Dulu saat saya sempat beberapa bulan
pelatihan di sebuah sekolah berasrama, saya melihat ada seorang anak kecil yang
ke mana-mana kerap membawa sebuah kamera. Anak ini adalah putra dari salah
seorang pengajar di sekolah tersebut.
Sebetulnya tergolong jarang ya kita
temukan ada anak kecil yang suka membawa kamera dan menyukai aktivitas
fotografi. Karena itulah saya lantas terpikir untuk membuat cerpen yang pernah
dimuat di Majalah Girls pada bulan Mei 2012. Tentang seorang anak kecil yang
memang menyukai dunia fotografi.
***
Kamera
Ama
“Pokoknya Rara mau kamera! Masa, Ama
saja dibelikan kamera saku oleh
Papa dan Mamanya, aku enggak?”
Aku berlalu meninggalkan Bunda yang justru
terlihat tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Yah, bundaku selalu
begitu. Bukannya malah menenangkanku, tapi malah tersenyum. Karena kesal, aku
lalu keluar dari rumah dan berjalan dengan langkah malas ke arah lapangan
basket yang ada di seberang rumahku.
Keluargaku, dan juga keluarganya
Ama tinggal di sebuah lingkungan
SMA berasrama. Karena usia kami hanya terpaut satu tahun, membuat kami jadi bersahabat dekat.
Apalagi di lingkungan sekolah itu, hanya kami berdua saja yang usianya hampir
sebaya. Banyak anak dari teman-teman bundaku yang mengajar di sekolah itu, usianya masih kecil.
Hari ini hari Minggu. Banyak siswa di
sekolah tempatku tinggal
yang sedang bermain basket atau bermain bola di lapangan bola yang letaknya tak
jauh dari lapangan basket. Ah, mereka terlihat senang sekali. Sementara, aku
justru sedang merasa tidak nyaman. Apalagi, kalau bukan karena permintaanku
yang tidak dikabulkan
oleh Bunda dan Ayahku. Mereka berdua masih saja tidak mau membelikanku kamera saku.
“Hai Rara, kamu dan keluargamu tidak
keluar sekolah hari ini?” tanya Ama yang ternyata sudah ada di dekatku.
Aku cuma mengangkat bahu dengan tidak
bersemangat. Sebetulnya tadi sempat kudengar siang ini Bunda dan Ayah akan
mengajak aku dan adikku ke mall membeli kebutuhan bulanan seperti biasanya.
Saat bisa keluar dari lingkungan sekolah adalah waktu yang selalu menyenangkan
untukku. Tapi karena mereka tidak mau membelikanku kamera saku, ah, rasanya jadi malas jika harus
ikut keluar.
“Cekrik. Cekrik.” Suara bidikan kamera
Ama terdengar. Aku
langsung menoleh dan melihat ke arah Ama yang sedang tersenyum senang.
“Hihihi... wajahmu jika sedang
cemberut lucu juga ya!” seru Ama.
“Apaan sih?” aku membentak kesal.
“Lain kali kalau mau foto orang itu jangan seenaknya begitu dong!
Mentang-mentang punya kamera. Huh!” aku mendengus.
“Aduh, maaf... Sepertinya kamu sedang
be-te ya hari ini? Tumben!”
“Suka-suka aku dong!” timpalku sengit.
“Ya sudah, kalau begitu aku ke tempat
lain saja deh, cari objek foto yang lain,” Ama lalu melangkah pergi meninggalkanku
di bangku pinggir lapangan basket.
“Ah, tanpa Ama rasanya lebih enak. Lebih baik aku
sendirian di sini, melihat kakak-kakak itu bermain basket. Dari pada makin
sakit hati melihat Ama yang asyik dengan kameranya!” batinku.
Tapi nyatanya, pandanganku tidak bisa
lepas dari Ama dan kameranya. Dari kejauhan, aku melihat Ama yang begitu asyik
membidik ke berbagai objek. Tak jarang, banyak dari kakak-kakak SMA yang
meminta Ama untuk memotretnya.
“Ah, menyebalkan!” aku kembali
memandang ke arah lapangan basket. Namun tak lama kemudian...
“Aah!” sebuah seruan dari beberapa
anak terdengar dari arah lapangan sepak bola. Kontan, aku melihat ke arah
sumber suara yang ternyata berasal dari kerumunan tempat Ama dan beberapa kakak
SMA yang ada di sana.
Karena ingin tahu, aku berlari
mendekat.
“Ada apa, Kak?” tanyaku pada seorang
kakak.
“Itu, kameranya Ama jatuh kena bola
yang tak sengaja tertendang ke arah sini,” kata-kata itu entah kenapa tiba-tiba
terdengar sebagai hal yang menyenangkan di telingaku.
“Lalu?” aku pura-pura perhatian dengan
apa yang dialami Ama.
Ama kemudian menunjukkan kameranya
yang ternyata memang rusak. LCD kameranya retak.
“Hehe, kameranya rusak deh!” Ama
meringis, memaksakan senyumnya, lalu menghela nafas besar.
Sambil berjalan pulang, Ama berujar,
“Aku tahu, Papa dan
Mamaku mungkin tak
akan marah. Mereka tahu, aku ingin sekali belajar fotografi sehingga mereka
membelikan kamera saku ini.
Tapi aku sedih, karena mereka kan sudah memercayakan aku untuk memiliki kamera
ini. Ah, rasanya tak enak kalau aku harus meminta kamera baru lagi,” ujar Ama
sambil menimang-nimang kameranya.
Mendengar alasan Ama memiliki kamera
itu, hatiku yang awalnya senang
jadi agak merasa berubah.
“Memangnya kamu sungguh-sungguh ya
ingin belajar fotografi? Maaf, awalnya aku kira kamu cuma ikut-ikutan saja,”
ujarku.
“Fotografi itu hal yang menyenangkan, Ra. Aku jadi bisa
menyimpan banyak hal indah yang aku lihat dalam jepretan kamera. Awalnya aku cuma tahu dari sepupuku
yang hobi fotografi. Aku lalu ingin belajar juga. Waktu aku minta dibelikan
kamera ke Papa
dan Mamaku, mereka juga
sempat tanya, apa aku ini cuma ikut-ikutan saja atau memang benar-benar ingin
belajar. Aku lalu janji jika kamera itu benar-benar aku pakai untuk belajar
fotografi. Papa dan
Mamaku juga berujar,
kalau kamera itu tidak aku pakai belajar, maka kameranya akan diambil oleh
mereka. Tapi... ah, kamera ini sekarang rusak!” keluh Ama sedih.
Aku jadi malu sendiri dengan diriku.
Karena awalnya, tujuanku ingin dibelikan kamera justru karena aku ingin terlihat
keren seperti yang
kulihat dari Ama.
“Terus, sekarang jadi gimana dong?”
“Yah, sepertinya aku harus menabung
dulu untuk bisa punya kamera lagi. Enggak enak ah kalau minta dibelikan kamera
lagi,” kata Ama yang lagi-lagi memaksa dirinya untuk berujar sambil tersenyum.
Aku memandang Ama dengan rasa kasihan
sekaligus kagum. “Ah Ama, semoga dirimu bisa punya kamera lagi ya!” doaku dari
dalam hati.
Post a Comment
Post a Comment