Di suatu hari cerah dengan langit biru
yang tak berhias awan putih, Dewa Mendu menatap bulatan bumi di bawahnya dengan
penuh minat. Sebetulnya sudah lama Dewa Mendu ingin bermain ke bumi. Ia bosan terus
berada di kayangan, dunia para dewa.
Sambil duduk santai di taman kayangan
para dewa, Dewa Mendu melihat berbagai kegiatan manusia. Di suatu tempat, ada
sekumpulan manusia yang sedang berjual beli di pasar. Pada bagian bumi yang lain,
ia menatap kagum birunya pantai yang dihiasi deburan ombak. Beberapa saat
kemudian Dewa Mendu mengalihkan perhatiannya pada sekelompok orang yang sedang
tertawa terbahak-bahak sambil lincah menari.
“Ah, Sepertinya hidup di bumi sungguh
mengasyikkan. Di sana banyak hal yang tidak kujumpai di dunia para dewa ini,”
gumam Dewa Mendu sendirian.
Karena keinginannya untuk bermain ke
bumi makin hari makin kuat, ia lalu meminta izin ke ayahnya, Semandung Dewa
Raja. Tetapi Semandung Dewa Raja tidak membolehkan Dewa Mendu pergi ke bumi.
“Tempat itu asing bagi kita para dewa.
Banyak kejahatan yang dilakukan manusia di atas bumi. Engkau tidak boleh pergi
ke sana!” tegas Semandung Dewa Raja yang melarang keinginan Dewa Mendu main ke
bumi.
Tapi Dewa Mendu pantang menyerah. Ia
terus berupaya membujuk ayahnya. Semandung Dewa Raja pun tak kalah kuat
pendiriannya. Ia tetap tidak membolehkan Dewa Mendu walau apapun alasannya.
Karena begitu kuat rasa penasarannya,
Dewa Mendu mengabaikan larangan Semandung Dewa Raja. Diam-diam, ia pergi meninggalkan
kayangan. Dengan sekali loncatan, Dewa Mendu meninggalkan kayangan menuju bumi.
“Bum!” tubuh Dewa Mendu terhempas ke atas
semak lebat. Untungnya Dewa Mendu sakti sehingga ia selamat meski tubuhnya
terbanting keras. Ia terdampar di hutan yang berada di puncak Bukit Mencerne.
Tempat itu sepi. Tak pernah ada manusia yang pergi ke sana.
Sambil menatap situasi di sekitarnya,
Dewa Mendu terduduk sejenak. Pepohonan hijau yang tinggi menjulang memayungi
tubuhnya. Sambil memejamkan mata, Dewa Mendu menarik napas, menghirup
sebanyak-banyaknya udara segar yang dikeluarkan pepohonan.
“Akhirnya, sampai juga aku di bumi.
Baiklah, aku akan mulai penjelajahanku sekarang,” putus Dewa Mendu. Ia bangkit
lalu melangkahkan kakinya dengan penuh semangat.
Sementara itu keluarga Dewa Mendu di kayangan
menjadi kebingungan. Sudah beberapa waktu lamanya mereka tak menjumpai Dewa
Mendu. Angkara Dewa, adik Dewa Mendu, lantas terpikir untuk meminta izin mencari
kakaknya.
“Sepertinya Dewa Mendu sudah pergi ke
bumi. Jika dibolehkan, bisakah aku ke sana untuk mencari kakak?” tanya Angkara
Dewa pada ayahnya.
Semandung Dewa Raja menjadi bimbang. Ditatapnya
Angkara Dewa dengan gamang. Sebagai ayah, ia khawatir keselamatan Angkara Dewa.
Tapi ia pun mencemaskan Dewa Mendu yang tidak kunjung pulang. Karena seiring
waktu berlalu Dewa Mendu tak kunjung kembali, akhirnya Semandung Dewa Raja mengutus
Angkara Dewa untuk menyusul kakaknya ke bumi.
