Dulu sewaktu kecil, dan saat latihan
tari Bali di sanggar, saya suka iri sama dua orang anak perempuan yang selalu
diposisikan sama guru les tari saya di bagian depan. Tari apapun deh, dari yang
dasar banget sejak awal latihan tari Bali yaitu Tari Pendet.
Jadinya kadang saya suka iri. Setiap
ujian di anjungan Bali yang ada di Taman Mini Indonesia Indah, selalu anak dua
itu yang ada di depan. Akhirnya setiap saya sedang ujian dan difoto, hasil foto
yang diambil orang tua saya nggak pernah bisa bagus. Karena ya itu, posisi saya
ada di belakang.
Tapi di kemudian hari akhirnya saya
tahu dan sadar kok. Kenapa sih dua anak itu yang selalu ditaruh di depan oleh
Pak Wayan, guru tari saya. Mau tahu alasannya? Baca cerpen saya yang pernah
dimuat di Majalah Girls tahun 2012 ini ya…
**
Tarian Bali Peppy
“Lagi-lagi di tengah!” gerutuku dalam
hati saat Pak Wayan mengatur posisi untuk pentas ujian Tari Bali di Taman Mini Indonesia
Indah.
“Masa, aku selalu mendapat tempat yang
sama? Dan yang di depan, pasti Erna dan Esti lagi!” aku melirik sebal ke arah
dua teman les menariku
itu.
Aku tahu, Erna dan Esti pintar menari Bali. Gerakan tubuh mereka lebih gemulai.
Tapi, aku sebetulnya tidak kalah bagus juga kok.
Perasaan yang tak nyaman itu membuatku terus memasang wajah masam hingga
saat pulang dari les.
Mama yang biasa menemaniku les menari, rupanya mengerti ada sesuatu yang tidak
membuatku senang sore itu.
“Sepertinya sedang kesal ya? Ada apa?”
tanya Mama sambil menyetir mobil sewaktu pulang dari tempat les.
“Itu tuh Ma, Pak Wayan nggak adil! Masa, Erna dan Esti terus yang ada di
depan? Sedangkan aku dari dulu selalu dapat tempat di tengah.”
“Oh, nanti coba Mama bilang ke Pak Wayan, ya,” hibur Mama sambil tersenyum.
Hatiku merasa lega. “Ah, Mama memang selalu mengerti
aku,” batinku gembira.
“Tapi, Mama juga punya masukan nih
buat kamu. Kamu mau dengar enggak?”
“Apa, Ma?” aku menautkan alisku tanda
penasaran.
“Peppy itu sebetulnya sudah bagus kok. Cuma, kakinya lebih ditekuk lagi
kalau pas sedang menari. Jadi gerakan kakimu lebih terlihat luwes. Apalagi kamu
kan tinggi. Mungkin, karena itu juga Pak Wayan sering meminta Peppy ada di bagian tengah,” saran Mama.
Aku mengangguk-angguk sambil mengingat
pesan Mama. “Iya ya, sebetulnya Erna dan Esti juga tingginya hampir sama dengan
aku. Tapi mereka selalu ada di depan,” ujarku.
“Terus satu lagi, senyumnya lebih
lebar dong kalau sedang menari. Peppy itu cantik lho kalau senyumnya lebih
lebar,” puji Mama sambil mencubit pipi kananku.
Aku jadi malu. Kalau kuingat, memang,
aku sering lupa mengatur senyum saat sedang menari.
“Nanti di rumah, latihan menari di depan Mama, ya. Coba Mama kasih tahu apa saja yang harus
Peppy perbaiki. Jadi kalau Mama minta ke Pak Wayan agar Peppy bisa di depan, Peppy memang pantas
mendapatkan itu. Bagaimana?”
tawar Mama.
Aku mengangguk-angguk dengan semangat
tanda setuju. “Pokoknya, apapun aku lakukan asalkan aku bisa dapat menari di
barisan paling depan!” tekadku.
