A: Anak baik itu, anak yang bisa bersikap
manis saat ada di tempat umum.
B: Terus, anak yang bisa dibilang manis, yang
seperti apa? Lagian emang ada anak yang bisa duduk manis dan anteng kalau di
tempat umum. Namanya juga anak-anak…
Errr… ada yang pernah terlibat obrolan atau
sampai debat kusir seperti itu?
Perihal sikap anak di tempat umum emang kerap
menjadi pro dan kontra ya. Ada yang bilang namanya juga anak-anak, ya wajar
kalau teriak-teriak atau lari-lari ke sana-sini.
Tapi ada yang bilang, meski anak-anak ya
seharusnya tetap lah harus dijaga sikapnya. Masa cuma anak old money atau
keluarga kerajaan Inggris saja yang anak-anaknya dididik sopan santun di tempat
umum?
Nah, buat teman-teman, pro kubu yang mana
nih? Atau malah pro kubu yang pertama tapi dalam hati suka ngelu pas lihat ada
anak yang ramai banget di tempat umum? Hihihi…
Memang sih, yang namanya anak kecil bawaannya
maunya main. Banyak dari mereka yang daya nalarnya masih belum menjangkau
kesadaran saya ada di mana, seperti apa kondisi sekeliling saya, apa akibat
kalau saya melakukan ini dan itu, dan sebagainya.
Tapi kalau urusan kubu pro sama yang mana,
saya sendiri lebih sepakat bahwa anak kecil itu emang anak –anak yang tetap
perlu diberi pengertian mana baik mana enggak, efeknya apa kalau melakukan apa,
dan diingatkan jika sikapnya sudah mulai melebihi batas kewajaran.
Jika membawa anak ke luar rumah seperti
tempat ibadah, ke rumah orang, ke tempat rekreasi, atau yang lainnya, biasanya
ini yang coba saya lakukan bersama Kayyisah.
1. Memberi pengertian sebelum keluar rumah
Sebelum pergi, atau saat perjalanan menuju
tempat tujuan, biasanya saya mengingatkan Kayyisah untuk membolehkan atau tidak
membolehkan dia untuk melakukan hal-hal tertentu.
Misalnya sebelum pergi ke musala, saya
ingatkan dia untuk tenang dan tidak lari-lari atau teriak-teriak saat waktunya
salat. Sekaligus, memberitahunya tentang apa akibatnya kalau dia tetap
melakukan hal yang tidak dibolehkan.
Kira-kira sejak Kayyisah usia dua tahun, saat
ia sudah bisa ngesot ke mana-mana (*buat yang belum tahu, Kayyisah ini telat
jalan karena TB), saya sudah memberinya komunikasi seperti itu.
Tanpa saya memikirkan dia mengerti atau
tidak. Alasannya, seiring waktu ia akan menyerap pesan itu dan memahaminya.
Jadi meski dia mungkin belum nyadar banget tentang apa yang saya pesankan, saya
percaya kebiasaan itu lama-lama akan bertahan dalam ingatannya.
2. Terus mengawasi gerak-gerik si kecil saat
di luar rumah
Saat di luar rumah terutama di tempat umum,
bisa dibilang saya mamak yang protektif ke anak. Maksudnya, mata saya akan
terus mengawasi Kayyisah. Saat sikap dia perlu saya ingatkan, maka akan saya
katakan.
Alasannya, tentu saya tak ingin anak saya
kenapa-kenapa. Selain itu, jangan sampai juga anak saya melakukan hal yang
fatal akibatnya untuk orang lain. Termasuk jangan sampai anak sendiri malah
dimarahin orang lain. Lebih baik mamaknya sendiri deh yang mengingatkan dari
pada orang lain yang emosi dan tidak bisa mengukur akibat dari peringatannya.
3. Mengingatkan jika ada sikap yang tidak
seharusnya
Sisi lain over protektifnya saya memang
terkadang tidak membiarkan anak bersikap tidak sopan. Lompat-lompat di sofa
rumah orang, asal main comot sana-sini makanan di rumah orang, masuk ke dalam
area pribadi rumah orang, teriak-teriak saat orang lain sedang bicara, dan yang
lainnya.
Sering saya diingatkan oleh keluarga atau
orang lain yang tahu dengan kata-kata, “Nggak apa-apa kok. Namanya juga anak
kecil.”
