Ceritanya karena lagi heboh-hebohnya
Film Dilan nih. Saya yang sudah dari lama ngincer buku itu, lalu pengen beli
tapi kok ya kapasitas dana nggak kayak dulu lagi, akhirnya cuma bisa ngowoh.
Eh ndilalah, entah dari mana ceritanya,
kok jadi tahu aplikasi perpustakaan nasional bernama iPusnas. Dan di sana koleksi
Dilannya lengkap! Tiga buku ada semua. Cuma… antriannya sampai ratusan, Jeng!
Demi rasa penasaran, ikutan ngantri deh.
Lucunya, awal ngecek koleksi buku Dilan di iPusnas, saya langsung bisa pinjam
buku yang ke tiga, Milea Suara dari Dilan. Pas kosong, padahal yang sudah antri
banyak. Tapi kemudian saya anggurin. Dan akhirnya nggak kebaca deh.
Aplikasi jagoan yang sudah bikin saya rajin baca buku lagi |
Beberapa hari kemudian, saat launching
film Dilan beneran keluar, cek antrian lagi deh. Makin sering lagi ngeceknya di
notifikasi. Endingnya, dalam seminggu, saya bisa lho mengalahkan para pesaing
antrian buku ini, baca tiga-tiganya dalam waktu nonstop sekitar lima sampai
enam jam langsung baca, lewat hp Samsung J1. Udah, bayangin aja tu layar hp nan
mungil saya pantengin selama itu.
Buku Dilan ini emang disukai anak muda
karena kisah cintanya. Magnetnya apalagi kalau nggak tokoh Dilan, cowok yang
istimewanya dia pintar, jago ngegombal, sikapnya digambarkan pintar tarik ulur
cewek hingga bikin cewek penasaran, meski aslinya kalau kata Milea, wajahnya
juga nggak cakep-cakep banget.
Magnet lain dari buku ini juga nyantol
ke para generasi 90-an. Dan… uhuk, ke para tante-tante, kalau istilah tetangga
blogger yang di sono, yang banyak jadi nostalgia masa remajanya.
Overall, setelah baca ketiga buku karya
Pidi Baiq ini, saya kok malah tertarik sama sisi parentingnya. Awalnya pas baca
buku pertama, otak kiri saya mikir terus nih: ni ada anak kayak begini, ya si
Dilan itu, turunan DNA ortunya kayak gimana ya? Dilan ini nggak hanya cerdas
intelektualnya. Tapi kayaknya dididik dengan mental yang nggak biasa sama
orangtuanya.
Ayah Bundanya Dilan. Sumber: Facebook Pidi Baiq |
Rasa penasaran saya akhirnya terjawab terutama
pas buku yang ke tiga. Di situ diterangin banget tuh terutama sosok Bunda, apa
dan bagaimananya dia dalam mendidik anak-anaknya.
Wokeh, demi menepati janji saya di
facebook terhadap seorang teman yang penasaran gimana sisi parenting a la
cerita Dilan, yang sebetulnya pernah saya bikin juga ulasannya khusus Bunda
Dilan di sayan UC-nya Mbak Riawani Elyta, kali ini saya mau nulis versi seingat
saya ya dari ke tiga buku yang ada.
Jadi ya dari sisi orangtuanya Milea,
Dilan, atau juga Anhar. Karena dari ke tiga tokoh remaja itu, di ketiga buku
itulah sempat diceritakan bagaimana para orangtuanya secara tidak langsung
mencetak anak-anaknya.
1.
Remaja butuh didengar
Di buku yang ke dua, ‘Dilan Dia Adalah Dilanku
Tahun 1991’, ada bagian percakapan yang membuat saya takjub sama ibunya Milea.
Waktu itu ada kesempatan Milea akhirnya
bisa ngomong ke ibunya kalau dia sudah jadian dengan Dilan. Mileanya ngomong
terus. Cerita gimana Dilan menunjukkan perhatian ke Milea, sampai Dilan harus
bertengkar dengan Anhar.
Nah, ibunya cuma jawab sedikit kata. Iya.
Terima kasih. Bilang terima kasih ke Dilan. Iya (lagi)).
Awalnya saya merasa aneh. Ini ibunya
diajak ngomong sambil ngantuk apa ya? Tapi setelah dipikir-pikir, ada betulnya juga
sih.
Saya sendiri di sekolah tempat ngajar dulu
kalau ngadepin siswa yang curhat, sudah banyak nyelanya. Nggak sabar. Nggak
suka jadi tong sampah cerita orang. Siapapun itu. Kalau cerita ke saya nggak
boleh melulu ngeluh. Harus mau ngobrolin solusinya gimana. Saya akui, I’m not a
good listener!
