia ada dalam berada masa pertumbuhan.
“Apalagi pada masa pertumbuhan anak, mereka
akan kehilangan role model untuk mengadopsi karakter ibu. Sekarang pilih mana,
gaji dua kali lipat atau anak berantakan? Toh jika memang gaji suami sudah
cukup, kenapa kita tidak memilih kerja yang sudah ada. Yang penting keluarga
terselamatkan,” tegasnya.
Ia kemudian menambahkan, memang ada cerita
dimana ketika akhirnya karir tetap yang diambil, dalih yang timbul adalah itu
hanyalah untuk sementara waktu dan tidak selamanya. Padahal di balik itu,
ketika karir seseorang naik, tuntutan kesibukan pun akan makin meningkat.
Demikian pula waktu yang menyita untuk pekerjaan juga akan makin besar menurut
Rostina.
Hilangnya
Figur Orang Tua
Ketika wanita yang memilih meninggalkan keluarga
untuk mengejar karir di tempat lain, bisa makin menjadi sulit ketika statusnya
yang juga ternyata seorang ibu. “Kalau sudah punya anak dan ibu tidak bisa
mendampingi, anak akan kehilangan figur orangtua,” ujar Rostina.
Maka sering kadang terjadi, anak akhirnya
tidak dekat bahkan tidak mengenali orangtuanya karena jarangnya bertemu atau
berkomunikasi. Ini pun sering terjadi kasusnya pada anak-anak terutama balita.
“Kadang ada kan ya tuh, anak yang waktu papa
atau mamanya yang jauh dateng, dia takut atau malah menangis waktu didekati.
Malah ada juga yang akhirnya panggil papanya dengan panggilan om,” Rostina
memberi contoh.
Apalagi untuk mereka yang meninggalkan
anaknya di saat balita. Karena menurut Rostina, balita begitu cepat tumbuh dan
berkembang. Sehingga disarankan oleh Rostina terutama bagi para ibu, hendaknya
sebisa mungkin tidak meninggalkan balitanya.
Manfaatkan
Kecanggihan Teknologi
Jauh di jarak kini bukan jadi halangan. Jika
memang di antara pasangan ada komitmen untuk saling berkomunikasi, kecanggihan
teknologi pun sudah banyak yang menawarkan kepada siapapun untuk kemudahan
berkomunikasi.
“Komunikasi itu tetap penting dilakukan. Kita
bisa pakai beberapa cara seperti telepon atau surat mungkin bisa juga untuk
anak. Atau kalau di rumahnya ada komputer, kan sekarang ada internet, kita bisa
komunikasi dengan cara itu juga,” saran Rostina.
Misalnya dengan telepon. Entah itu kepada
pasangan ataukah dengan si kecil, mendengar suara dari orang yang dikangeni dan
terpisah dari jarak bisa menjadi pengobat rindu yang cukup berarti.
Jangan
Gantikan Peran dengan Orang Ketiga
Bila pasangan kita yang memang berkarir di
tempat lain, sebetulnya sah-sah saja apabila kita ‘menitipkannya’ dengan orang yang
kita percaya. Bisa itu sobat karib yang kebetulan menjadi teman kerja, ataukah
rekan kerja pasangan yang berada di sekitar lingkungan kerjanya.
Peran mereka memang sangat berguna sekali
untuk membantu komunikasi antara kita dengan pasangan. Apalagi, jika itu
berkaitan dengan kesetiaan pasangan ketika ia berada di daerah tempatnya
bekerja.
Namun satu hal yang amat penting yang
ditekankan oleh Rostina adalah untuk tidak menggantikan peran penting dari kita
sendiri kepada pasangan.
“Jangan sampai kita menitipkan kepada teman
kerjanya, lawan jenis yang masih single lagi. Misalnya dengan minta tolong
untuk mengawasinya makan atau bagaimana ia beristirahat. Karena dari hal-hal
yang sepele itu justru amat dibutuhkan oleh lelaki. Peran kita sebagai pasangan
pun bisa keambil,” tegas Rostina.
Kita pun disarankan untuk memperhatikan
terlebih dahulu apakah orang yang kita percaya atau dekat dengan pasangan
adalah lawan jenis atau bukan. Selain itu lihat juga apakah ia sudah menikah
atau belum. Dan tentunya, kita tidak menitipkan pasangan sepenuhnya.
“Perluas juga kenalan tidak hanya pada satu
orang saja. Jadi bila terjadi sesuatu, kita pun bisa mengcompare dan sekali
lagi jangan totally,” imbuh Rostina. (ika)
Letakkan Foto di Meja Kerja
Sementara itu jika kitalah yang ada dalam
posisi bekerja di tempat lain dan meninggalkan pasangan, tetap saja, ada
rambu-rambu yang bisa kita ikuti agar kita tetap aman dan setia pada pasangan.
“Kita perlu memanfaatkan kontrol pribadi dan
sosial,” ujar Rostina.
Maksud dari Rostina adalah, baik dari kita pribadi
ataukah dari lingkungan sekitar perlu diupayakan untuk bisa menjadi kontrol
bagi kita sendiri. Caranya, kita bisa meletakkan foto keluarga atau pasangan
misalnya pada meja. Sehingga, orang lain khususnya di tempat kerja kita pun
tahu jika kita telah berkeluarga.
Maka ketika lingkungan mengetahui tersebut,
mereka pun dapat turut mengontrol diri kita apabila menyimpang dari komitmen
dengan pasangan.
“Intinya dari foto itu kita memberitahu
kepada orang lain, saya nggak singgle lho!” seru Rostina.
Sikap dalam lingkungan sosial pergaulan juga
perlu dijaga. Bahkan, Rostina mengingatkan untuk tidak mengabaikan sebuah
tindakan meski itu hanyalah sebuah makan siang berdua dengan rekan kerja namun
lawan jenis.
“Walau hanya makan siang atau shopping, yang
namanya berdua tetap saja bisa bikin munculnya empati dan simpati,” tandas
Rostina.
Sedangkan untuk pasangan dan terutama si
kecil, hendaknya kita menitipkan mereka pada pihak keluarga, bisa itu keluarga
pasangan atau keluarga kita sendiri. Baik itu kita maupun pasangan jadi merasa
aman dan nyaman meski berjauhan.
Catatan:
tulisan ini dibuat dari hasil reportase saat saya menjadi reporter di Batam
Post a Comment
Post a Comment