Pernahkan terbayang hidup dalam sebuah sampan
di atas lautan selama bertahun-tahun dan menempuh seluruh proses kehidupan di
dalamnya? Mungkin bagi kita yang terbiasa hidup menetap dalam sebuah rumah di
daratan, hal tersebut terasa begitu berat dilakukan.
Namun itulah yang terjadi dalam kehidupan
suku laut hingga beberapa tahun yang lalu. Mulai dari lahir, besar, makan,
tidur, memasak, sampai menikah pun dilakukan di atas sampan yang mereka
istilahkan dengan kajang, benda berbentuk sampan yang di atasnya diberi sirap
atau atap dari daun kelapa. Di situlah selama berpuluh-puluh tahun masyarakat
suku laut hidup.
Memang, saat ini kehidupan seperti itu sudah
jarang ditemui di Kepulauan Riau. Sejak Batam di tahun 90-an mulai terus
berbenah, kehidupan masyarakat suku laut di sekitar Batam mulai berubah. Mereka
pun kemudian menetap dalam sebuah rumah di tepi laut di beberapa pulau seperti
Tanjung Sauh, Kubung, dan Todak yang letaknya tak jauh dari Pulau Ngenang dan
berada di dalam lingkungan pemerintahan Kelurahan Ngenang, Kecamatan Nongsa.
“Kalau seperti saya dulu masih lahir di atas
kajang,” ujar Susana Sarum, Ketua RT 2 Tanjung Sauh. Bahkan ia dan Sadiyah,
wanita yang juga berasal dari suku laut di Tanjung Sauh tersebut mengistilahkan
diri mereka sebagai anak air asin.
“Seperti kami ini masih mandi air asin waktu
lahir. Kalau anak-anak saya sekarang sih sudah bukan lagi anak air asin,” ujar
Sadiyah.
Seperti laiknya kehidupan manusia di atas
daratan, mereka pun melakukan aktivitas umumnya seperti memasak. Dalam sebuah
kajang, mereka akan menyisakan sebuah tempat yang digunakan untuk memasak. Api
mereka dapatkan dengan menggunakan gesekan batu atau kayu.
Prosesi pernikahan juga dilakukan di atas
kajang. “Ya pakai baju pengantin segala. Nanti mereka yang sudah menikah buat
kajang baru,” cerita Jaiyah, wanita asal Suku Laut.
Ibu dari 14 anak ini mengaku melahirkan
anak-anaknya hingga anak yang ke 10 di atas kajang. Nah, tak terbayangkan kan
apabila Jaiyah dan suaminya, Den, beserta 10 anak mereka tinggal di atas sebuah
kajang yang besarnya kira-kira seukuran pancung.
“Dulu malah waktu mereka dibuatkan rumah oleh
pemerintah sampai tidak mau menempati, lho. Katanya takut waktu melihat atapnya
tinggi. Mungkin karena mereka terbiasa tinggal di atap yang pendek,” jelas
Taofik, Ketua RW 1 Ngenang.
Namun kini apabila mereka ditanya lebih enak
mana tinggal seperti dulu di kajang atau seperti sekarang di dalam rumah,
jawaban inilah yang keluar, “Enak sekarang bisa lihat tivi,” jawaban polos dari
Den, tetua Suku Laut di daerah Air Mas.
Listrik memang telah menyentuh sendi
kehidupan beberapa masyarakat suku laut saat ini. Dengan tenaga diesel dan
bahan bakar tiga liter solar setiap malam, rumah Den dan sebuah rumah di
sebelahnya hingga sekitar pukul 22.00 WIB sempat merasakan terangnya sinar
lampu dan menikmati tayangan sinetron televisi.
Namun ini tidak bisa dinikmati oleh seluruh
rumah yang ada di sekitarnya. “Diesel itu dulu dibeli dari uang hasil bantuan.
Tapi sayang kabelnya nggak cukup sampai semua rumah,” ujar Toni, putra Den.
Kehidupan yang telah melangka moderen memang
mulai ditapaki oleh masyarakat suku laut. Tak hanya televisi, hanphone pun
sudah mereka miliki. Bahkan saat kru sebuah stasiun televisi meliput kehidupan
suku laut di Air Mas, mereka sudah bisa berkata untung rugi.
Alkisah, ada sekelompok kru sebuah stasiun
televisi swasta yang ingin menayangkan tentang kehidupan suku laut. Seusai para
kru tv ini mengambil foto dan gambar tentang kehidupan mereka, masyarakat yang
terlibat dalam syuting acara tersebut kemudian dengan terus terang meminta uang
kepada para kru tv tersebut. Bahkan, saat melihat ayam mereka masuk dalam
syuting kamera, mereka meminta uang atas nilai ayam yang masuk dalam syuting
kamera tersebut.
“Itu kejadiannya sekitar setahun yang lalu.
Tapi kalau kami tidak seperti itu,” ujar Jaiyah yang merasa malu atas kejadian
tersebut karena membawa nama suku laut.
Dari segi ekonomi, suku laut terkenal di
kalangan pulau-pulau sekitarnya merupakan suku yang pintar mencari uang.
“Mereka itu kalau dibandingkan kita, cepat kaya. Mau punya sampan saja mereka
cepat bisa punya. Tapi kebanyakan dari mereka kurang pintar mengelola uang,”
ujar Edi, putra Sarum.
Sarum sendiri yang mengaku memiliki leluhur
dari suku laut dan tinggal di Pulau Tanjung Sauh persis di seberang Pulau
Ngenang, bersama suaminya kini memiliki usaha pembakaran arang. Usaha yang
dirintis sejak sekitar 10 tahun yang lalu ini bahkan memasok arang untuk diekspor
ke Singapura. Tempat Sarum dan keluarganya hingga kni disebut Dapur Arang oleh
masyarakat di sekitar daerah tersebut.
Seperti layaknya masyarakat kepulauan,
kebanyakan dari masyarakat suku laut ini tidak bisa lepas dari kehidupan
nelayan sebagai mata pencaharian. Bahkan di tengah kehidupan mereka sekarang,
melaut selama berbulan-bulan dengan kajang pun masih dilakukan apabila lepas
musim angin utara.
“Kalau sudah angin utara selesai, ada juga
yang pergi melaut pakai kajang. Rumah mereka tinggalkan. Nanti mereka bisa
kembali lagi,” cerita Jaiyah.
Anak-anak suku laut pun sudah banyak yang
mengenyam pendidikan di Pulau Ngenang. Dengan sampan kayuh, anak-anak kecil ini
mengayuh sampannya untuk berangkat dan pulang dari SDN 006 Ngenang.
Sayangnya, hingga kini mereka membutuhkan
tenaga bidan untuk membantu persalinan. Untuk setiap kelahiran, mereka harus
menjemput atau membawa wanita yang melahirkan ke rumah bidan yang berada di
Pulau Todak.
“Kalau dulu kita melahirkan ditolong sama
orang yang biasanya membantu kita melahirkan. Sekarang mereka sudah banyak yang
meninggal. Sampai kemarin dalam satu bulan ada tiga ibu melahirkan yang
meninggal. Cuman satu yang bisa selamat anaknya. Kalau ibunya, meninggal
semua,” tutur Jaiyah.
*Tulisan ini pernah dimuat di Tribun Batam
Post a Comment
Post a Comment