Kalau menemukan sesuatu yang janggal di area
lahan sekitar rumah, lebih baik janganlah terburu-buru untuk menyingkirkannya.
Karena, bisa jadi itu justru merupakan sesuatu yang sangat bernilai.
Namun sayangnya, hal tersebut tidak berlaku
di kalangan masyarakat Kawal, Kabupaten Bintan yang awalnya awam tentang
masalah sejarah. Apalagi tentang sejarah purbakala.
Bagi saya sendiri yang sudah diberitahu dalam
pelajaran sejarah saat sekolah dulu, bahwa ada jenis peninggalan zaman
purbakala yang bernama sampah dapur, mungkin juga akan berlaku hal yang sama.
Siapa yang mengira, jika ternyata tumpukan kerang yang menyerupai sampah adalah
sebuah hasil perbuatan manusia dari zaman sebelum masehi?! Hehe, soalnya dulu
zaman sekolah, tidak diberitahu bagaimana rupanya sampah dapur sih!
Bukit
Kerang yang Tinggi
Dan tanpa masyarakat di daerah Kawal
menyangka-nyangka, tiga gundukan kulit kerang yang ada di area lahan mereka,
telah mereka abaikan bahkan ada yang telah disingkirkan. Tak dinyana, itulah
sebuah gundukan Kjokkenmoddinger dalam istilah ilmu sejarah, atau yang disebut
dengan istilah biasanya adalah sampah dapur.
Namun kini, dari sebuah papan yang dibuat
oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, masyarakat jadi bisa
mengetahui bahwa ongokan tumpukan kerang yang ada di belakang papan pengumuman
tersebut adalah sesuatu yang berharga.
Dari papan tersebut, tertulis bahwasanya
sampah dapur merupakan peninggalan zaman prasejarah mesolithikum atau zaman
batu pertengahan atau zaman berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
yang berasal dari sekitar 3000 tahun sebelum masehi.
Begitu berharga! Meski sekilas jika
melihatnya, kita akan mengira sebagai tumpukan sampah kerang yang sepertinya
sengaja ditumpuk orang. Padahal jika dinalar, mana ada sih orang zaman sekarang
yang mau-maunya iseng menumpuk kerang hingga menjulang menjadi bukit setelah
makan?! Apalagi dengan gundukan setinggi itu. Seandainya ada, mungkin hanya terjadi
jika dilakukan oleh orang sekampung yang seluruh keluarganya makan kerang
setiap hari!
Akhirnya, efek dari keawaman itupun berujung
pada musnahnya satu dari tiga gundukan sampah dapur yang ada di wilayah
tersebut. “Yang sudah disingkirkan oleh PT Tirta Madu itu dulunya lebih besar
dari yang ini, tapi tingginya memang tetap tinggi yang ini. Ya, dulu orang kan
tidak tahu ini itu sebetulnya apa,” ujar Pak Amirudin, Ketua RT di wilayah
tersebut yang kebetulan ketika saya ke sana, ia sedang membersihkan area di
sekitar sampah dapur.
Menurutnya, satu bukit yang lain bentuknya
lebih kecil dari sampah dapur yang kami kunjungi. Sedangkan bukit sampah dapur
yang kami kunjungi saat itu, memang tampak tinggi sekitar empat meter lebih.
Namun sayangnya, gundukan inipun telah rusak.
Pada bukit tersebut, terlihat bekas galian
berupa potongan ke arah dalam yang telah sengaja dilakukan oleh orang lain.
Karena bentuk tersebut kemudian menyerupai sebauh benteng, maka masyarakat di
sekitar itupun menjulukinya dengan benteng batak.
Tak hanya itu saja, kerusakan yang lain pun
tampak juga mendera gundukan sampah dapur tersebut. Akibat seringnya masyarakat
yang naik turun di bukit itu untuk sekedar melihat, ternyata hal tersebut
membuat beberapa bagian bukit itu yang rapuh menjadi serpihan.
“Mungkin ini yang terakhir bukit ini boleh
dinaiki orang yang melihat. Besok lagi sepertinya kalau ada orang yang datang,
cukup melihat saja dari bawah, tidak boleh naik,” ujar Pak RT yang akhirnya
menyadari efek dari pijakan kaki orang-orang yang naik turun di bukit tersebut.
Itu pun setelah saya yang menyelutuk tentang rapuhnya kerang-kerang yang
membentuk jalan setapak menuju atas bukit kerang tersebut.
Sementara itu jika sempat berkujung ke sana, kita
akan menemukan beberapa keunikan. Misalnya, adanya pohon pisang dan pohon
kelapa yang bisa tumbuh di atas gundukan tersebut. Menurut Pak Amirudin
sendiri, karena dulunya gundukan tersebut dikira hanya berupa gundukan tanah
biasa, maka ditanamlah pohon kelapa di atasnya.
Sampah dapur tersebut memang berada di area
perkebunan kelapa rakyat. Sedangkan sebelumnya, gundukan ini tertutup tanah dan
rerumputan. Tumpukan kerang-kerang yang ada di bawahnya pun tidak terlihat.
Jadi ketika berkunjung ke sana dan
melihatnya, mungkin akan bingung, kok bisa ya ada tumpukan kerang yang begitu
tinggi namun bisa ditanami pohon kelapa dan pisang di atasnya?
Selain itu ketika saya mencermati tumpukan
kerang yang ada, kerang-kerang yang ada di sana tampak seperti lempengan yang
ditata secara horisontal, tidak acak asal membuang.
Walhasil, penemuan adanya sampah dapur ini
pun bisa membuat nama daerah Bintan jadi terhitung di dunia sejarah nasional
maupun internasional. Karena di nasional sendiri, sampah dapur itu selama ini
hanya ada di daerah Aceh dan Medan, serta beberapa daerah lain di luar negeri.
Post a Comment
Post a Comment