Sewaktu dulu mengajar Kewarganegaraan di
Poltek Batam, saya sempat mengajak para mahasiswa untuk mengunjungi bekas Camp
Vietnam yang berada di Pulau Galang. Pulau ini dekat dengan Pulau Batam yang
berada di daerah Provinsi Kepulauan Riau.
Dalam kunjungan tersebut saya dan para
mahasiswa mendapat banyak penjelasan seputar sejarah bekas pengungsi Vietnam
tersebut dari Pak Mursidi dan Pak Hari Sukoraharjo. Pak Mursidi adalah orang
yang sejak masa pengungsian Vietnam hingga saat kami berkunjung waktu itu
mengelola tempat tersebut. sedangkan Pak Hari adalah Staf Ahli Otorita Batam.
Ini adalah catatan kunjungan pada tanggal 7
Juni 2008 yang saya tulis ulang di blog ini. Selamat membaca ya…
**
Pada tahun 70-an, di Vietnam terjadi
perpecahan dan pertikaian yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik. Hal ini
menyebabkan Vietnam pun terbagi menjadi dua, bagian utara dan selatan. Bagian
utara menganut paham komunis dan bagian selatan menganut menentang paham
komunis.
Dampak dari adanya perang tersebut membuat
banyak rakyat Vietnam yang mencoba melarikan diri. Dengan menggunakan perahu,
mereka mencoba mencari tempat persinggahan baru di negara-negara lainnya.
Banyak dari penduduk Vietnam yang melarikan
diri tersebut akhirnya terdampar di Malaysia, Singapura, Filipina, atau
Indonesia. Di Malaysia, Singapura, dan Malaysia sendiri, kebanyakan para
pengungsi tersebut ditolak dan diminta untuk meninggalkan negara-negara
tersebut. Akhirnya, satu-satunya tempat yang mereka tuju adalah Indonesia.
Di Indonesia sendiri, pada pengungsi Vietnam
tersebar di berbagai pulau yang ada di Kepulauan Riau seperti di Natuna,
Bintan, Senayang, Tanjungpinang, dan Pulau Galang. Pengungsian tersebut terus
menerus sampai di Kepri selama lima tahun sejak tahun 1975.
Keberadaan para pengungsi Vietnam yang banyak
singgah di Indonesia ini banyak disorot oleh dunia internasional. Hingga di
tahun 1979, Pulau Galang pun kemudian disurvei dari UNHCR sebagai tempat
pemusatan para pengungsi Vietnam.
Di tahun 1980, Pulau Galang akhirnya menjadi
pusat para pengungsi Vietnam. Dari daerah-daerah yang terpencar-pencar, para
pengungsi tersebut diangkut dengan menggunakan enam buah kapal feri yang waktu
itu masih berbentuk kayu dengan masing-masing kapal berkapasitas 60 hingga 70
orang.
Para pengungsi yang terpusat di Pulau Galang
tersebut akhirnya mendapatkan fasilitas hidup mulai dari makanan, tempat
ibadah, hingga pengobatan dari UNHCR. Mereka tinggal di sana hingga September
1996. Apabila ditotal, jumlah pengungsi yang ada selama 21 tahun tersebut
termasuk yang lahir di dalam masa pengungsian bisa berjumlah 250 ribu jiwa.
Pada tahun 1996, para pengungsi ini diminta
meninggalkan Galang untuk dikembalikan ke Vietnam atau dikirim ke negara-negara
tujuan seperti Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara lain yang bersedia
untuk menampung para pengungsi tersebut.
Indonesia sendiri sengaja tidak mengambil
resiko untuk menerima mereka sebagai warga negara Indonesia. Meskipun
sesungguhnya, begitu banyak para pengungsi Vietnam yang ingin menjadi WNI.
Alasannya adalah faktor politik. Indonesia hanya mau menjadi tempat pengungsian
sementara dari mereka dengan alasan kemanusiaan.