Selama beberapa hari, Mama
membimbingku untuk lebih giat berlatih. Apalagi, tari yang akan diujikan selain
Tari Tenun adalah
Tari Manuk Rawa, tari favoritku. Aku suka sekali tarian itu. Gerakan tarinya
lincah. Agak melelahkan,
sih. Tapi,
aku malah menyukainya.
Selama beberapa hari berlatih, aku justru lupa akan keinginanku
bisa menari di barisan depan. Yang ada, pikiranku selalu berkonsentrasi untuk
menari lebih baik di tempat les dan saat berlatih di rumah. Aku juga makin teliti memerhatikan diriku saat
menari dari dinding kaca yang ada ruang les tari.
“Minggu depan kita akan ujian. Cuma,
saya ada pengumuman untuk perubahan formasi barisan Tari Manuk Rawa. Kali ini, Peppy ada di
bagian depan ya. Sedangkan Esti dan Erna ada di belakang Peppy. Soalnya saya
lihat, gerakan Peppy sangat bagus di Tari Manuk Rawa. Cuma untuk tari Tenun saja yang
formasinya tetap,” ujar Pak Wayan saat memberi pengumuman di akhir latihan tari
pada sebuah sore.
Aku langsung membelalakkan mata tanda tak percaya. “Apa, ada di
barisan paling depan? Sendirian? Ah, baru kali ini nih Pak Wayan mengatur
posisi seperti ini. Biasanya kan selalu Erna dan Esti yang ada di depan,
berdua. Kali ini, aku benar-benar sendiri!” jantungku berdegup kencang karena senang.
Kulirik wajah Mama yang sedang tersenyum. “Mama, terima kasih,”
bisikku lirih.
Saat pulang dari les tari, aku
langsung mengecup pipi Mama.
“Terima kasih banyak, Ma. Pasti karena Mama kan yang sudah
pernah bicara ke Pak Wayan agar aku dipindah ke depan?” ujarku tersenyum.
Mama justru kulihat berusaha menahan
tawanya.
“Siapa yang sudah minta ke Pak Wayan
agar kamu di depan? Nggak kok, Mama nggak bilang begitu ke Pak Wayan,” jawab
Mama yang membuatku langsung berhenti tersenyum.
“Ah, yang benar, Ma?”
“Iya. Mama itu cuma sempat cerita ke
Pak Wayan kalau kamu itu sebetulnya ingin di barisan depan. Tapi Mama juga
bilang, rasanya kurang pas juga karena kemampuan menarimu memang masih tidak
sebagus Erna dan Esti.”
“Ih Mama, anaknya
sendiri kok enggak dipuji?” aku cemberut mengerucutkan bibirku.
“Waktu itu, Mama hanya tanya ke Pak Wayan, apa saja sebetulnya yang
kurang bagus dari gerakanmu jika sedang menari. Eh, Pak Wayan lalu mengatakan
kekuranganmu saat menari,
persis seperti yang Mama dulu pernah sarankan ke kamu. Jadi, kalau sekarang
kamu dapat tempat paling depan, itu memang karena usahamu sendiri, kok. Bukan
karena Mama.”
Aku jadi tersipu.
“Nah, karena kamu sekarang sudah dapat
barisan paling depan, tetap dijaga ya. Biar di ujian-ujian tari berikutnya,
kamu bisa terus ada di depan seperti Erna dan Esti. Kan siapa tahu, suatu saat
kamu berduet dengan Erna, Esti,
atau dengan yang lainnya karena kamu dinilai bagus saat menari,” saran Mama.
Aku tersenyum. “Hm, menari di barisan
paling depan saat pentas tari Manuk Rawa nanti akan jadi saat yang mendebarkan.
Tapi karena aku menyukai tarian itu, aku akan coba menari dengan baik. Juga di
tarian-tarian berikutnya,” tekadku dari dalam hati.
Post a Comment
Post a Comment