Tapi remaja, mereka generasi yang butuh
pengakuan eksistensi. Maunya didengar. Termasuk ketua BEM UI itu kali ya? *eh
Moga kelak saya ingat, seharusnya lebih
banyak memasang telinga dari pada mulut. Karena jika mulut yang saya dulukan,
saya tidak akan bisa dekat dengan anak. Selanjutnya, saya mungkin akan menyesal
saat ia yang seharusnya mengadu ke saya dulu atas masalahnya, malah membuat
masalah baru dengan orang lain. Hanya karena saya tidak cukup memberikan
telinga untuknya.
Dilan dan Milea yang terhitung dekat
dengan ibunya masing-masing membuktikan kalau orangtua terutama ibu sebaiknya menjadi
sumber kenyamanan anak.
2.
Ayah adalah tempat anak perempuan bisa bersandar di lengannya
Diceritakan di dalam buku, ayahnya Milea
yang tentara serta jarang pulang itu tetap saja dekat dengan kedua anaknya yang
perempuan. Tapi meski ayahnya tentara, kesannya nggak angker.
Ada suatu bagian di mana Milea bingung
tentang sikapnya sendiri yang suka mengatur dan melarang Dilan ini itu. Saat Milea
tanya ke ayahnya bagaimana dulu ayahnya pacaran dengan ibunya, Milea curhat
sambil bermanja ke lengan ayahnya.
Buat saya, ini bentuk komunikasi yang
nggak berjarak antara ayah dan anak perempuan. Saya sendiri saja nggak pernah
dan nggak berani seperti itu ke ayah saya. Karena itu kali ya, makanya saya dan
ayah sering misskomunikasi. Hahaha… Karena sejak kecil saya jarang dibiasakan
sentuhan fisik sebagai ungkapan sayang orangtua-anak.
3.
Mendidik kejujuran, secara tidak langsung memancing kecerdasan anak
Kalau yang ini versi ayahnya Dilan.
Jadi, ayahnya Dilan ini tipe orang yang juga nggak kaku-kaku banget meski dia
tentara. Temannya dan lingkungan pergaulannya sampai ke kalangan bawah. Dilan
dan kakaknya saja kadang diajak main bilyard di Braga, tempat yang kalau
ketahuan Bunda, bakal nggak dibolehin.
Pas Dilan tanya ke ayahnya gimana kalau Bunda
nanti tanya dari mana, awalnya sempat mengajari bohong. Dilannya lalu bilang, “Kan
nggak boleh bohong.” Ayahnya pun lalu mengajari jawaban yang jujur tapi
diusahakan hasilnya tidak dimarahi.
Saya agak lupa sih jawaban tepatnya di
buku seperti apa. Tapi dari percakapan itu saya jadi belajar, mengajari anak
belajar jujur itu penting. Tapi ketika kejujuran sulit untuk diungkapkan, harus
diajari juga cara cerdas untuk menyampaikannya.
4.
Milikilah selera humor
Kalau Dilan kok bisa sebegitu kocaknya,
pada akhirnya saya mendapat jawaban bahwa semua itu hasil turunan ayah
bundanya. Terutama memang Bunda yang lebih banyak bersama anak-anaknya.
Bundanya Dilan itu mau lho disebut Bundahara,
kalau Dilan sedang butuh uang. Juga disebut Sari Bunda kalau Dilannya lagi
lapar.
Lalu bundanya sendiri juga punya
panggilan kesayangan untuk anak-anaknya. Anak bunda. Bahasa yang manis banget. Manisnya
sampai dipakai untuk mengajak anak-anaknya membersihkan kamar mandi yang kalau
kata Dilan, itulah perintah yang mengandung penghormatan.
“Anak Bunda, mari bantu Bunda
membersihkan kamar mandi.” Berasa kayak diajak jalan-jalan saja ya? Padahal perintah
halus untuk membersihkan kamar mandi!
Yang paling bikin ketawa kalau buat saya
sih pas bagian cerita Bunda yang di sekolahnya ada siswa ngamuk. Semua guru nggak
ditakutin sama dia.
Pas berhadapan dengan Bunda yang jadi
kepala sekolah, Bundanya malah bilang yang intinya, “Kau kenal Dilan? Kalau
iya, kau hadapilah dia dulu sebelum kau hadapi ibunya.”
Ternyata siswa ini nggak nyangka kalau
kepseknya ternyata ibunya panglima tempur sebuah gank motor tersohor di
Bandung. Sungkem lah akhirnya tuh bocah!
5.
Menggunakan kata tanya pilihan dari pada memerintah
Selain kata “Bilang jangan?” yang
maksudnya “Enaknya bilang nggak ya?”, saya juga awalnya bingung dengan
kata-kata Bunda yang maksudnya nyuruh tapi kok kayak orang menawarkan pilihan.