“Berhati-hatilah terhadap para manusia
di bumi dan temukan kakakmu di sana,” pesan Semandung Raja Dewa sambil
mengulurkan tangan menyentuh kepala Angkara Dewa untuk memberi restu.
Seperti Dewa Mendu, Angkara Dewa juga terhempas
di atas semak lebat dalam hutan belantara yang ada di Bukit Mencerne. Setelah
melewati perjalanan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, Angkara Dewa
tetap tak kunjung berjumpa dengan kakaknya. Ia menjadi gusar.
“Ke mana aku harus mencari kakakku?
Kapan aku bisa menemukannya?” keluh Angkara Dewa saat sejenak duduk beristirahat
di antara lekuk akar pohon besar.
Sejauh Angkara Dewa melepas pandangan,
hanya pohon-pohon raksasa berdaun lebat dan semak tinggi yang dijumpainya. Di
lubuk hatinya, ia begitu rindu bertemu dengan kakaknya, Dewa Mendu. Diusapnya
peluh yang bercucuran di kening.
“Aku harus menemukan kakakku!” tekad
Angkara Dewa. Bergegas, ia pun bangkit dan meneruskan perjalanannya.
Beberapa hari kemudian, di saat hari
menjelang siang, Angkara Dewa melihat sesosok manusia di depannya yang juga
sedang berjalan sendirian di dalam hutan. Ia merasa lega. Karena itu, Angkara
Dewa terus mengikuti ke manapun sosok itu pergi.
“Senangnya, pada akhirnya aku menemukan
manusia!” seru Angkara Dewa penuh semangat. “Aku ikuti saja ke mana dia
berjalan. Siapa tahu, ia bisa membantuku.”
Ternyata saat Dewa Mendu dan Angkara
Dewa turun ke bumi, wujud mereka telah berubah menjadi manusia dan tidak lagi
sama seperti saat mereka berada di kayangan. Mereka menjadi tidak saling kenal.
Beberapa saat kemudian, Dewa Mendu
merasa terus diikuti orang asing. Sesekali ditolehnya sosok yang terus
mengutitnya. Ke manapun Dewa Mendu melangkah, sosok asing itu terus membuntuti.
Dewa Mendu terganggu dan kesal. Ia curiga, jangan-jangan manusia yang berada di
belakangnya itu akan berniat jahat terhadapnya.
Mendadak Dewa Mendu menghentikan
langkahnya dan langsung menghadap ke belakang. Tubuh sosok asing di belakangnya
seketika tersentak karena terkejut.
“Hei, kenapa kamu selalu mengikuti aku
terus? Apa yang kamu inginkan dariku? Jangan-jangan, kamu ingin berniat jahat
kepadaku!” hardik Dewa Mendu sambil menunjuk sosok asing yang sebetulnya adalah
Angkara Dewa.
“Mengikutimu? Jangan seenaknya curiga! Aku
ini sedang mencari kakakku,” elak Angkara Dewa sembari mengibaskan tangan
menyangkal tuduhan Dewa Mendu.
Dewa Mendu tidak begitu saja percaya. Ia
terus saja menuduh Angkara Dewa sebagai orang jahat. Lantaran terus menerus
dituduh buruk, Angkara Dewa menjadi kesal. Ia lalu balik menuduh Dewa Mendu sebagai
orang jahat.
Karena mereka berdua tidak
henti-hentinya saling curiga, Dewa Mendu dan Angkara Dewa berkelahi. Keduanya
saling menunjukkan kekuatan masing-masing. Kedua putra dewa ini memiliki
kesaktian yang sama kuatnya. Tetapi keduanya juga merasa yang paling benar. Tidak
ada yang mau mengalah. Setelah sekian waktu berjalan, tidak ada yang kunjung menjadi
pemenang dalam pertarungan tersebut.
“Sudah, akui saja jika memang kau ingin
berniat jahat kepadaku!” teriak Dewa Mendu pada Angkara Dewa di tengah-tengah
gerakan tendangan dan pukulannya.
