Begitu banyak
pengalaman masa kecil saya yang kemudian saya buat menjadi cerita anak. Salah
satunya adalah cerpen berikut ini yang pernah dimuat di Kompas Anak pada tahun
2012.
Jadi dulu,
saya punya seorang teman bernama Laksmi. Dia anak Betawi Bekasi yang tinggal di
sekitaran komplek perumahan tempat saya tinggal di Perumda Blok A Jati Asih
Bekasi.
Laksmi suka
berkeliling perumahan memunguti sampah sambil membawa karung besar. Jika masuk
sekolahnya siang, maka paginya digunakan Laksmi untuk bekeliling. Demikian juga
jika masuk sekolah pagi, ia kerap saya jumpai sedang berkeliling pada sore
hari.
Sering saya
menyapanya dari balik pagar saat tahu ia sedang lewat. Satu hal yang sesali,
saat itu saya jarang berbicara dengan Laksmi karena ia kerap hanya mau bermain
dengan teman-temannya sesama anak kampung.
Penyesalan
itulah yang membuat saya akhirnya menuliskan cerpen ini. Sebuah cerita yang…
ah, andai saja memang inilah yang waktu itu saya lakukan untuk berteman dengan
Laksmi. *sad mode on
***
Hari pertamaku
di sekolah baru, di kelas 4 B. Saat masuk dan dikenalkan di depan kelas, mataku
langsung melihat sosok yang sepertinya baru kulihat kemarin. Saat aku duduk,
kupandangi gadis yang duduk di depanku itu. Untuk sesaat, aku jadi teringat
kejadian di siang hari kemarin.
“Hai! Sedang
apa?” tanyaku penasaran pada seorang gadis yang sedang mencari-cari sesuatu di
bak sampah di depan rumahku.
“Aku mencari
botol bekas apa saja yang berasal dari plastik. Apa di dalam rumahmu ada?” tanyanya.
Sesaat aku
mencoba mengingat-ingat. “Ada, sebentar ya!” Aku berlari menuju kamarku,
mengambili beberapa botol bekas minuman yang belum sempat kubuang.
“Ini!” seruku
sambil memberikan botol-botol itu kepadanya.
Dengan wajah
gembira, ia memasukkan botol-botol itu ke dalam karung plastiknya. “Terima
kasih banyak!” serunya riang.
“Sama-sama.
Tapi, untuk apa kamu mengumpulkan botol-botol bekas itu?” aku ingin tahu.
“Untuk diolah
jadi bijih plastik,” jawabnya.
Baru kali itu
aku mendengar kata-kata bijih plastik. Namun sayang, saat aku ingin bertanya
lebih lanjut, gadis itu sudah buru-buru berlalu dari depan rumahku.
Dan gadis itu,
kini duduk di depanku? Aku langsung seperti merasa tak percaya. Apalagi saat
selama pelajaran, gadis itu sepertinya sangat pintar. Sering
pertanyaan-pertanyaan dari guru di kelas bisa dijawabnya dengan benar.
Saat istirahat
tiba, banyak teman-teman baruku yang mengajakku berkenalan. Termasuk gadis yang
sangat membuatku penasaran itu.
“Kita sempat
bertemu kemarin, kan? Namaku Laksmi,” ujar gadis itu ramah sambil mengulurkan
tangannya.
“Uhm, eh, iya
ya? Namaku Gadis,” jawabku lalu menjabat tangan Laksmi.
Tapi tak
berapa lama, Nia dan Hera menarik tanganku dan membuatku menjauh dari Laksmi.
“Enggak usah
deh dekat-dekat Laksmi,” seru Hera.
“Kamu enggak
tahu ya, Laksmi itu kerjanya pemulung sampah!” tambah Nia.
“Lalu, apa
yang salah?” aku heran. “Aku memang sudah tahu karena kemarin, dia lewat di
depan rumahku,” jawabku jujur.
“Kamu enggak
risih? Hih, bau seragamnya saja enggak enak!” seru Hera dengan jijik.
Karena Nia dan
Hera terus menerus menjelek-jelekkan Laksmi, aku jadi kesal dan mencoba kembali
duduk di bangkuku.
Saat kembali,
kulihat Laksmi menatap sedih ke arahku. “Kamu juga akan menjauhiku seperti
mereka?” tanyanya.
“Ya ampun
Laksmi, kalau memang aku seperti mereka, pasti kemarin aku tidak akan menyapamu
sewaktu kamu lewat di depan rumahku!” ujarku mencoba menenangkan Laksmi.
“Maaf. Kukira
kamu akan seperti mereka juga,” keluhnya sedih.
Aku dan Laksmi
jadi terdiam. Tiba-tiba sesuatu teringat di benakku. “Hei, boleh enggak pulang
sekolah nanti aku main ke rumahmu? Sebetulnya aku masih ingin tahu apa itu
bijih plastik seperti yang kamu bilang kemarin.”
“Tapi, nanti
pulang sekolah aku harus keliling ke perumahan tempatmu tinggal untuk mencari
sampah,” jawab Laksmi.
Sejenak aku
jadi bingung sendiri. “Oh, atau begini saja. Bagaimana jika aku menemanimu
berkeliling? Sekalian, aku jadi bisa membantumu dan sekaligus jadi bisa tahu
jalan di perumahanku itu. Bagaimana?”
Awalnya Laksmi
tetap menolak tawaranku. Ia takut aku jadi kotor, bau, dan malah membuatku
jijik atas pekerjaannya itu. Namun karena aku terus memaksanya, Laksmi akhirnya
menyerah.
Saat di
perjalanan selama mencari sampah, Laksmi banyak bercerita tentang kondisinya.
“Aku bisa
sekolah di sini karena beasiswa, Dis. Aku cuma ingin bisa pintar dan bisa jadi
dokter nantinya. Itu cita-citaku sejak bapakku meninggal! Ia meninggal karena
sakit dan tidak punya biaya untuk berobat. Sejak itu aku janji, aku harus
pintar dan bisa jadi dokter. Aku tidak mau ada orang yang mengalami seperti apa
yang bapakku alami. Apapun asal itu baik, akan aku lakukan Dis agar cita-citaku
bisa tercapai. Meski aku harus jadi pemulung sekalipun, aku tidak menyesal!”
cerita Laksmi panjang lebar. Sungguh, aku jadi ingin menangis rasanya saat tahu
cerita tentang Laksmi yang sebenarnya.
Seharian
bersama Laksmi, membuatku banyak tahu tentang sampah-sampah plastik yang
dikumpulkan Laksmi dan bisa menghasilkan uang. Ternyata, sampah-sampah itu
dikumpulkan di sebuah tempat, ditimbang, lalu Laksmi akan mendapatkan uang
sebagai upahnya. Kebetulan, pengumpul sampah mau berbaik hati mengajakku untuk
melihat bagaimana cara mengolah plastik-plastik bekas menjadi butiran kecil
yang disebut biji plastik.
“Ini nanti
bisa digunakan untuk membuat botol plastik lagi atau kantong kresek. Bahkan
bisa diekspor juga lho!” ujar pengumpul plastik itu.
Sepulangnya
dari jalan-jalan bersama Laksmi, aku sampai keheranan sendiri dengan pengalaman
baruku hari itu. Tentang bijih plastik, tentang cita-cita Laksmi. Ah, rasanya
aku pantas bersyukur bisa mengenal seorang teman baru seperti Laksmi.
Post a Comment
Post a Comment