Suatu ketika saat
saya bertemu seorang sahabat, dia menceritakan tentang ulah keponakannya yang
tergolong unik. Si anak ini motivasinya buat sekolah bisa dibilang rendah.
Sedangkan setiap ibunya memintanya untuk memerbaiki diri, selalu ada saja
alasan yang dibuat anaknya.
Akhirnya, saya
jadikanlah cerita tersebut sebagai ide cerpen berikut ini. Cerpen ini sendiri
pernah dimuat di Majalah Girls pada bulan Juli 2012.
**
Sachi yang
Malas Sekolah
“Masa, soal seperti ini susah? Kayaknya pas
ulangan harian, Sachi bisa, kan?”
“Iya.”
“Terus?”
“Tangan Sachi
waktu itu lagi capek mengerjakan soal,” jawab Sachi seenaknya.
“Baiklah,
kalau begitu liburan nanti enggak usah ke rumah Nenek di Jogja!”
Bunda berlalu
meninggalkan Sachi yang tidak merasa bersalah. Tak berapa lama, Sachi mendengar
Bunda menelepon Tante Ruri, sahabat dekat Bunda.
“Nilai
ujiannya banyak yang rendah! Aku malu tho kalau ketemu gurunya nanti di
sekolah.”
Dalam hati,
Sachi justru puas karena sudah membuat Bunda marah. Ia sengaja melakukan itu
karena merasa lelah sekolah dan juga les ini itu. Sedangkan menurutnya, Bunda
cuma bisa kerja dan tidak mau tahu betapa capeknya Sachi.
“Biar deh,
liburan nanti aku cuma di Batam,” ujar Sachi lirih.
“Sachi...”
Bunda memanggil Sachi yang ada di kamar dengan suara keras. “Ayo, ikut Bunda
sekarang.”
Mata Sachi
seketika berbinar. “Jalan-jalan ya? Ke mana?”
“Nanti juga
Sachi akan tahu.” jawab Bunda yang terlihat masih menyimpan rasa kesal. Karena
tahu perasaan Bundanya, Sachi jadi tidak berani banyak bertanya selama berada
di perjalanan.
Tempat yang
Bunda tuju ternyata mal yang ada di Batam Centre. Bunda membeli banyak makanan.
Tapi setelahnya, Bunda justru mengajak Sachi pergi dari mal itu. Sachi kecewa.
Padahal ia kira, Bunda pasti akan mengajaknya makan di tempat favoritnya.
“Jadi kita
cuma beli roti terus pulang?” tanya Sachi.
“Enggak,”
jawab Bunda seadanya.
Dalam hati
Sachi menduga, “Atau, Bunda ingin mengajakku ke pantai Barelang, ya?”
Nyatanya,
mobil Bunda terus melewati belokan yang seharusnya mengarah ke Barelang.
Beberapa menit kemudian, mobil Bunda akhirnya tiba di sebuah tempat yang asing
bagi Sachi. Banyak bangunan berdinding kayu di tempat itu .
“Bu Dina? Wah,
sepertinya sudah lama sekali saya tidak pernah bertemu Ibu. Apa kabar, Bu? Duh,
terima kasih lho untuk bantuan yang sering Ibu titipkan ke Bu Ruri,” ujar
seorang bapak tua yang menyambut mereka.
“Iya, mohon
maaf Pak, saya sibuk terus. Oh iya, kenalkan, ini anak saya. Panggilannya
Sachi,” ujar Bunda mengenalkan Sachi pada bapak tersebut.
“Hai Sachi,”
sapa bapak yang bernama Pak Hari saat Sachi menyalami tangannya.
“Saya sengaja
mengajaknya agar ia punya teman-teman baru di sini. Biar hari ini ia bermain di
sini,” kata Bunda.
Sachi yang
memang mudah akrab dengan siapa saja langsung berkenalan dan bermain dengan
anak-anak di tempat itu. Akhirnya Sachi tahu jika tempat di mana ia ada saat
itu adalah panti asuhan.
“Eh sebentar,
tapi kok tempat kalian seperti ini?” Sachi keheranan sambil menatap ke sekeliling
bangunan.
“Memangnya
kenapa? Jelek?” tanya Amad, anak di panti tersebut.
“Maaf, maksud
Sachi bukan begitu,” Sachi jadi merasa ia sudah salah bicara.
“Kami ini
kebanyakan anak-anak yang dibuang sama orangtua kami. Ada juga orangtua kami
yang tidak mampu dan akhirnya menitipkan kami di sini. Jadi, kami sih bersyukur
saja bisa tinggal di sini meski kondisinya seperti ini,” kata Eli yang baru
dikenal Sachi.
“Tapi kalian
sekolah, kan?” tanya Sachi.
Sebetulnya
Sachi sempat melihat ada seragam sekolah yang sedang dijemur. Tapi karena
warnanya sudah hampir tidak jelas, Sachi jadi ragu. Jangan-jangan, itu cuma
baju biasa yang bukan dipakai untuk ke sekolah.
“Tentu kami
sekolah, dong!” seru Amad dengan wajah bersemangat.
“Iya, kalau
kami tidak sekolah, kami nanti enggak bisa pintar dan enggak bisa kerja di
kantor. Kalau kami besar, kami kan ingin juga seperti mamamu atau Tante Ruri.
Bisa kerja di kantor, bisa punya mobil, terus...”
“Pokoknya kami
ini harus tetap sekolah! Kayaknya, rugi ah kalau enggak sekolah. Kita jadi
enggak bisa tahu banyak hal,” sahut Amad memotong pembicaraan Eli sambil
tertawa.
Sachi lalu
mendengar bagaimana bangganya Amad dan Eli yang bisa dapat peringkat lima besar
di sekolah, Mereka berjuang untuk dapat beasiswa agar tidak perlu lagi membayar
uang sekolah. Yang membuat Sachi heran, mereka tetap semangat sekolah meski
harus selalu berjalan kaki setengah jam lebih lamanya.
Dalam
perjalanan pulang ke rumah, Sachi banyak berdiam diri.
“Kok jadi
pendiam? Tadi, ngobrol apa saja di sana?” tanya Bunda.
Sachi malah
menangis sesenggukan. “Bunda, maafin Sachi ya. Sachi sengaja bikin nilai-nilai
Sachi jelek. Sachi kesal sama Bunda yang terus menyuruh Sachi ikut les ini itu.
Bunda terus sibuk kerja tapi enggak pernah mau tahu capeknya Sachi kalau
belajar.”
“Hm, berarti
benar tebakan Tante Ruri. Sebetulnya, jalan-jalan ke panti itu tadi idenya
Tante Ruri. Ia pikir, mungkin Sachi sedang bosan sekolah. Makanya Tante Ruri
usul supaya Sachi diajak ke panti saja. Biar Sachi tahu, di tempat itu ada
anak-anak yang justru bersyukur bisa sekolah meski dengan kondisi seadanya.”
“Tapi Bunda,
Sachi memang capek. Enggak usah pakai les, ya? Nanti kalau nilai Sachi jelek,
Bunda baru suruh Sachi les.”
Bunda terdiam
sejenak. “Oke, Bunda juga janji enggak melulu sibuk kerja lagi dan ikut
menemani Sachi belajar. Tapi Sachi janji harus memerbaiki nilai di sekolah ya!”
Bunda lalu
menghentikan mobilnya ke tepi jalan. Dengan erat, Bunda memeluk Sachi yang kini
sudah menyimpan janji.
Hiks, jadi inget seorang anak yang malah bikin ulah karena cari perhatian sama orangtuanya, Sachi hebat deh langsung minta maaf sama mama, kereenn
ReplyDelete