Asli, sebetulnya kalau ditanya apa yang
berubah saat setelah menjadi ibu, saya merasa nggak banyak yang berubah.
Misalnya nih, kalau orang kebanyakan bicara
tentang fisik, saya sendiri merasa cuma menjadi orang yang bobotnya bertambah 10
kilogram. Baju sewaktu masih lajang memang ada sih beberapa yang tidak bisa
lagi dipakai. Tapi saya sendiri nggak merasa itu perubahan yang terlalu terasa.
Urusan penampilan pun hampir nggak ada perubahan
juga. Masih nggak doyan dandan dan kalau keluar rumah suka seadanya. Masih pakai
baju yang modelnya sama. Urusan tas pun masih ransel mania. Malah kalau punya
anak, lebih enak lagi pakai ransel karena semua-semua bisa masuk.
Satu hal yang juga nggak banyak berubah
adalah urusan karakter. Saya masih jadi sosok yang tegas dan keras.
Mungkin alasan kenapa tidak banyak yang
berubah antara sebelum dengan sekarang saat menjadi ibu, karena sebelumnya saya
pernah kerja yang labelnya pengajar. Pernah pegang mulai dari yang mahasiswa usia
remaja, anak balita, serta anak sekolahan SMA. Jadi dari dulu sampai sekarang
perasaan punya anak itu selalu ada.
Tentu tetap ada sih yang berubah. Beberapa yang
saya rasa antara lain…
1.
Enggak lagi seenaknya bisa pergi ke mana-mana
Kalau dulu, mau kerja apa, ngerantau di mana,
pergi ke mana, kayaknya tinggal was wus dan enteng mikirnya. Tapi pas sudah
punya anak, semuanya jadi ekstra dipikir pertimbangannya.
Tiap mau ngelamar kerja, saya lebih mikirin
anak nanti gimana dan akhirnya selalu bikin saya mengurungkan niat. Malah pernah
tahun kemarin keterima kerja, baru masuk sehari, langsung besoknya saya minta
mundur.
Kalau mau jalan ke mana pun saya juga jadi
mikir dulu, anak nanti sama siapa, atau kalau ikut saya pun mesti dipikir apa
saja yang perlu dipersiapkan.
2.
Harus jeli cari me time
Sebetulnya, saya punya karakter introvert
yang punya kebutuhan waktu dan ruang untuk sendiri. Iya, buat orang introvert, menjadi
sendiri selama beberapa waktu itu bentuk kebutuhan, lho.
Sementara sekarang kondisinya, ada anak yang
ngintil di belakang saya terus selama 24 jam setiap harinya. Suami kerja berangkat
pagi pulang malam.
Jadi me time-nya ya pas anak tidur. Itu pun catatannya
kalau tidak ada kerjaan rumah atau nulis yang mesti dikerjakan.
Waktu yang terbatas untuk sendiri dan
melakukan sesuatu semau saya sendiri itu bikin saya jadi harus mengalah dan
mengakui, memang ya ini yang harus dialami dan dilakukan semasa menjadi ibu
dengan anak balita.
3. Harus
lebih pintar jadi peramal
Ini maksudnya bukan peramal dalam arti yang sesungguhnya
lho ya. Tapi bisa melihat sesuatu dari berbagai sisi, dan membaca kemungkinan
yang bisa terjadi.
Nah, saya kan karakternya logis banget. Tapi yang
sering saya temui pada Kayyisah, dia sering menunjukkan atau melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan apa yang ingin saya lakukan untuknya, ternyata di
waktu kemudian barulah ketahuan apa maksudnya Kayyisah.
Misalnya nih ya, saya minta dia untuk duduk
di suatu tempat. Dianya nggak mau. Saya minta lagi, dianya tetap nggak mau. Eh ternyata
beberapa waktu kemudian, ada ular di dekat tempat dia yang seharusnya saya
minta untuk duduk di situ.
Jadi kadang saya pikir, apa nih anak
feelingnya kuat ya? Akhirnya kalau ada apa-apa, lalu kok Kayyisah lebih keukeuh
responnya bertentangan dengan yang saya mau, saya bukan lagi tipe orang yang
minta harus dituruti. Sejak ada Kayyisah, belajar kalau ada banyak hal di dunia
ini yang nggak harus bisa dilogika.
Oh iya, dari pada ngomongin apa yang berubah
atau enggak dengan perbandingan sebelum dan sesudah menjadi seorang ibu, saya
lebih sering mikir, apa ya yang bisa lakukan agar bisa bahagia di saat menjadi
seorang ibu.
Apalagi kalau sudah ngomongin ada beberapa
hal yang tidak bisa lagi saya lakukan, sementara hal-hal itu adalah sumber
kebahagiaan saya sebelumnya, beuh… alamat malah bisa nggak bahagia lah jadi
ibu!
Nah, ini tipsnya nih ya kalau versi saya…
1. Punya
cukup waktu ibadah yang berkualitas
Dulu waktu awal-awal jadi ibu, saya ngerasa
hidup saya kok begini banget. Begini banget yang saya maksud itu lebih ke rasa
tidak nyaman.
Akhirnya setelah saya evaluasi, sumber
asalnya itu karena saya kurang ibadah. Biasanya bisa shalat sunnah ini itu,
ngaji target harian bisa berapa lembar, pas punya anak, hampir semua itu susah
dilakukan.