“Maksudmu kau ingin aku mengaku kalah? Tidak
akan!” tolak Angkara Dewa sambil terus menangkis dan membalas serangan Dewa
Mendu.
Lama-lama, kondisi Dewa Mendu dan
Angkara Dewa makin lemah. Banyak luka di sekujur tubuh mereka akibat
pertarungan tersebut. Apalagi, mereka berdua terus bertarung tanpa henti hingga
berjam-jam lamanya.
“Sebetulnya apa mau orang tak ku kenal
ini? Kekuatannya tidak bisa aku kalahkan. Huh, harus dengan cara apa aku
mengakhiri pertarungan ini?” keluh Dewa Mendu dalam hati.
Napas Dewa Mendu sudah mulai
tersengal-sengal. Perutnya terasa lapar karena energinya terus terkuras dalam
pertarungan.
Saat Dewa Mendu merasa hampir tak kuat
lagi bertarung, dengan sisa tenaga yang ada ia berusaha berucap lantang, “Jika
aku ini adalah Dewa Mendu, anak dari Semandung Dewa Raja yang ada di kayangan,
maka bantulah aku menghadapi musuhku ini!”
Tubuh Angkara Dewa tak jauh berbeda
dengan kakaknya. Tenaganya terasa hampir habis. Keringat dingin mulai
bercucuran deras keluar.
Di saat yang bersamaan dengan Dewa Mendu
yang berucap lantang, Angkara Dewa juga mencoba meneriakkan sesuatu. “Jika aku
memang Angkara Dewa, putra Semandung Dewa Raja yang hidup di kayangan, maka
bantulah aku mengalahkan musuh di hadapanku ini.”
Usai saling berteriak, Dewa Mendu dan
Angkara Dewa seketika langsung terhenyak. Pertikaian di antara mereka langsung
berhenti seketika. Dewa Mendu tidak menyangka jika orang yang dianggapnya musuh
ternyata adiknya sendiri. Angkara Dewa juga tidak menduga kalau kakak yang
dicarinya selama ini adalah orang yang telah berkelahi dengannya.
“Kakak?” seru Angkara Dewa tak percaya.
Ia lalu mendekati Dewa Mendu, memastikan bahwa orang yang tak dikenalnya itu
sebetulnya adalah kakak yang ia cari selama ini. Dicermatinya wajah Dewa Mendu
yang sama sekali tidak mampu ia kenali.
“Benarkah engkau itu Angkara Dewa? Aku
minta maaf karena tidak mengenalimu,” Dewa Mendu terpana menatap adiknya. Usai
Angkara Dewa mengangguk, Dewa Mendu lalu memeluk tubuh di hadapannya dengan erat.
Keduanya tersenyum bahagia hingga
menangis terharu. Dewa Mendu tak percaya bisa bertemu adiknya di bumi. Angkara
Dewa pun lega karena bisa berhasil menemukan kakaknya.
“Kalau saja tadi aku menjelaskan bahwa
aku sedang mencari kakakku yang bernama Dewa Mendu, kita pasti tidak akan
sia-sia menghabiskan waktu dengan bertengkar,” sesal Angkara Dewa sambil
mengusap titik tangis haru di ujung matanya.
Dewa Mendu membalas ucapan adiknya
dengan anggukan kepala. “Aku juga melakukan kesalahan karena menuduhmu sebagai
orang jahat. Ah, andai kita tadi tidak terburu-buru emosi, pasti kita tidak
akan bertarung untuk hal yang tidak berguna ini.”
Dewa Mendu dan Angkara Dewa akhirnya
menyadari kebenaran kata-kata Semandung Dewa Raja. Benar, di bumi memang banyak
kejahatan. Mereka berdua telah saling melukai satu sama lain karena amarah yang
tak bisa mereka tahan. Berbeda dengan di kayangan, kehidupan di dunia para dewa
justru selalu tenang dan damai.
