Cerpen anak berjudul Telinga yang Baik ini pernah
dimuat di Majalah Girls pada tahun 2011. Ceritanya tentang kemampuan seorang
anak yang mau menyimak atau mendengarkan temannya.
Dan kayaknya, teman yang baik itu memang mau
mendengarkan temannya saat bicara ya. Nggak melulu fokus pada dirinya sendiri.
**
Telinga yang Baik
“Eh, ada Dista
tuh!” seru Rani pada Amel.
“Ah, aku
sedang malas mengobrol dengan dia!” sahut Amel.
“Sama!” jawab
Rani.
“Kita pergi
saja, yuk!” ajak Amel.
Rani mengganggukkan
kepala. Sebelum Dista sampai di tempat Amel dan Rani berdiri, kedua anak itu
pun sudah beranjak pergi menuju tempat lain.
“Aneh, kenapa
ya mereka sepertinya menjauhiku?” batin Dista keheranan.
Sementara itu,
Rani dan Amel kembali membicarakan Dista di tempat lain.
“Aku kurang
suka dengan Dista yang sekarang! Soalnya jika sedang bersama kita, pasti yang
ia bicarakan hanyalah tentang dirinya melulu!” keluh Amel.
“Iya!
Mentang-mentang ia baru menang kontes menyanyi, sekarang sepertinya cuma dia
saja selalu yang punya cerita! Kita enggak pernah lagi punya kesempatan untuk
berbagi cerita,” imbuh Rani.
“Aku pernah
waktu itu cerita tentang kakekku yang sedang sakit. Uh, rasanya sedih sekali!
Eh, bukannya perhatian, Dista malah punya cerita tandingan sendiri tentang
kakeknya. Dia bilang, kalau dia sih bersyukur kakeknya masih hidup. Terus dia
malah cerita tentang kakeknya yang paling hobi mendukung dia saat ikut lomba ke
mana-mana,” gerutu Amel.
“Iya, aku juga
kesal dengan Dista. Kemarin aku cerita kalau aku ingin ikut lomba menyanyi
antar kelas di sekolah. Maksudku sih ingin minta dukungan dari dia atau minta
tips-tipsnya begitu. Eh, dia dengan sombongnya lalu bilang kalau ia sedih
karena sekarang tidak bisa ikut lomba seperti itu lagi. Karena pastinya, semua
peserta akan kalah dan dia akan jadi pemenangnya!” Rani mengeluh tak kalah
kesalnya.
“Huh,
memangnya cuma dia saja yang mau didengarkan ceritanya?” sungut Amel.
“Iya, dia
selalu punya cerita sendiri kalau kita sedang bercerita ke dia. Sepertinya
cerita dia saja yang harus didengar!” imbuh Rani.
Akhirnya sudah
seminggu ini Amel, Rani, dan Dista tidak lagi jalan bersama. Amel dan Rani
selalu memilih untuk menghindari Dista. Karena Dista sadar ada yang tidak beres
dengan dua sahabatnya, suatu ketika Dista berencana untuk mencegat Amel dan
Rani saat pulang dari sekolah.
“Dista tuh!”
bisik Amel lirih.
“Ah, kali ini
kita di sini saja. Sudah waktunya Dista tahu jika kita tidak suka dengan
sikapnya selama ini,” jawab Rani yang lalu merasa sudah saatnya Dista tahu apa
masalah yang sebenarnya.
“Rani, Amel!
Heah, untung kali ini kalian tidak menjauhi aku lagi. Sebetulnya, kalian ini
kenapa sih? Kok akhir-akhir ini sepertinya sedang menjauhi aku, ya?” tanya
Dista dengan sikap tidak terima.
Sesaat Rani
dan Amel hanya diam dan saling pandang untuk sesaat.
“Uhm,
sebetulnya kamu merasa enggak kalau kita sedang mendiamkanmu karena ulahmu
sendiri?” tanya Rani pada akhirnya.
“Oh, jadi aku
punya salah ya pada kalian? Ada masalah apa?” tanya Dista bingung.
Sesaat Amel
menghela nafas.
“Begini Dis,
kami itu sebetulnya sedang kesal dengan kamu gara-gara kamu selalu saja hanya
mau menceritakan dirimu sendiri,” terang Rani.
“Iya! Dan
bahkan, ketika kita cerita tentang masalah kita, kamu tidak mau mendengar dan
malah menceritakan dirimu sendiri,” imbuh Amel.
Dista diam
sejenak dan lalu berucap, “Jadi itu salahku?”
Amel dan Rani
mengangguk.
Dista mencoba
mengingat-ingat kejadian yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Ya, Amel dan
Rani memang benar! Ia ingat, saat Amel dan Rani bercerita tentang masalahnya,
ia justru malah menceritakan dirinya sendiri dan tidak mau mendengar
cerita-cerita Amel dan Rani. Kini Dista jadi tahu apa yang sedang
dipermasalahkan oleh Rani dan Amel tentang dirinya.
“Yah, kami
minta maaf lho Dis kalau mungkin perkataan kami ini menyinggung perasaan kamu,”
ujar Rani karena merasa tak enak melihat Dista yang justru langsung diam dan
tidak berbicara apa-apa setelah Rani dan Amel memprotes tentang sikapnya.
Dista
menggelengkan kepala lalu tersenyum. “Ah, enggak kok! Aku tahu, kalian ingin
aku menjadi sahabat yang baik. Tapi kalau kalian tetap mendiamkan aku, aku kan
jadi tidak tahu di mana salahku.”
“Kamu tidak
tersinggung dengan ucapan kami tadi?” Amel jadi merasa khawatir dengan perasaan
Dista.
“Yah, orang
kan memang harus siap dikritik jika salah. Aku sadar, aku memang sudah salah
karena telah egois. Aku kemarin hanya mau bercerita tentang diriku sendiri saja
dan kurang mau mendengarkan cerita-cerita kalian. Kalau aku jadi kalian, tentu
aku juga tidak mau punya teman seperti itu,” ujar Dista.
Amel dan Rani
lalu menggenggam tangan Dista. “Jadi, sekarang kita berteman lagi yah!”
“Iya dong!”
sambut Dista dan lalu ketiga sahabat itu pun tertawa dengan riang.
Post a Comment
Post a Comment