Cerpen yang pernah
dimuat di Majalah Girls pada bulan Maret tahun 2014 ini terinspirasi dari
pengalaman sewaktu mengunjungi sebuah sekolah alam di bilangan Parung Bogor.
Nah, pas ke sana,
kebetulan waktunya market day. Saya lihat anak-anak berjualan beberapa makanan
yang dijual antarteman mereka sendiri.
Kebetulan buat saya
yang baru tahu hal itu pertama kali, kok kesannya unik! Sepulangnya dari sana,
saya buat cerpen yang berjudul ‘Hari Pengusaha’ ini.
***
“Setiap Selasa, di sekolah ini ada Hari
Pengusaha,” itu yang sempat aku dengar dari Elang, teman baruku.
Aku baru saja pindah sekolah karena
orang tuaku
harus pindah kerja. Sekolahku kali ini memang unik. Aku bisa ke sekolah tanpa
menggunakan seragam dan bisa belajar di luar ruangan. Kata Papa, sekolah baruku itu sekolah alam.
“Kamu pasti suka sekolah itu. Soalnya kamu itu suka banyak gerak, sih,”
ujar Papa sambil tersenyum kepadaku.
Yah, Papa benar. Selama ini aku sering
bosan dan mengantuk jika terus belajar di dalam kelas. Setelah beberapa hari bersekolah di sana, aku langsung
merasa betah. Di sekolah itu, aku bisa belajar banyak hal
yang tidak hanya dari buku pelajaran saja. Seperti kemarin, Bu Hani mengajak
kelasku untuk membuat lubang biopori. Aku baru tahu kalau biopori besar
manfaatnya. Biopori bisa digunakan untuk tempat mengumpulkan sampah organik dan
menghasilkan pupuk kompos, juga katanya untuk mengurangi banjir di kota besar.
Nah, kali ini yang membuatku agak
bingung adalah Hari Pengusaha. Aku cuma sempat tahu kalau di hari itu, kami bisa
berjualan di sekolah.
“Aku besok mau jual jus buah. Nah,
kalian mau jus buah apa? Nanti aku belanja ke pasar. Tapi, buahnya jangan yang
mahal, ya! Ntar bisa
bangkrut aku,” celoteh Dina.
“Aku jual keripik lagi, ah. Aku kan tinggal
beli aneka keripik yang ada di toko dekat rumahku. Nanti kalau tidak habis,
tinggal aku makan sendiri, deh!” sahut Elang yang memang hobi makan.
“Laras,
kamu mau jual apa nanti?” Vanya penasaran karena sedari tadi aku hanya diam
mendengarkan rencana teman-temanku.
“Jual apa ya? Aku belum tahu,” aku
mengangkat bahu tanda bingung.
“Kamu jualan keripik saja kayak aku. Nanti kita duet keliling
sekolah,” usul Elang.
“Memangnya boleh ya, kalau jenis
barangnya sama?” tanyaku.
“Boleh, kok. Nanti kalian bisa bersaing
usaha. Tapi awas, hati-hati ya terlalu murah. Barangmu memang akan lebih laku.
Cuma, nanti kamu bisa rugi kalau seperti itu,” terang Dina.
“Ah, itu aku juga tahu. Uhm, enggak seru
ah kalau aku juga berjualan keripik. Ada
ide lain?” pikiranku langsung mencari-cari ide usaha apa yang bisa aku lakukan
nanti.
“Kerupuk!” sahut Elang. Rupanya usul
Elang masih kata yang tidak jauh dari keripik.
“Rambutan saja. Kan sekarang sedang
musim,” usul Vanya.
“Ah iya, nanti kita kerja sama saja, Laras. Kalau ada yang mau jus
rambutan, aku tinggal membeli rambutan ke kamu,” Dina memberi usulan yang
menarik.
“Coba lihat nanti, deh. Barangkali aku
punya ide lain. Terima kasih sarannya ya, teman-teman.” Aku tidak langsung menerima usulan teman-temanku.
Karena yang sempat kudengar, beberapa anak besok juga berniat menjual rambutan
yang saat ini memang sedang musimnya.
Saat pulang sekolah, pikiranku selalu
saja bertanya-tanya, “Nanti mau jual apa?” Huh, aku ingin barang yang aku jual
nanti berbeda dan bisa laku banyak.
“Nah, benar kata Papa, kamu memang pas
ada di sekolah itu. Tuh, watak pengusahamu sudah kelihatan! Enggak mau punya usaha yang sifatnya udah banyak
dipikirin orang. Kalau begitu, nah, selamat mencari ide
untuk Hari Pengusaha, ya,” senyum jahil Mama. Mama justru tidak memberiku ide
saat aku bertanya padanya. Katanya, biar aku benar-benar jadi pengusaha yang
tangguh!
Karena tak kunjung mendapatkan ide,
akhirnya aku menggunakan ide yang diusulkan Vanya. Yah, nanti kan aku bisa
dapat pembeli utama dari Dina yang usahanya jus buah. Segera, aku mengirim sms
ke Dina. Dina langsung
senang karena ia jadi tidak perlu repot membawa rambutan ke sekolah. Yah, kenapa aku tidak melakukan simbiosis mutualisme,
hubungan yang saling menguntungkan dengan pedagang yang lain? Eh lho, kenapa
aku jadinya ngomongin simbiosis mutualisme yang seharusnya di pelajaran sains
ya?
Saat Hari Pengusaha, aku menyambutnya
dengan suka cita. Rambutanku laku banyak. Tidak hanya Dina yang terus membeli
rambutanku karena banyak anak yang ingin mencoba jus rambutan. Tapi,
teman-temanku yang lain juga suka karena aku satu-satunya penjual di hari itu yang menjual rambutan manis dengan harga murah.
Hanya saja, aku bingung dengan tatapan aneh dari Vanya. Hingga pada akhirnya
seusai berjualan, Vanya mendekatiku.
“Laras,
kamu salah jual, atau memang sengaja menjual rambutanmu dengan harga murah?”
Seketika aku langsung gugup. Kuhitung
lagi uangku yang sudah terkumpul. Benar saja, uangku hanya dua belas ribu.
Padahal, aku sudah mengeluarkan uang dua puluh lima ribu untuk membeli rambutan
kemarin.
“Aduh, aku kok jadi rugi begini?” seruku
panik.
“Jangan-jangan kamu salah hitung ya
sewaktu menjual rambutan perbuahnya?” selidik Vanya.
“Uhm, sepertinya sih begitu,” wajahku
langsung masam seketika.
“Makanya, kan aku sudah kasih usulan
untuk berjualan kerupuk. Kamu sih, enggak nurut!” sahut Elang sambil asyik
menguyah keripik jualannya yang masih tersisa.
Melihat itu, Vanya dan Dina langsung
tertawa. Tapi seketika, mereka langsung terdiam melihat wajahku yang terlihat
sedih.
“Ah, aku memang harus belajar jadi
pengusaha yang pintar!” gerutuku sambil mengelus kepala, memikirkan nasibku
yang rugi di hari itu karena sudah tidak
teliti berhitung.
Post a Comment
Post a Comment