Karena masih penasaran dengan banyak hal
di bumi yang pernah ia lihat saat berada di kayangan, Dewa Mendu mengajak
adiknya untuk berkelana. Ia ingin memuaskan rasa ingin tahunya dulu sebelum
kembali ke kayangan. Angkara Dewa menyetujui ajakan kakaknya. Ia pun
sesungguhnya penasaran dengan aneka kehidupan di bumi.
Hari demi hari, Dewa Mendu dan Angkara
Dewa terus mengembara. Mereka berjalan keluar masuk hutan hingga naik turun
bukit. Di suatu malam Angkara Dewa merasa lelah. Ia lalu mengajak kakaknya
untuk beristirahat sejenak.
Namun sebelum beristirahat, perasaan
Dewa Mendu tidak nyaman. Diedarkan pandangannya ke berbagai penjuru hutan.
Gelap pekat, dan ia merasa ada yang mencurigakan.
“Tapi sepertinya tempat ini tidak aman,”
kata Dewa Mendu was-was. “Lebih baik engkau lebih dulu beristirahat. Nanti jika
engkau sudah cukup tidur, baru setelah itu aku yang beristirahat.”
Angkara Dewa mengiyakan ucapan kakaknya.
Akibat kelelahan berjalan, tak beberapa lama, Angkara Dewa langsung tertidur
pulas. Dengkuran keras sesekali terdengar memecah keheningan malam.
Benar saja, saat Angkara Dewa sedang
tertidur lelap, tiba-tiba datang Jin Nenek Sejenggi yang ingin memakan Angkara
Dewa. Gerakannya melesat cepat hendak menyergap tubuh Angkara Dewa yang sedang
tidur.
Untungnya meski kelelahan, penglihatan Dewa
Mendu masih tajam. Gerakan Jin Nenek Sejenggi yang berkelabatan dalam kegelapan
dapat diketahuinya.
Dengan segera Dewa Mendu melindungi
Angkara Dewa. Tapi Jin Nenek Sejenggi melawan. Ia begitu lapar dan ingin
menerkam Angkara Dewa.
“Aku tidak ada urusan denganmu!” geram
Jin Nenek Sejenggi. Matanya merah melotot marah karena tidak menyukai Dewa
Mendu yang berusaha menghadangnya.
Sementara itu, kedua tangan Jin Nenek
Sejenggi terus berusaha menggapai Angkara Dewa. Beberapa kali kuku-kuku
tangannya yang panjang, hitam, dan runcing hampir berhasil meraih tubuh Angkara
Dewa. Tapi Dewa Mendu terus mengeluarkan berbagai jurus bela dirinya demi melindungi
adiknya. Karena kesaktiannya, Dewa Mendu berhasil memenangkan perkelahian
tersebut. Jin Nenek Sejenggi dibuatnya tak berkutik dan mengakui kekalahannya.
“Ampun!” teriak Jin Nenek Sejenggi
kesakitan karena beberapa bagian tubuhnya luka terkena serangan Dewa Mendu.
“Aku berjanji akan menjadi sahabatmu!
Jika suatu saat memerlukan bantuanku, sebutlah namaku dalam hati,” pekik Jin
Nenek Sejenggi.
Dewa Mendu setuju. Usai berseru, Jin
Nenek Sejenggi kemudian pergi. Dewa Mendu lalu membangunkannya adiknya. Angkara
Dewa lalu terjaga dari lelap tidurnya dengan tubuh yang terasa segar. Sesuai dengan
perjanjian, Dewa Mendu kemudian mendapat giliran untuk beristirahat dan Angkara
Dewa yang menjaga kakaknya.
Saat Dewa Mendu tidur, datanglah Jin Datuk
Mika Bandan yang ingin memangsanya. Mata Angkara Dewa yang awas karena baru
saja beristirahat langsung mudah menangkap kehadiran sosok Jin Datuk Mika
Bandan. Jin ini datang dengan tubuh samar yang sebentar nampak dan sebentar
menghilang dalam kegelapan.
“Makanan!” desis Jin Datuk Mika Bandan
dengan mata menyala menatap tubuh Dewa Mendu.