Menurut Pak Hari, bahkan ketika para
pengungsi tinggal di Galang, keberadaan mata-mata dari pemerintah Vietnam saja
bisa muncul di tengah-tengah para pengungsi. Begitu juga ketika terjadi reuni
para pengungsi Vietnam yang berlangsung pada tahun 2005. Kegiatan tersebut
dipermasalahkan oleh pihak pemerintah Vietnam karena mengungkit masa lalu yang
pernah terjadi di negara tersebut.
Sementara itu ke depannya, Camp Vietnam yang
ada di Pulau Galang ini akan makin dikembangkan sebagai wisata kemanusiaan.
Otorita Batam sendiri di tahun 2008 memiliki proyek untuk memerbaiki Camp
Vietnam. Misalnya saja perahu yang pernah digunakan para pengungsi.
Perahu-perahu tersebut sayangnya kini kondisinya banyak yang telah rusak
sehingga membutuhkan perbaikan.
Inilah perahu yang dahulu digunakan para
pengungsi Vietnam untuk melarikan diri dari Vietnam. Dahulu satu perahu ini
bisa diisi oleh 60 hingga 70 orang yang berdesa-desakkan demi menyelematkan
diri. Foto diambil pada bulan Mei 2007 ketika atap yang melindungiperahu masih
belum roboh.
Ricai-ricai…!!!
Kalau tadi tulisan ‘serius’nya, inilah hasil
cerita di balik kunjungan tersebut. Mulai dari pagi sebelum rombongan kami
berangkat, satu demi satu para mahasiswa termasuk saya sendiri merasa sedikit
kurang optimis. Bagaimana tidak, hujan yang sempat turun deras sekitar pukul
08.00 WIB hingga mendung tebal yang terus bergayut membuat kami khawatir,
apakah kunjungan kami akan sukses dan lancar?
Benar saja, cuaca yang kurang kondusif
membuat beberapa mahasiswa datang terlambat untuk berkumpul di kampus.
Sementara itu ketika kami tiba di Camp Vietnam, hujan deras malah menyambut
kami. Akhirnya, para mahasiswa pun banyak yang kedinginan dan kurang
berkonsentrasi untuk menyimak keterangan dari Pak Mursidi dan Pak Hari tentang
keberadaan Camp Vietnam tersebut.
Namun tidak semua mahasiswa lantas lemas dan
tidak bersemangat. Buktinya, ada Hari dari jurusan Informatika yang mencoba
bertanya, mengapa para pengungsi tersebut tidak diangkat menjadi WNI (jawaban
ada di nagian tulisan yang ada di atas) serta saran darinya agar bekas perahu para
pengungsi tersebut tidak disemen bagian bawahnya.
Menurut Pak Hari, ternyata keberadaan perahu
yang bagian bawahnya disemen tersebut justru merupakan ciri khas dari perahu
masyarakat vietnam. “Hanya orang Vietnam saja di dunia ini yang menyemen perahunya,”
terang Pak Hari. Sementara itu kondisi perahu yang rusak tersebut menurutnya
adalah dikarenakan tertimpa atap yang dulu sempat dibuat untuk melindungi
kapal.
Antusiasme juga ditunjukkan oleh Anresi,
Noni, Martina, Ijul dan beberapa teman-temannya dari jurusan Akuntansi yang
sibuk bertanya ini itu kepada Pak Mursidi ketika memasuki museum. Mulai dari
sejarah, hingga bahasa Vietnam pun mereka coba gali dari Pak Mursidi.
“Bu, nanti kami harus buat laporan seperti
apa? Tulisan saya sudah banyak lho Bu dapat dari tadi hasil mencatat,” pamer
Noni yang memang terlihat antusias sejak ia mendengar berbagai keterangan
seputar Camp Vietnam.
“Yah, nanti sekalian ya Non, buat nulis
buku,” kata saya bercanda demi melirik hasil tulisan Noni yang berlembar-lembar
di buku catatannya.
Tak ayal ketika pulang, mereka pun mendapat
beberapa kosa kata baru dalam bahasa Vietnam. Satu yang saya ingat adalah
‘ricai-ricai’ yang berarti jalan-jalan. Yah… ricai-ricai di hari Sabtu itu
meski awalnya diserbu oleh hujan. Tapi akhirnya sukses juga…
Post a Comment
Post a Comment