Dan sekali lagi, saya nggak setuju untuk
membiarkan anak semau dia. Kalau bisa sedari dini, saya ingin ia tahu batasan
dan aturan.
4. Memberi tahu mana yang boleh dan tidak
setelah pulang dari luar rumah
Meski Kayyisah sudah bersikap manis sekalipun
usai dari luar, tetap terkadang saya mengajaknya bicara tentang apa yang sudah
terjadi sebelumnya. Misalnya saat kami melihat ada anak yang bersikap tidak
seharusnya.
Biasanya, saya memberi tahunya alasan kenapa
ini boleh atau enggak, serta akibatnya jika hal seperti yang telah dilihatnya
itu dilakukan.
Sebenarnya, semuanya memang tergantung
karakter anaknya ya. Dia kinestetik atau visual-auditorik. Karena kalau
kinestetik kan biasanya gerak fisik atau bicaranya yang banyak.
Juga apa dia memang tipe sanguine atau
melankolis. Kalau anak melankolis sih emang bisa tenang. Lha kalau anaknya tipe
sanguine yang suka bergembira, yang meski habis dimarahi pun dia tetap bisa
ceria, ya nggak bisa sama.
Tapi apapun itu, saya sendiri punya do-don’t
tentang sikap anak saat di luar rumah. Setidaknya berikut ini sih patokan
batasan saya. Jadi nggak semua-semuanya juga saya melulu melarang anak.
1. Kesopanan
Mungkin poin ini yang paling sering bikin
orang lain naikin satu alis waktu lihat saya. Kadang saya dengar komentar
orang, anak kecil kok disuruh sopan. Namanya juga anak-anak.
Tapi buat saya, belajar sopan itu ya mulai
dari kecil. Alasannya karena akan membuat anak lebih mudah dibentuk menjadi
baik dari pada kita membiasakan tentang sopan santun ketika ia sudah besar.
Ucapan permisi, maaf, terima kasih, jadi
kebiasaan yang sudah saya mulai sejak dini. Begitu juga sikap dan ucapan ke
orang lain.
Yah, biar bukan dari kalangan old money atau
keluarga kerajaan, nggak ada salahnya tho kita ikut budaya baik yang biasa
mereka lakukan pada anak-anak mereka sejak kecil? Siapa tahu kelak jadi old
money beneran *winks
2. Efeknya ke orang lain
Ini sebetulnya yang paling sering jadi fokus
saya. Tidak hanya akibat tidak enak yang mungkin timbul pada orang lain. Tapi
juga kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Misalnya tentang kemungkinan sikap orang yang
merasa terganggu dengan sikap anak kita. Jangankan sampai melakukan tindakan
kekerasan fisik pada anak kita, marah biasa saja saya sudah enggak bisa terima.
Prinsip saya, lebih baik anak diingatkan
sendiri sama orangtuanya karena memang dasarnya sayang, dari pada anak dimarahi
orang lain karena dasarnya tidak suka.
Belum lagi kalau ada tipe orang yang
melakukan sesuatu karena tidak kesukaannya dengan hukuman fisik. Masih ingat
kasus anak X yang ditendang seorang bapak-bapak karena membuat anaknya si bapak
ini terjatuh akibat ulah anak X? Nah, jangan sampai kan anak kita malah jadi
celaka akibat cara salah orang lain yang menanggapi ulah anak kita?
3. Akibatnya ke lingkungan sekitar
Nggak hanya perkara akibat ke orang lain,
akibat ke lingkungan sekitar pun jadi perhatian saya. Misalnya urusan buang
sampah sembarangan, sampai sikapnya yang bisa merusak sesuatu yang bukan milik
kita.
Saya pernah dapat cerita dari seorang
blogger. Dia pun sama, suka strik sama anak kalau urusannya sudah di luar
rumah. Tapi alasannya karena saat dia yang emang sering ngajak anak-anaknya
jalan keliling dunia, dia nggak ingin ada kerusakan yang terjadi akibat ulah
anaknya.
Apalagi kalau itu adalah benda berharga dan
bernilai tinggi. Bahkan nilainya terkait urusan sejarah. Kalau sampai rusak
karena ulah anak kita, saya sih cuma mau bilang, masa iya anak kita ikut masuk
catatan sejarah sebagai perusak barang bersejarah?
