Dulu sewaktu SMP, saya punya seorang teman yang sangat posesif. Kalau
saya main sama anak lain, main sebentar ke kelas sebelah, mesti dia panggil
lalu diminta balik ke kelas. Buat ngapain? Buat nemenin dia lagi! Hehehe, unik
kan ya?
Nah, cerita ini terinspirasi dari si teman saya tersebut. Tapi anaknya
aslinya baik banget sih, nggak kayak Anis yang ada di cerpen ini.
Cerpen ini sendiri pernah dimuat di Majalah Girls pada tahun 2011.
Selamat membaca ya…
**
Teman yang
Menyenangkan
“Mutia, ke sini dong!” panggil Anis tiba-tiba
dari arah depan pintu kelas ke arah Mutia.
Mutia yang
sedang asyik bercanda dengan Diana dan Kiki, teman dari kelas sebelah, jadi
merasa kesal. “Ah, selalu saja ia melarangku untuk bermain dengan teman-teman
yang lain!” gerutu Mutia dalam hati.
Selama
beberapa saat, Mutia tidak mau mendengar panggilan Anis. Ia masih saja asyik
bercanda dengan kedua temannya tersebut. Namun sekali lagi, terdengar suara
Anis yang memanggil Mutia untuk mengajaknya menghampiri Anis.
“Mutia, ke
sini dulu dong!” pinta Anis namun kini lebih keras suara panggilannya.
Dengan
terpaksa, akhirnya Mutia pun meminta maaf kepada Diana dan Kiki. Sambil
berjalan malas, Mutia lalu mendekati Anis yang masih menunggunya di depan pintu
kelas.
“Ada apa sih,
Nis?” tanya Mutia kesal meski ia sudah tahu apa yang akan dijawab oleh sahabat
dekatnya itu.
“Kamu itu di
sini saja sama aku! Aku kan jadi sendirian jadinya dan tidak punya teman karena
kamu malah bermain ke kelas sebelah,” keluh Anis seperti yang sudah Mutia duga
sebelumnya.
“Heah!” Mutia
menghela nafas tanda kesal. “Kamu, bisa nggak sih untuk tidak melarang-larang aku berteman atau bermain
dengan siapa saja?” tegur Mutia benar-benar kesal pada Anis.
“Ih, aku nggak
mau tahu! Pokoknya kalau jam istirahat, kamu harus di sini saja dong temani
aku!” sahut Anis tidak peduli.
Mutia kesal
mendengar ucapan Anis. “Huh, egois sekali sih si Anis ini! Masa aku harus
bermain dengan dia saja?” gerutu Mutia dalam hati.
Akhirnya
karena kecewa dengan sikap Anis, Mutia melangkah memasuki kelas meninggalkan
Anis yang masih terus berdiri di depan pintu kelas. Ia lalu duduk di bangkunya
dan mencoba mau mendengar apapun yang Anis katakan. Hingga esok harinya, Mutia
tetap mendiamkan Anis. Bahkan, ia memilih untuk pindah tempat duduk dan
menjauhi Anis.
“Mutia, kamu
masih kesal ya sama aku gara-gara kemarin? Aku minta maaf deh kalau begitu.
Pindah tempat duduk dekat aku lagi ya?” pinta Anis pada Mutia yang masih belum
mau mengajaknya bicara. Mendengar ucapan Anis, Mutia malah beranjak pergi
meninggalkan Anis tanpa mengucapkan kata apapun.
Apa yang
dilakukan oleh Mutia akhirnya sungguh membuat Anis sedih. Sampai-sampai
keesokan harinya, Anis tidak masuk sekolah karena sakit akibat sedih memikirkan
Mutia yang tak kunjung mau bicara dengannya. Saat tahu tentang itu, Mutia
akhirnya jadi ikut sedih dan menyesal.
“Duh, aku
sudah membuat Anis sakit gara-gara aku mendiamkannya. Ah, Anis memang sering
menyebalkan sih karena telah melarang-larang aku bermain dengan siapa saja.
Tapi, dia teman yang baik sebetulnya. Anis selalu perhatian dan mau mendengar
cerita-ceritaku. Ia juga baik dan sering menolong aku. Huh, tapi kalau berteman
dengan Anis melulu, aku jadi tidak punya teman banyak dong? Duh, bagaimana
ini?” gumam Mutia dalam hati.
Tiba-tiba
sebuah ide muncul dalam benaknya. “Ah, jika aku mengajak beberapa teman yang
lain untuk menjenguk Anis, mungkin itu bisa cukup menghibur Anis dan mengobati
sakitnya,” gumam Mutia dalam hati.
Akhirnya di
sore harinya, Mutia mengajak Kiki, Diana, dan beberapa teman lainnya untuk
menjenguk Anis di rumahnya. Anis yang saat itu masih sakit dan sedih karena
memikirkan Mutia masih belum menyapanya, jadi terkejut dan merasa terhibur
dengan kehadiran Mutia dan kawan-kawannya.
“Wah, terima
kasih ya kalian semua mau menengokku. Huh, Mutia, aku pikir kamu benar-benar
marah padaku! Tapi aku senang kok, kamu akhirnya mau datang ke sini,” ujar Anis
yang awalnya menggerutu namun akhirnya merasa senang karena Mutia mau datang ke
rumahnya untuk menjenguknya.
“Yah, pada
awalnya aku memang benar-benar marah sama kamu, Nis. Habisnya, aku kesal karena
kamu selalu melarang-larang aku untuk bermain dengan teman-teman yang lain.
Padahal, temanku kan tidak hanya kamu saja,” terang Mutia dengan jujur.
“Tapi, aku kan
jadinya sendirian kalau kamu tidak bermain dengan aku, Mutia?! Kalau tidak ada
kamu, aku harus bermain dengan siapa dong?” sahut Anis sedih.
“Hahaha, kamu
itu memang lucu, Nis! Kami-kami ini, juga mau kok jadi temanmu. Cuma terkadang,
kamunya sih yang hanya mau berteman dengan Mutia saja. Kalau Mutia mengajak
kamu untuk ikut berkumpul dengan kami, kamu tidak pernah mau ikut bermain
dengan kami. Sampai terkadang, kami kesal juga lho karena kamu selalu memanggil
Mutia kalau ia sedang berkumpul dengan kami. Jadinya, kami pun malas deh untuk
mendekati dan berteman denganmu,” sahut Kiki.
“Tuh kan,
setiap orang sebetulnya mau kok berteman dengan kamu, Nis! Buktinya sekarang,
meski mereka tidak akrab dengan kamu, mereka mau kok ikut aku menjenguk kamu
yang sedang sakit. Iya kan?” ujar Mutia.
Anis tersenyum
menyadari kebenaran apa yang dikatakan oleh Mutia. “Iya ya, aku jadi malu nih!”
ujar Anis tersipu.
“Jadi mulai
besok, kamu harus ingat Nis, bahwa temanmu itu tidak hanya Mutia saja. Ada aku,
Kiki, juga teman-teman yang lain yang mau berteman dengan kamu,” imbuh Diana.
Anis
menganggukkan kepalanya. Sejak itu Anis sadar, bahwa teman yang menyenangkan
ternyata tidak hanya Mutia saja. Sedangkan Mutia sendiri berjanji dalam hati
untuk membantu Anis agar bisa mengenal banyak teman.
Post a Comment
Post a Comment