Ada cerita di balik tidak jadinya dapat
rezeki jalan-jalan, mungkin seperti itu rasanya kisah di balik pembuatan cerita
ini.
Jadi ceritanya di sekitar tahun 2014, saya
terpilih jadi finalis pemenang lomba menulis. Sebagai finalis, saya dan
beberapa teman yang juga lolos kemudian ditentukan pemenang akhirnya lewat
voting.
Karena dalam waktu dekat saya akan
melangsungkan pernikahan, saya milih melipir deh. Nggak ikut-ikutan ah ajang
minta divoting orang banyak. Dari pada dapat hadiah jalan-jalan, saya milih ngincer
yang hadiah uang tunai saja! Hahaha…
Nah, salah satu finalis penulis itu ada yang
namanya Astari Ratnadaya. Buat teman-teman blogger tentu tahu dan kenal sama nama
Tari, cewek yang emang beneran mirip sama Raisya itu lho…
Waktu akhirnya Tari dapat hadiah yang
jalan-jalan ke Flores, dia pilih destinasi yag salah satunya ke Desa Wae Rebo.
Meski saya belum pernah ke sana langsung dan suatu saat siapa tahu diizinkan Allah bisa ke sana (jiah, panjang banget intronya!), Desa Wae Rebo ini di beberapa foto atau video di inet pemandangannya mirip kayak sebuah tempat yang ada di atas awan. Cantik!
Sementara
itu, sebelumnya saya sempat lihat di Youtube, ada juga youtuber yang ke sana
dan nyentil tentang kondisi perpustakaannya.
Ini tambah itu tambah ono, jadi deh saya
membuat cerita ini. Dan setahun kemudian, Alhamdulillah cerpen ini dimuat di
Majalah Bobo pada bulan Juli 2015.
***
Perpustakaan
di Atas Awan
Permintaan itu cukup sulit!
“Hanya lima buku saja kok, Nji. Bukumu kan
banyak sekali,” pinta Tante Astari sekali lagi.
Tapi Panji begitu mencintai semua buku-bukunya.
Apalagi ia bercita-cita nanti ingin punya perpustakaan sendiri.
“Tiga saja,” jawab Panji berat. Ia juga belum
tahu, buku mana yang akan ia berikan pada Tante Astari.
“Buku yang banyak gambarnya, ya. Mereka pasti
suka melihatnya. Mereka banyak yang kurang mengerti bahasa Indonesia.”
Panji langsung menghela napas. Dengan gerak pelan
karena malas, ia membuka lemari bukunya. Cukup lama Panji memandangi satu per
satu buku-buku yang tertata rapih di sana. Ia tidak tega harus mengambil tiga
buku dan berpisah dari mereka.
Tiga buku akhirnya telah dipilih Panji. Buku
berjudul Peri Ungu, Gajah yang Baik Hati, dan Mobil Gulali itu lalu
diberikannya pada Tante Astari.
“Terima kasih Panji. Anak-anak di Wae Rebo
yang ada di Nusa Tenggara Timur pasti sangat berterima kasih dan senang bisa
melihat buku ini,” Tante Astari memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
Panji memalingkan wajah. Ia berharap bisa
melupakan buku-buku itu segera.
***
Setelah seminggu Tante Astari pergi meliput
ke daerah timur Indonesia, sore itu Panji berjumpa lagi dengannya. Biasanya,
Panji suka bila bertemu tantenya lagi usai meliput dari luar kota apalagi dari
luar pulau. Tak hanya oleh-oleh, Panji bisa tahu banyak cerita tentang banyak
tempat dari tantenya. Tapi kali ini, Panji merasa tidak bersemangat menyambut
kedatangan tantenya.
“Nih, oleh-oleh buat Panji,” Tante Astari
memberikan kain seperti selendang panjang dan gantungan kunci komodo.
“Terima kasih,” Panji menerimanya dengan
wajah muram tak bersemangat. Ia masih sedih. Buku-buku itu memang sudah tak
pernah dibacanya lagi karena Mama dulu membelikannya saat ia masih TK besar. Waktu
ia baru bisa membaca. Banyak kenangan tentang buku-buku itu.
“Nji, ke sini deh. Tante mau menunjukkan
sesuatu.”
Panji menghampir Tante Astari yang sedang
membuka laptopnya. Tak lama kemudian, ia melihat foto-foto hasil liputan Tante
Astari.
“Mereka senang sekali lho Nji, dapat
buku-buku itu. Selama ini, mereka kesulitan mendapat buku-buku bagus. Lihat
nih, untuk sampai ke desa itu, Tante harus menempuh jarak hampir setengah hari
dengan mobil dari pusat kota. Terus, Tante harus jalan kaki lagi selama empat
jam. Baru deh sampai di desa Wae Rebo.”
Panji melihat beberapa foto Tante Astari
selama berjalan menuju desa. Jalannya terlihat sulit untuk dilalui. Ia bahkan
melihat Tante Astari harus berjalan dengan menggunakan tongkat.
“Ini karena kaki Tante sakit?” Panji mulai
tertarik dengan cerita tantenya.
“Sedikit sih. Kalau pakai tongkat, jalannya
jadi nggak seberapa capek. Padahal tas Tante saja sudah dibawakan orang. Tante
nggak sanggup kalau jalan sambil gendong tas. Nah, ini desanya. Cantik ya?
Seperti di atas awan.”
Panji melihat foto beberapa rumah dengan atap
kerucut yang hampir sampai ke tanah. Mirip topi-topi kerucut yang berada
hamparan padang rumput. Foto itu diambil dari atas. Benar kata Tante, desanya
seperti di atas awan.
“Nah, ini dia perpustakaannya!” seru Tante
Astari.
Panji membelalakkan mata melihat foto-foto
yang dilihatnya. Gedung perpustakaan itu mirip dengan rumah kerucut lainnya. Ia
berada di atas bukit. Dari foto itu, Panji melihat isi perpustakaan yang hampir
kosong.
“Lho, ke mana buku-bukunya?” celutuk Panji.
“Nah, itu dia Nji. Bayangkan saja, rumah
mereka jauh dari pusat kota. Jauh sekali kalau mau beli buku. Kasihan, kan?”
Panji tak seberapa mendengar kata-kata
tantenya. Ia menggigit bibir bawahnya sambil menahan perasaan tidak nyaman saat
melihat foto-foto yang ada. Ada anak-anak berkulit gelap yang tersenyum senang
saat berebut ingin membuka buku dari Panji.
“Tante kapan lagi ke sana? Panji mau nitip
buku lagi buat mereka,” seru Panji spontan.
Tante Astari tersenyum. “Nah, sayangnya Tante
kurang tahu bisa ke sana lagi kapan.”
Panji menyesal. Andai saja waktu itu ia
memberi lebih banyak buku. Andai saja ada pintu ajaib yang membuat ia saat itu
juga bisa memberi atau meminjamkan buku-buku miliknya. Dilihatnya lemari buku
miliknya. Buku-buku itu begitu tenang di sana dan hanya sesekali ia buka.
Sementara jika di Wae Rebo, anak-anak itu akan lebih sering menyentuh dan
membukanya.
Post a Comment
Post a Comment