Lalu bagaimana cara orangtua untuk
membiasakan sikap baik anak di tempat umum? Ada beberapa caranya sih, dan
semuanya tergantung karakter anaknya.
1. Memberi tahu sebab akibat
Cara ini biasanya lebih kena ke tipe anak
otak kiri nih. Soalnya anak otak kiri itu kalau dikasih tahu, dia akan cari
tahu alasannya kenapa. Dan ini tipenya Kayyisah, anak saya banget! Hahaha…
Dia dikasih tahu nggak boleh lompat-lompat di
sofa orang. Tapi dia lihat anak lain kok melakukan itu dan orangtuanya diam
saja. Biasanya protes tuh Kayyisah, kenapa dia nggak boleh tapi temannya kok
dibolehin orangtuanya.
Dalam kondisi kepepet di saat lagi bertamu
begitu, biasanya singkat saya beri tahu akibatnya. Jalan cerita selanjutnya
bisa beberapa kemungkinan. Kadang saya memberinya sesuatu sebagai pengalihan
perhatian. Kadang saya terpaksa bilang dan akhirnya orang lain yang dengar jadi
nyadar dan ikut mengingatkan anaknya. Hahaha…
Soalnya seringnya tuan rumah atau orang lain
sih malah yang keukeuh bilang, “Nggak apa-apa kan namanya anak-anak.” Kalau sudah
gitu, saya pun keukeuh ngekep anak sendiri dan kasih dia pengalihan perhatian.
Sampai rumah, pesan itu lagi yang akan saya
ulang, untuk bersikap baik saat berada di luar rumah. Biasanya kalau sudah
pulang barulah saya bisa ngomong panjang. Mulai dari akibat ini itu, sampai
kondisi kalau saja kita yang jadi tuan rumah.
2. Memberi konsekuensi atau hadiah
Ada tipe anak yang memang segala sesuatu itu
harus ia lihat konsekuensi atau imbalannya. Kalau cara ini yang dipakai, lebih
baik diberi tahu dulu sebelum berangkat tentang apa yang bisa didapatnya jika
ia jadi anak baik.
Nah, kalau kesepakatan sudah dibuat tapi pas
di luar rumah anak tidak melakukannya, ya konsekuensi lah yang harus dia dapat
sekembalinya ke rumah. Nanti jika suatu saat pergi lagi, ulangi lagi cara ini.
Sama anak memang intinya kita harus
konsisten. Karena kalau kita sudah ngomong A tapi kok jadinya B, nah di situlah
yang bikin anak jadinya pun susah untuk dikontrol.
3. Lewat cerita
Kalau cara yang ini juga paling kena banget
ke Kayyisah. Jadi suatu ketika, ada tuh edisi lagu Omar Hana yang ceritanya
sedang ada di rumah makan. Lalu, Omar dan Hana bersikap tidak tertib. Mama
papanya lalu mengingatkan dan memberi tahu akibatnya kalau kedua anaknya
berteriak-teriak dan makan tidak tertib.
Pas di tempat lain, cerita Omar Hana itulah
yang saya pakai untuk mengingatkan. Dan karena Kayyisah tipe anak yang apa-apa
dari melihat anak lain, cara ini lumayan ngena buat dia.
4. Terus dan terus membiasakan
Ada lagi nih tipe anak yang memang nggak bisa
dikasih tahu sebab akibat, juga nggak tipe anak yang bisa baik kalau melihat
anak lain baik.
Kalau seperti ini, orangtuanya yang memang
harus ekstra selalu mengingatkan. Tanpa lelah, tanpa henti. Ya mau gimana lagi,
karena memang begitulah pembiasaan yang harus dilakukan.
Jadi menjaga sikap anak di tempat umum cukup
perlu lho. Apalagi kalau memang kita tipe keluarga yang suka mengajak anak ke
luar rumah. Karena seiring waktu, di situlah dia jadi terbiasa untuk bersikap
baik.
Lagian orang tua manapun kan suka tho lihat
anaknya disukai sikapnya oleh orang lain? Child will be a child. Tapi seorang
anak tetaplah anak-anak yang perlu belajar dan pembiasaan tentang segala hal baik.
Post a Comment
Post a Comment