Cerpen yang pernah dimuat di Majalah Mentari tahun
2011 ini mengisahkan tentang seorang anak perempuan yang begitu manja dan
memiliki banyak sifat negatif. Hingga suatu ketika, sebuah kejadian yang ia
temui membuatnya sadar tentang sikap negatifnya selama ini.
**
Puteri
yang Manja
Selalu saja ada keributan di rumah Puteri! Contohnya,
seperti ini...
“Tolong ambilkan sepatuku yang berwarna merah.
Cepat!!!”
Para pembantu di rumah Puteri yang berjumlah tiga
orang pun lalu dibuat pusing. Karena, Puteri memiliki sepatu merah berjumlah 12
buah. Repotnya, semua itu harus dibawa di hadapan Puteri untuk dipilih.
“Ah, semua sepatu ini membosankan. Aku mau menggunakan
sepatu yang berwarna ungu saja! Cepat ambilkan ke sini!”
Kembali, para pembantu berlari keluar dari kamar
Puteri, meletakkan sepatu-sepatu merah yang tak jadi dilirik, lalu kembali ke
kamar Puteri dengan membawa sepatu berwarna ungu. Tentu saja, jumlahnya yang 8
pasang itu harus dibawa semua!
Itu belum lagi urusan yang lainnya.
“Roti ini terlalu asin! Aku hanya mau makan yang manis
pagi ini.”
Atau, “Susu putih lagi? Bosan! Aku mau susu warna
kuning rasa pisang!”
Selalu begitu yang terjadi di rumah milik Puteri. Para
pembantu yang khusus meladeni Puteri hanya bisa beristirahat ketika Puteri
sedang tidur atau sedang berada di luar rumah seperti sedang sekolah atau
bermain bersama teman-temannya di luar. Akibatnya, banyak pembantu yang
mengeluh tentang tingkah laku buruk dari Puteri .
“Ah, aku baru mengerti, kenapa banyak pembantu di
rumah ini yang kurang betah bekerja di sini. Ternyata, seperti ini ya tingkah
laku Puteri?!”
“Ini pasti karena Pak dan Bu Dani suka memanjakan anak
semata wayangnya itu! Mereka berdua asyik saja bekerja dan kurang memerhatikan
Puteri.”
Demikian keluh kesah para pembantu di rumah Puteri.
Hingga suatu ketika, Puteri harus mengikuti kegiatan
Pramuka di sekolahnya. Kegiatan itu dilakukan di sebuah desa sehingga sekaligus
sambil melakukan kegiatan sosial. Karena Puteri tidak mau ikut, ia lalu meminta
mamanya untuk meminta izin ke sekolah.
“Ini sifatnya wajib, Bu. Kami janji, Puteri akan
baik-baik saja selama acara perkemahan. Lagi pula, acara ini akan banyak
berguna bagi Puteri,” ujar Bu Guru yang mencoba meyakinkan mamanya Puteri.
Akhirnya mau tak mau, Puteri mengikuti acara itu
dengan terpaksa. Betapa kesalnya ia selama acara Pramuka berlangsung. Ia tidak
bisa memerintah teman-temannya untuk memenuhi keinginannya. Tentu saja, tak ada
satupun teman-temannya yang mau untuk disuruh-suruh. Bahkan di Pramuka itu,
Puteri harus melakukan beberapa tugas untuk kelompoknya. Misalnya tugas
memasak, mencari kayu bakar, hingga menyiapkan bingkisan untuk acara bakti
sosial.
Tentu saja ketika mendapat tugas memasak, Puteri
protes habis-habisan. “Apa? Memasak? Aku tidak pernah memasak! Masak air saja
aku nggak tahu caranya!” gerutu Puteri.
Untungnya, ada Nadia yang mau membantunya. Hingga,
jadilah Puteri menjadi asisten bagi Nadia saat memasak.
Saat mencari kayu bakar, Puteri bertemu dengan anak
dari desa itu yang sedang mencari daun pakis untuk dijadikan sayur.
“Hah, daun-daun seperti ini kalian makan? Ih, makan
daging atau ikan kan lebih enak!” Di kepala Puteri, ia lalu membayangkan kaleng
sarden dan kornet yang dibawakan mamanya untuk dimasak di perkemahan.
“Ikan dan daging itu terlalu mahal buat kami! Malah,
makan nasi saja kami kesulitan. Akhirnya, kami sering mengambil umbi-umbian di
hutan untuk dijadikan pengganti nasi,” cerita anak tersebut.
Belum habis rasa keheranan Puteri, ia lalu terkejut
saat anak yang usianya terlihat sebaya dengannya itu lalu memanggul kayu yang
sangat banyak di pundaknya.
Kejadian itu jadi membuat Puteri banyak merenung.
Keesokan harinya, Puteri kembali tak kuasa menahan haru ketika acara bakti
sosial dilakukan. Banyak anak-anak yang begitu terlihat senang mendapatkan
pakaian yang cukup bagus dari Puteri dan teman-teman sekolahnya. Ketika melihat
pakaian anak-anak di desa itu, Puteri lantas sedih. Banyak dari anak-anak itu
yang pakaiannya sudah memudar warnanya, bahkan banyak juga yang terlihat sobek
di sana sini.
Saat pulang dari acara Pramuka, Puteri jadi kerap
memasang tampang murung. Dalam pikirannya, ia jadi merasa begitu bersalah dan
menyesali sikapnya selama ini yang kerap seenaknya.
“Non Puteri, kok jadi suka melamun sih sekarang?” seru
Bik Wati, satu dari tiga pembantu di rumah Puteri.
“Bik, Bibik punya anak nggak?”
Pertanyaan yang tiba-tiba dari Puteri itu membuat Bik
Wati jadi agak merasa bingung. Namun, akhirnya ia menjawab juga pertanyaan dari
Puteri.
“Iya Non, saya punya anak di desa. Ada apa ya Non?”
“Anak Bibik berapa? Ada yang seumuran dengan Puteri
nggak?”
Bik Wati jadi makin bingung. “Anak saya ada tiga. Yang
nomor dua, seumuran dengan Non Puteri. Sama-sama perempuan juga kok.”
Mata Puteri langsung berbinar. “Kapan-kapan, ajak ke
sini ya Bik. Puteri ingin main sama dia. Terus... oh iya, kira-kira dia mau
nggak ya kalau Puteri kasih sepatu? Puteri kan punya banyak sepatu. Dia mau
nggak ya, Bik?”
Bik Wati yang masih kebingungan, akhirnya cuma
mengangguk saja.
Saat Bik Wati berlalu, Puteri melirik foto
kenang-kenangan saat ia berfoto bersama dengan anak di desa dekat perkemahannya
beberapa hari yang lalu. Puteri merasa, ia harus berubah. Dan di foto yang
disimpannya itulah ia berharap dapat terus teringat bahwa ada anak-anak yang
hidup kurang seberuntung seperti dirinya.
Post a Comment
Post a Comment