Sebelum
membaca tulisan ini, saya ingin memberi tahu terlebih dahulu nih, kalau tulisan
ini adalah hasil wawancara saya dengan Ibu Imelda Yetti saat dulu saya menjadi
reporter di Batam.
Makan, mandi, dan tidur, ketiga hal ini menjadi
kegiatan utama yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sehari-sehari.
Namun dalam pernikahan dua manusia yang berasal dari beda bangsa, hal ini
justru memerlukan waktu untuk penyesuaian budaya.
“Berdasarkan pengamatan saya, ada tiga hal yang
biasanya menjadi masalah dalam penyesuaian yaitu dalam hal makan, mandi, dan
tidur,” ungkap Imelda Yetti SPd, yang hingga kini menjadi guru pengajar di SD,
TK, dan Playgroup Charitas Sukajadi Batam.
Menurutnya, bangsa yang berbeda seringnya
memiliki kebiasaan yang berbeda terutama dalam tiga hal tersebut. Misalnya
kebiasaan makan antara dengan tangan dan tidak. Bila di Indonesia hal tersebut
dianggap wajar, lain lagi bila di negara lain yang menganggap hal itu kurang
bersih.
“Untuk yang seperti itu sejak dini sebetulnya
tidak apa-apa untuk menjelaskannya kepada anak. Mungkin anak akan berpikir, kok
tidak konsisten. Tapi jelaskan saja pada anak bahwa ada yang budaya yang
berbeda antara di negara ibu dengan bapak misalnya,” jelas Imelda.
Namun Imelda sendiri juga menambahkan
terkadang tidak apa-apa bila anak tidak bisa langsung mampu menyesuaikan diri.
“Misalnya kebiasaan makan dengan sumpit. Mungkin apabila dia berada di negara
salah satu orang tuanya dan ia tidak bisa makan dengan cara itu, tidak apa-apa
untuk bicara jujur,” imbuhnya.
Imelda lantas menyebutkan adanya empat tahap
saat menyesuaikan diri dengan suatu budaya atau situasi maupun kehidupan di
lingkungan baru bagi setiap orang. Pertama, masa menikmati perbedaan dan penuh
toleransi atau yang disebut honeymoon stage.
Kedua, masa adanya ketidakcocokan yang bisa
menimbulkan penarikan diri bila tidak disertai kesabaran serta optimisme ke
tahap berikutnya atau yang disebut hostility stage. Sebaliknya bila kedua pihak
berupaya meniru budaya pihak lain yaitu satu di antara pasangannya terjadilah
culture shock.
Ketiga, the humor stage yaitu masa dimana
masing-masing dapat saling menertawakan kesalahpahaman yang terjadi. Dan
terakhir yaitu home stage yaitu masa dimana telah merasa di rumah sendiri dan dapat
menerapkan norma-norma dalam budaya yang dipelajari.
Sepakati
Budaya yang Dipakai Anak
Bahasa dan budaya ada hubungannya. Menurut
Imelda, adanya bahasa pun dipengaruhi oleh budaya. “Untuk menentukan bahasa
sehari-hari anak, perlu disepakati bersama budaya mana yang akan kebanyakan
dipakai. Pertimbangkan juga faktor lingkungan,” ujarnya.
Masa kritis atau masa anak menyerap bahasa
paling efektif terjadi sebelum anak berusia dua tahun. “Anak yang dididik
dengan bilingual atau dua bahasa serta multilingual atau banyak bahasa akan
lebih cerdas daripada anak yang dididik dengan satu bahasa. Hal ini berhubungan
dengan perkembangan sistem otak kiri,” terang Imelda.
Ia lantas mencontohkan penggunaan bahasa
Inggris dalam kehidupan sehari-hari. “Bahasa Inggris sebagai bahasa
internasional akan lebih baik dipakai sebagai bahasa sehari-hari bila salah
satu dari orang tuanya berasal dari negara yang menggunakan bahasa itu seperti
Amerika misalnya,” contohnya.
Sedangkan bahasa ibu atau bahasa asal negara pasangan
yang lain bisa juga diajarkan sebagai tambahan atau dengan komposisi yang sama.
Pemahaman budaya dari bahasa itu sendiri juga diperlukan supaya tidak terjadi
konflik. Perhatikan nilai-nilai kasih sayang, moral, agama, kedisiplinan,
keefektifan, sosial, dan etika.
Post a Comment
Post a Comment