Cerita yang pernah dimuat di Majalah Girls pada tahun 2014 ini
terinspirasi dari pengalaman saya saat dulu liputan di Batam. Saat itu ada
kawasan rumah liar atau yang di sana biasa disingkat ruli, habis terbakar dalam
semalam.
Ketika meliput, entah mengapa pikiran saya melayang pada pemisalan,
bagaimana jika ada anak yang sekolah dan semua barang keperluannya untuk
sekolah juga ikut terbakar?
Pengandaian ini sempat membuat saya makin sedih saat ternyata, saya
memang menjumpai kondisi itu ketika berkunjung ke tempat penampungan sementara.
Ya, memang benar akhirnya ada anak-anak yang akhirnya kebingungan tidak
dapat bersekolah lagi.
***
“Semalam,
teman kita yang bernama Fahmi mendapatkan musibah. Kalian tentu sudah tahu dari
berita semalam, jika ruli tempat Fahmi dan keluarganya tinggal, mengalami
kebakaran yang cukup besar. Untuk itu sebelum pelajaran dimulai kita berdoa
dulu ya agar Fahmi dan keluarganya, serta orang-orang yang berada di sana
dimudahkan urusannya oleh Tuhan. Berdoa, mulai!” pimpin Pak Hadi, guruku di
sekolah.
Sesaat, aku
melirik ke arah bangku di sebelahku yang kosong. “Bagaimana kabarmu hari ini, Mi?”
batinku sedih.
Hari itu aku
tidak lagi bisa menjumpai Fahmi yang suka bercerita dengan riang. Kelasku juga
jadi terasa agak sepi. Biasanya saat pelajaran berlangsung, Fahmi suka aktif
bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan guru kami. Ia juga teman yang baik dan
cerdas di hampir semua mata pelajaran. Jika aku atau teman yang lain kesulitan
pelajaran, Fahmi tidak segan mengajari kami dengan sabar. Karena itu, Fahmi
sering disebut asisten guru. Panggilan itu diberikan oleh para guru dan juga
aku serta teman-temanku.
Sahabatku itu
tinggal di sebuah kawasan rumah liar yang kondisinya cukup memprihatinkan. Di
Batam, kami menyebutnya dengan ruli. Tidak ada rumah-rumah yang tertata rapih.
Sungguh berbeda dengan tempat tinggalku yang berada di perumahan. Karena Fahmi
pintar, ia mendapatkan beasiswa sehingga bisa bersekolah di tempatku yang
katanya biayanya cukup mahal.
“Teman-teman,
apa yang harus kita lakukan untuk membantu Fahmi? Kalian punya ide?” tanya
Nadia, ketua kelasku saat kelas kami mengadakan rapat di jam istirahat.
“Bagaimana
jika kita mengumpulkan dana untuk Fahmi? Jadi nanti waktu pulang sekolah, kita
mintai saja teman-teman satu sekolah untuk menyumbang seikhlasnya,” usulku.
“Iya, betul
itu, Gina. Lalu, nanti kita bawa hasil sumbangan itu waktu ke tempat menjenguk
ke tempat Fahmi,” ujar temanku yang lain.
“Aku punya
ide. Bagaimana kalau kita mengadakan konser amal di mall? Sekolah kita ini kan
terkenal punya banyak kegiatan seninya. Siapa tahu dari acara itu kita bisa menarik
perhatian para pengunjung mall untuk membantu Fahmi dan para tetangganya,”
cetus Andi temanku.
“Ide yang
bagus!”
“Ya, aku juga setuju!”
seruku dan teman-temanku yang lain dengan girang. Lega juga rasanya ketika kami
akhirnya bisa menemukan jalan keluar untuk membantu Fahmi.
Pak Hadi wali
kelasku juga turut membantu usaha kami. Ia mengumpulkan sejumlah uang dari para
guru untuk disumbangkan ke Fahmi. Pak Hadi juga ikut mengantar aku dan
teman-teman sewaktu menjenguk ke rumah Fahmi.
Untuk
sementara waktu, Fahmi, keluarganya, dan para tetangganya harus tinggal di
tempat pengungsian yang ada di sebuah bekas pasar yang sudah kosong dan tak
terpakai lagi di dekat mereka semula tinggal. Saat kami menemui Fahmi, ia
terlihat tampak banyak tersenyum. Aku sampai salut, meski ia sedang mengalami
kesusahan, tapi ia mencoba tidak menunjukkan kesedihannya pada kami. Padahal,
banyak barang-barang miliknya dan keluarganya yang habis terbakar.
Saat Pak Hadi
berbincang dengan orang tua Fahmi, kami terkejut saat mendengar bahwa Fahmi
sepertinya tidak bisa lagi melanjutkan sekolahnya lagi setelah ini.
“Buku-buku
pelajaran dan seragamnya saja habis terbakar. Sepertinya kami sekeluarga harus mencari
uang setelah ini,” ujar bapaknya Fahmi.
Aku dan
teman-temanku yang mendengar itu langsung membelalakkan mata. Saat melirik ke
arah Fahmi, sahabatku itu cuma tertunduk sambil diam. Aku tahu, pasti Fahmi tidak
ingin berhenti sekolah. Karena yang kutahu selama ini, Fahmi selalu punya
semangat tinggi untuk bisa menjadi yang terbaik di sekolah. Aku bahkan ingat, Fahmi
pernah mengatakan kepadaku jika ia ingin menjadi seorang guru yang bisa banyak
mencerdaskan murid-muridnya.
“Waduh Pak,
coba dipikirkan lagi keputusannya. Sementara itu, biar saya membicarakan
masalah ini dulu kepada pihak sekolah. Barangkali, pihak sekolah bisa
membantu,” jelas Pak Hadi mencoba menenangkan orang tua Fahmi.
Saat pulang, aku
jadi merasa sedih. “Ah, bagaimana jika Fahmi benar-benar berhenti sekolah?”
gumamku cemas.
Aku lalu
membayangkan jika diriku adalah Fahmi. Tidak bisa sekolah, tidak bisa bertemu
teman-teman lagi, harus bekerja mencari uang dan tidak bisa belajar pelajaran
kesukaanku lagi. Ah, dadaku mendadak sesak membayangkan hal itu.
“Semoga pas
konser amal nanti, banyak orang yang mau menjadi orang tua asuh untuk anak-anak
seperti Fahmi, ya Nadin,” cetus Gina di perjalanan pulang.
“Ya Nad, aku
juga berharap begitu,” kataku penuh harap.
“Pak, tolong
bantu Fahmi ya. Tolong bicarakan dengan bapak kepala sekolah agar Fahmi bisa
tetap terus sekolah,” pinta Nadin.
Kepalaku
sendiri terus berpikir keras. Orang tua Fahmi sepertinya juga membutuhkan
bantuan.
“Bagaimana
jika kita juga bertanya kepada orang tua kita masing-masing, barangkali ada
lowongan pekerjaan untuk orang tuanya Fahmi?” cetusku pada teman-temanku.
“Ya, barangkali
ada juga pekerjaan lain untuk para pengungsi yang lain,” sambung Andi.
“Ah ya, itu
benar!” sahut Nadin dengan mata berbinar.
Pak Hadi yang
lebih banyak diam selama di mobil saat perjalanan pulang itu lalu tersenyum
memandang kami. “Bapak bangga melihat kalian. Meski kalian dari orang berada,
tapi kepedulian kalian terhadap sesama begitu besar.”
Didikan yang bagus bagi para orang tua untuk anak anaknya: Belajar berempati kepada teman dan menolong teman yang membutuhkan..
ReplyDeleteIya Mbak 😊
Delete