Dengan sigap, Angkara Dewa langsung menghadang
jin tersebut. Jin Datuk Mika Bandan murka karena usahanya dihalangi.
“Menyingkir! Aku lapar!” bentak Jin
Datuk Mika Bandan kesal pada Angkara Dewa.
Pertarungan pun terjadi. Dengan segenap
upaya, Angkara Dewa menguruskan segala jurus bela dirinya. Ia tidak ingin tidur
kakaknya, Dewa Mendu, menjadi terganggu. Jin Datuk Mika Bandan yang kelaparan
juga terus melawan. Namun seperti nasib Jin Nenek Sejenggi, Jin Datuk Mika
Bandan juga tidak berhasil mengalahkan putra dari Semandung Dewa Raja.
“Baiklah, aku mengaku kalah! Maafkan
aku! Aku berjanji menjadi sahabatmu,” pekik Jin Datuk Mika Bandan meminta
ampun. “Kalau nanti terjadi sesuatu dan membutuhkan bantuanku, panggil namaku
dalam hati. Aku akan membantumu.”
Jin Datuk Mika Bandan mengucapkan janji
yang sama seperti Jin Nenek Sejenggi. Seusai kepergian jin tersebut, Angkara
Dewa melihat langit di bagian timur telah nampak kemerahan. Hari sudah beranjak
pagi, pikir Angkara Dewa. Ia lalu membangunkan kakaknya dan mengajaknya kembali
melanjutkan perjalanan.
Sambil terus bernyanyi dan bercanda,
Dewa Mendu dan Angkara Dewa terus berjalan. Mereka menikmati segala hal yang
mereka lihat sepanjang perjalanan. Hutan yang lebat dan hijau, segala aneka
binatang yang ada, menjadi hal yang menarik bagi Dewa Mendu dan Angkara Dewa.
Menurut mereka, semua keindahan itu tidak pernah mereka lihat di kayangan.
Hingga suatu ketika, sampailah mereka di
tempat bernama Jalan Raya Titian Batu. Tempat itu sungguh indah melebihi
tempat-tempat yang telah mereka lewati. Berbagai tumbuhan tampak hijau dan
subur. Aneka bunga bermekaran dengan warna-warni yang elok. Buah-buahan tampak
ranum dan menggoda selera. Burung aneka rupa bernyanyi dengan kicauan yang
saling bersahutan.
Dewa Mendu dan Angkara Dewa terpesona.
Karena itu, mereka memutuskan untuk tinggal sementara di Jalan Raya Titian Batu.
“Bagaimana jika berhenti dulu di tempat
ini, Kak? Tempat ini begitu indah,” ucap Angkara Dewa sambil memandang kagum
pemandangan di sekelilingnya.
Hidungnya menghirup udara segar sambil
tangannya menggeliat merentang ke kanan dan kiri. Lelahnya perjalanan seakan
terbayar seketika.
Dewa Mendu tersenyum geli melihat ulah
adiknya. Ia lalu mengangguk sepakat. “Ya, sambil beristirahat dan menikmati
pemandangan di tempat ini, kita bisa membicarakan apa yang harus kita lakukan
dan ke mana kita akan pergi setelah ini.”
Saat sedang asyik bercakap-cakap
beberapa waktu lamanya, Dewa Mendu dan Angkara Dewa terkejut mendengar suara
pepohonan yang bergerak-gerak dengan kencang. Tidak seperti gemerisik tangkai
yang sedang tertiup angin. Tak berapa
lama, muncullah seekor gajah putih yang berjalan menghampiri mereka.
Keduanya makin terkejut saat gajah putih
itu lalu duduk bersimpuh di depan mereka. Ia seperti memberi hormat kepada Dewa
Mendu dan Angkara Dewa. Mereka makin terkejut saat gajah putih tersebut
kemudian menangis terisak-isak.
“Huhuhu… Tolonglah aku. Sebetulnya aku
ini manusia. Namaku Sitti Mahdewi. Aku putri kerajaan Negeri Anta Pura. Ayahku
bernama Raja Langka Dura,” ratap Siti Mahdewi sambil menangis terisak.
