Anak bisa membaca? Sepertinya sekarang ini
sudah jadi hal yang wajib kalau anak usia kelas satu SD harus sudah bisa
membaca. Karena itu, zaman sekarang ini anak usia TK sudah disibukkan dengan
les. Anak-anak yang masih usia balita itu pun sudah dipaksa untuk bisa menulis
dan membaca.
Ya, saya menyebutkan dengan kata dipaksa.
Karena sesungguhnya, seperti yang sudah banyak orang tahu, sebetulnya menurut
Kemendikbud, anak usia SD lah yang baru dikenalkan dengan kemampuan baca dan
tulis. Bukan TK.
Tapi… hampir mendekati seratus persen SD se
Indonesia raya sudah mewajibkan anak didik yang masuk di sekolahnya harus bisa
menguasai baca dan tulis. Akhirnya para orang tua maupun guru TK pun memaksakan
diri untuk melatih baca tulis pada anak TK.
Lalu apakah anak usia PAUD belum bolen baca
dan tulis. Sebetulnya boleh. Tapi, sifatnya hanya pengenalan dan belum
mewajibkan anak untuk bisa membaca dan menulis seperti fenomena yang kebanyakan
saat ini ada.
Pun, cara atau metode pengenalannya sifatnya
berupa kegiatan yang mengasyikkan dan membuat anak seperti melakukan permainan.
Kalau sekarang? Yang ada anak TK sampai ikut les segala. Bahagia deh jadi anak
zaman dulu…
Terkait tema kemampuan membaca ini, dulu
sewaktu saya menjadi reporter di Batam, saya pernah mewawancarai seorang
pembimbing metode Fonem. Namanya Bapak Josua Uktolseja.
Yuk simak tulisan berikut ini ya tentang apa
dan bagaimana sebetulnya mengenalkan metode membaca pada anak.
Belajar
Membaca Ada Tahapannya
Keinginan untuk memiliki anak yang bisa
membaca dalam usia dini memang menjadi dambaan setiap orang tua saat ini.
Jangankan menunggu anak duduk di usia SD terlebih dahulu, belum menginjak usia
TK saja banyak orang tua yang sudah menginginkan anaknya memulai belajar
membaca.
Padahal, anak memiliki tahapan usia
tersendiri untuk siap bisa menerima pelajaran. Namun jika sampai menunggu waktu
di usia SD, kebanyakan anak menjadi susah untuk melalui proses belajar membaca
jika dibandingkan mereka yang sudah menerimanya terlebih dahulu di waktu TK.
“Ibu-ibu tahu kan kalau pelajaran itu
sebetulnya tidak boleh diberikan waktu usia belum SD. Ini karena anak punya
tingkat kemampuan membaca sehingga harus bertahap dan tidak boleh dijejelin. Ia
harus belajar sesuai dengan pertumubhan atau fase dimana apa yang harus
diberikan kepadanya,” jelas Pak Josua Uktolseja, Pembimbing Metode Fonem dari Jakarta.
Dalam pertemuannya dengan para orang tua dari
siswa yang mengikuti program Fonem, ia menjelaskan dan memberikan pemahaman
sederhana tentang bagaimana pola kembang anak dalam proses belajar membaca.
“Metode yang selama ini diajarkan di sekolah
sebetulnya lebih pada metode menghafal dan langsung dikasih banyak. Misalnya
baris pertama ba bi be bo bu. Terus baris kedua sama. Baris ketiga biasanya
baru ba ba ba ba ba. Jadi anak dibiasakan untuk menghafal,” jelas pria yang
akrab dipanggil dengan nama Pak Jo ini.
Lain halnya dengan metode Fonem yang
ditemukannya. Menurutnya, anak diajarkan cara membaca dengan imajinasi atau simbol.
Misalnya huruf B, diartikan sebagai sumpit dan bakso yang harus dimakan
sehingga bisa keluar suara B.
Fonem memiliki tingkatan-tingkatan yang maksudnya
membuat anak memiliki target pencapaian penguasaan pengenalan huruf dalam
beberapa pertemuan.
Secara normal dalam delapan kali pertemuan,
anak sudah bisa mengausai L B K H dan vokal A I U E O. Sedangkan huruf konsonan
lainnya dapat dikuasai dalam tingkatan-tingkatan berikutnya.
Ketika kurang dari delapan kali pertemuan,
anak tetap melalui proses membaca. Namun ketika ia harus membaca dengan huruf
yang belum diajarkan kepadanya, ia akan ditunjukkan dengan gambar bukan huruf.
Misalnya kalimat “Bili beli apel”, kata apel bukan ditulis namun dibaca dengan
gambar apel.
Selain itu dalam metode Fonem, para guru yang
mendampingi murid telah dibekali dengan pengetahuan psikologi anak terlebih
dahulu. Jadi, anak tetap belajar namun tidak mengabaikan ketika muncul
keinginannya untuk bermain.
Kebiasaan
Menulis Kanan atau Kiri
Ada seorang ibu telah kehabisan akal untuk
mengajari putranya yang bernama Juan untuk menulis dengan tangan kanan. Meski sudah
diajari bahkan dilarang untuk menulis dengan tangan kanan oleh guru dan orang
tuanya di rumah, Juan tetap merasa canggung ketika menggoreskan pensil dengan
tangan kanannya.
Melihat hal ini, Pak Jo kemudian mengecek
kekuatan fisik Juan. Caranya, anak diminta untuk mendorong tangan Pak Jo dengan
kedua tangannya secara berbarengan. Ternyata, tangan kirinya memiliki kekuatan
lebih besar saat mendorong dibandingkan tangan kanannya.
Juan lalu diminta menuliskan namanya di atas
kertas. Ternyata, Juan lebih kuat menggunakan tangan kiri ketika memegang
pensil dibandingkan dengan tangan kananya.
Menurut Pak Jo, jika ada anak seperti Juan
yang mulai menunjukkan gejala seperti itu, sebaiknya anak tersebut dibiarkan
tetap bekerja dengan dua kekuatan tangan.
“Jangan hapus kebiasaan mereka untuk bekerja
dengan tangan kiri. Terus ajarkan anak bekerja dengan tangan kanan dan tetap
biarkan ia juga punya kebiasaan untuk berekja dengan tangan kiri,” demikian
anjuran Pak Jo.
Malah menurutnya, anak seperti Juan ini kelak
dapat berpotensi sebagai olahragawan yang baik. Misalnya ketika ia bermain
bulutangkis atau bola, ia dapat mengandalkan kekuatan tubuh bagian kiri sama
halnya dengan ketika menggunakan tubuh bagian kanan.
Pak Jo lantas menyarankan pada orang tua yang
memiliki anak dengan fenomena seperti Juan. Menurutnya, orang tua perlu
mengomunikasikan perihal kemampuan anaknya tersebut pada gurunya. Karena
memang, masih banyak guru di sekolah yang mewajibkan anak untuk menulis dengan
tangan kanan dan bahkan melarang anak menulis dengan tangan kiri.
Post a Comment
Post a Comment