Malah shalat wajib saja suka terburu-buru. Atau,
shalat sambil mikir anak dalam posisi di mana dan seperti apa. Dulu kadang kejadian
lho, lagi shalat, eh, anak ngejungkel jatuh dari tempat tidur.
Beberapa waktu kemudian, pernah saya baca kalau
makin kita banyak membaca Alquran dalam sehari, maka makin barokah waktu yang
kita punya. Di situlah saya sadar, mulai evaluasi dan mikir: oh iya pantes ya, kok
kayaknya waktu 24 jam sering kurang, kok kayaknya hidup tuh hectic banget. Ternyata
karena pas itu saya kurang baca Alquran.
Dan ternyata memang ada bedanya. Meski dalam
satu hari kok padat banget yang mesti dilakukan, tapi kalau kitanya tetap
meluangkan waktu untuk baca Alquran, ndilalah waktu dalam sehari itu nggak
kerasa lho. Malah kayaknya ada waktu luangnya. Padahal secara logika, itu
seharusnya jelas nggak mungkin ada!
2. Dengar
pengajian itu penting
Satu hal lain yang bisa bikin seorang ibu
bisa tetap waras adalah dengar pengajian. Sebetulnya bagusan kalau kita datang
ke pengajian ya, ikut liqo’, atau datang ke masjid yang rutin mengadakan
ceramah. Soalnya kalau datang langsung, kitanya jadi sekalian bisa berinteraksi
dengan orang lain.
Tapi kalau dalam seminggu itu susah banget
dilakukan, ya ambil saja kesempatannya dengan menyimak ceramah di tivi, radio,
atau di appstore. Lihat di Youtube juga bisa dan buanyak banget pilihannya.
Kalau dengar pengajian, selain wawasan kita
bisa bertambah, juga kadang bisa jadi jawaban lho dari kesumpekan yang sedang
ada di kepala. Karena kadang, Allah itu suka kasih solusi dim omen atau
kesempatan yang tidak kita duga.
3. Tetap
baca buku atau nonton film
Dua hal ini juga penting terutama buat ibu yang
24 jam cuma di rumah dan sama anak. Karena, buku dan film itu bisa dibilang ya
hiburan, juga jadi media penambah isi kepala.
Dan buat saya, baca buku atau nonton film itu
mirip kayak ceramah. Kadang, saya suka nemuin jawaban dari sumpeknya isi kepala
lewat buku atau film.
4.
Jaga hubungan sosial
Yang ini kalau buat saya sendiri yang introvert,
emang kurang seberapa saya lakukan sih. Di saat banyak ibu pada ngegank,
kumpul-kumpul, saya malah nggak tertarik.
Malah saya akui, kadar introvertnya saya
emang kadang suka kebangetan sih. Di keluarga besar saja, adik ipar saya malah
lebih dekat ke keluarga dari pada saya yang asli anak cucu dari keluarga besar!
Tapi biar nggak antisosial, akhirnya saya
memang melakukan kegiatan kumpul dengan kadar seperlunya. Buat saya, mager di
rumah itu adalah kebutuhan utama yang mungkin setara bagi orang extrovert yang
menjadikan nge-gank sebagai kebutuhan.
5.
Jalan-jalan
Ini kenapa kok malah ditaruh di paling akhir?
Kalau buat saya, awalnya memang jadi prioritas. Apalagi buat ibu yang tidak
bekerja di luar rumah. Ketuplekan di rumah terus yo boring rek!
Tapi… sewaktu ini dilakukan bersama anak dan
suami, waktu itu saya merasa kok tetap ada yang nggak klik ya di hidup saya
ini?!
Jadilah jalan-jalan jadi bagian kebutuhan untuk
tetap bahagia, tapi malah nggak wajib banget buat saya. Justru yang poin 1-3
tadi malah yang sangat bikin hidup saya lebih berkualitas.
Oh iya, tentunya semua jurus bahagia itu bisa
sukses dilaksanakan kalau kita kerja sama dengan suami. Karena kalau seorang
ibu nggak dijaga kadar kewarasannya kebahagiaannya, bisa jadi, anak dan suami
juga bisa ikut nggak bahagia.
Dan… yah, tiap orang memang beda-beda ya. Ada
yang memasukkan poin nge-gank dan kumpul jadi bagian untuk bisa bahagia. Ada yang
mungkin punya pendapat kerja di luar rumah itu juga bagian dari kebahagiaan.
Sekali lagi, semuanya kembali ke diri kita
masing-masing. Yang penting tentu saja, yuk mari jadi ibu yang bahagia. Karena masa
menjadi ibu adalah fase yang tidak bisa diulang atau bahkan tidak semua orang
dikasih kesempatan Tuhan untuk mendapatkannya.
Bu.
ReplyDeleteTipsnya ampuh banget harusnya.
tapi jujur, dalam hal ibadah aku merasa mengalami kemunduran setelah punya anak.
Harusnya meningkat agar tetap bisa sabar, tapi ini malah makin jauh.
makasih bu sudah mengingatkan :(
Kalau disamain waktu zaman lajang, emang aku pun mengalami kemunduran, Des. Tapi akhirnya ya hadapin realita saja. Nggak selamanya kok, nanti juga akan ada masa bisa ningkatin ibadah lagi. Jadinya lebih realitis sih untuk nentuin target ibadah hariannya.
Delete