Dewa Mendu dan Angkara Dewa jadi ingin
tahu, kenapa Sitti Mahdewi berwujud sebagai gajah putih dan bukan manusia. Setelah
Dewa Mendu dan Angkara Dewa juga memerkenalkan diri, mereka lalu meminta Sitti
Mahdewi menceritakan apa yang sudah terjadi.
Sambil terus menangis, Sitti Mahdewi
berkisah. Dulu ia memang seorang manusia. Suatu ketika, datanglah utusan dari
Raja Lak Semalik yang berasal dari Kerajaan Anta Syina. Raja tersebut ingin
melamarnya. Namun Raja Langka Dura menolak lamaran tersebut. Ia tidak ingin
anaknya menikah dengan Raja Lak Semalik yang memiliki kepercayaan berbeda.
Hal itu membuat Raja Lak Semalik menjadi
marah karena merasa terhina. Ia lalu menyerang Kerajaan Negeri Anta Pura. Namun
kekuatan pasukan Raja Lak Semalik kalah. Raja Lak Semalik makin kesal dan
memendam dendam.
“Karena itu, Raja Lak Semalik menyuruh sesosok
jin untuk menyihirku menjadi gajah putih. Kedua orangtuaku menjadi sedih. Apalagi
makin hari, banyak orang yang menggunjing tentang diriku. Ada juga yang
mengejek dan menghinaku. Hal itu makin membuat kedua orangtuaku menjadi sedih,”
ujar Sitti Mahdewi sendu.
Karena tidak tega melihat putrinya terus
menerus mendapat penghinaan dari banyak orang di Negeri Anta Pura, Raja Langka
Dura akhirnya mengambil keputusan yang berat. Ia menyuruh perdana menterinya
untuk membawa Sitti Mahdewi pergi ke hutan.
Tapi Raja Langka Dura memerintahkan
sesuatu yang membuat perdana menteri terkejut. Ia harus menghilangkan nyawa Sitti
Mahdewi. Menurut Raja Langka Dura, hanya cara itu yang bisa menyelesaikan
masalah. Raja Langka Dura tak ingin putrinya harus terus menghadapi hinaan dari
banyak orang.
“Kata ayahku, ia masih bisa menahan malu
karena tubuhku sudah berubah menjadi gajah putih. Tapi ayahku tidak tega
melihatku yang setiap hari selalu menangis sedih,” terang Sitti Mahdewi.
Sesampainya di hutan, perdana menteri
tidak menuruti perintah Raja Langka Dura. Ia membiarkan Sitti Mahdewi tetap
hidup karena tidak tega. Saat kembali ke kerajaan, perdana menteri membawa
sobekan kain milik Sitti Mahdewi yang telah dibasahi darah kijang untuk
mengelabui raja.
“Perdana menteri memintaku untuk menjaga
diri. Lalu ia tinggalkan aku sendirian. Saat itu aku sedih dan bingung. Selama
ini aku tinggal di kerajaan. Tapi kemudian aku harus sendirian di hutan. Karena
aku harus tetap hidup, akhirnya aku berjalan tak tentu arah sambil mencari
buah-buahan yang bisa aku makan,” tutur Sitti Mahdewi sambil mengulurkan
belalainya mengusap matanya. Lelehan air mata terus mengalir dari kedua mata
Sitti Mahdewi yang terus menangis.
Untungnya tak berapa lama, Sitti Mahdewi
bertemu dengan dua ekor burung yang terbang menghampirinya. Mereka sudah tahu
semua cerita penderitaan Sitti Mahdewi.
“Kedua burung itu tidak tega melihatku
menderita. Kata mereka, aku harus pergi ke Jalan Raya Titian Batu. Ada dua
orang kakak adik yang akan membantuku dan bisa mengembalikan wujudku menjadi
manusia. Jadi, apakah benar kalianlah orang yang bisa membantuku?” tanya Sitti
Mahdewi.
Dewa Mendu dan Angkara Dewa sesaat
saling menatap. Mereka merasa iba setelah mendengar semua cerita Sitti Mahdewi.
Dipandanginya wujud gajah putih yang merupakan penjelmaan Sitti Mahdewi. Dalam
benak keduanya, mereka membayangkan, pasti betapa sulit hidup menjadi seekor
gajah.
“Baiklah,
aku akan menolongmu,” ujar Dewa Mendu yang kemudian membacakan mantranya.
Asap putih lantas muncul, mengepung
tubuh Sitti Mahdewi. Saat asap itu reda, Sitti Mahdewi sudah tidak lagi
berwujud gajah putih. Dewa Mendu dan Angkara Dewa terkejut dan terkesima.
Mereka tak menyangka ternyata paras Sitti Mahdewi begitu cantik.
Sitti Mahdewi memandangi tubuhnya yang
sudah berubah kembali menjadi manusia. Ia tersenyum girang sambil memegangi
tangan, kaki, tubuh, dan kepalanya.
“Terima kasih. Terima kasih,” seru Sitti
Mahdewi berulang kali. Ia tak menyangka, akhirnya kutukan yang dialaminya
selama beberapa tahun itu akhirnya telah hilang.
“Aku harus kembali ke kerajaanku. Bisakah
kalian mengantarku ke sana? Aku akan mengenalkan kalian pada ayahku. Ia pasti
juga akan berterima kasih atas apa yang telah kalian lakukan padaku,” tutur
Sitti Mahdewi.
Sesaat Dewa Mendu dan Angkara Dewa
saling pandang.
“Bagaimana jika kita lanjutkan
pejelajahan kita di bumi ini dengan pergi ke sana?” ajak Dewa Mendu.
Angkara Dewa mengangguk setuju. “Ya,
Kak. Kita harus mengantar Sitti Mahdewi pulang dengan selamat.”
Sesampainya di Kerajaan Negeri Anta
Pura, Raja Langka Dura terkejut saat mengetahui putrinya masih hidup. Padahal,
Raja Langka Dura sedang berencana mengadakan upacara berkabung untuk mengenang
40 hari meninggalnya Sitti Mahdewi.
“Anakku…” seru Raja Langka Dura sambil
memeluk putrinya dan menangis. “Maafkan ayahmu, Nak.”
Sambil menggelengkan kepala, Sitti
Mahdewi juga meminta maaf. “Aku juga membuat ayah menjadi susah.”
Dewa Mendu dan Angkara Dewa lalu
diperkenalkan Sitti Mahdewi ke Raja Langka Dura. Raja Langka Dura terkesan
dengan cerita putrinya. Dalam hati Raja Langka Dura merasa, dua sosok di
hadapannya itu pastilah bukan manusia sembarangan. Menurut Raja Langka Dura,
pasti keduanya memiliki kesaktian yang tinggi. Mereka juga memiliki hati yang
baik karena sudah menolong Sitti Mahdewi. Padahal sebelumnya mereka berdua
tidak mengenal putrinya.
“Karena engkau telah berhasil
mengembalikan wujud Sitti Mahdewi menjadi manusia, maukah engkau menikah dengan
putriku? Aku akan senang jika putriku bisa menikah dengan orang yang baik
seperti anda,” tanya Raja Langka Dura ke Dewa Mendu.
Dewa Mendu menerima tawaran tersebut. Akhirnya
ia menikah dengan Sitti Mahdewi. Tak berapa lama kemudian, Raja Langka Dura
mengangkat Dewa Mendu untuk menggantikannya menjadi raja. Ia merasa sudah tua
sehingga tidak sanggup lagi memerintah kerajaan.
Dewa Mendu lantas menjadi raja dengan gelar
Raja Muda. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Negeri Anta Pura makin maju dan
berkembang. Segala masalah kerajaan bisa diselesaikan Dewa Mendu dengan baik
dan bijaksana. Rakyat menjadi hidup makmur dan merasa tenteram.
Sumber foto: Melayu Online
Post a Comment
Post a Comment