“Bunda yang ambil pulpennya atau Milea?”
Maksudnya nyuruh Milea. Tapi Bunda yang guru bahasa Indonesia itu malah
menggunakan kata pilihan sebagai kata perintah.
Kesannya agak belibet memang. Mau nyuruh
saja kok panjang banget bahasanya. Dan saya sangsi, itu kalau dipakai ke anak
zaman sekarang, apa ya merekanya paham? Jangan-jangan kita pulak yang malah
mereka mintai tolong atau perintah.
6.
Terkadang tempatkan komunikasi sesuai usia anak
Dilan itu waktu kecil, punya sepeda yang
diberi nama ‘mobil derek’. Kalau versi orang dewasa, mungkin lucu bin aneh kali
ya. Atau, orang dewasa juga tetap saja akan pakai bahasa kata sepeda.
Tapi bundanya Dilan malah ikut ‘aturan’ penamaan
mobil derek itu. Pernah suatu ketika saat Dilan kecil kebingungan mencari
sepedanya, Bunda tetap meladeni anaknya dengan bahasa mobil Derek versi Dilan.
Karena itu menurut Dilan, Bunda adalah
orang dewasa yang bisa mejadi seperti kekanak-kanakan ketika sedang bicara dengan
anak yang masih kecil. “Mungkin maksudnya baik agar bisa menyesuaikan dengan
siapa dia bicara.”
7.
Tidak mengekang, memberi tanggung jawab juga rambu batasan pada anak
Gaya parenting bundanya Dilan ini
menurut saya sendiri agak ngeri-ngeri sedap! Memang sih, prinsip dia adalah
membebaskan anaknya tapi agar anaknya tahu tanggung jawab. Bunda mengatakan ke
anaknya kalau dia percaya, yang berarti apapun yang dilakukan anak pokoknya
harus bertanggung jawab.
Anak nggak dilarang-larang main sama
siapa. Makanya Dilan sampai ikutan gank motor, pulang malam-malam pun bundanya
woles. Tapi karena diberi tanggung jawab, Dilan nggak pernah minum. Ngerokok sesekali,
iya.
Anaknya berantem? Bundanya cuma yakin
kalau anaknya nggak bikin perkara duluan. Tapi Bunda tetap bilang memberi rambu
kalau dia nggak suka anaknya berantem.
Kalau saya jadi bundanya Dilan, anakku
nggak bakal ta’ kasih motor sampai dia umur 17 tahun. Emang sih, zaman baheula
90-an mah woles ya peraturan lalu lintasnya.
Anak berantem sampai dikeluarin sekolah
atau ketusuk sampai koma? Kayaknya nggak akan terjadi karena dia udah saya
masukin boarding school atau pesantren duluan. Atau home schooling aja kali ya?
Hahaha… Tuh kan langit-bumi banget gaya parenting saya sama bundanya Dilan?!
Jangankan itu semua. Anak pacaran saja
buat saya dan suami will say big no! Apalagi zaman sekarang yang gaya
pergaulannya bisa melebihi horornya film horor! Pacaran Islami? Setan mah
sekarang lebih pintar punya cara ngakalin manusia!
Kalau kata Pak Benny Rhamdani yang ikut
membidani novel ini, ambil baiknya buang enggaknya. Saya sepakat pakai banget. Tidak
mengekang, memberi tanggung jawab juga rambu batasan pada anak akan saya pakai
versi kesepakatan pendidikan keluarga saya. Karena setiap keluarga punya aturan
masing-masing kan?
8.
Tidak melabeli anak dengan kata nakal
Kebanyakan orangtua bisa mudah keceplosan
bilang nakal ke anaknya kalau lihat anaknya melakukan sesuatu yang dinilai
negatif.
Dilan ini produk orangtua yang nggak
gampang bilang nakal ke anak. Malah anaknya sendiri yang bisa menilai dia
memang sedang nakal.
Bundanya Dilan cuma bilang seperti ini, asal
nakalnya menyenangkan orang banyak, nggak bikin rugi orang, nggak ngerugiin
diri sendiri, nggak ngerugiin hidup, agama, masa depan, bundanya nggak masalah.
9.
Memberi konsekuensi
Sewoles-wolesnya bunda sama ayahnya
Dilan, ada kalanya bisa tegas memberi konsekuensi. Cuma saya kurang setuju sih
momennya kalau di cerita.
Jadi kalau cerita di buku, Dilan kan
pernah tuh pas kumpul di rumah Beni, temannya, membahas kematian temannya, si
Akew, lalu digerebek polisi. Polisi takutnya mereka mau menyerang pelaku
pembunuh Akew.
Nah, ayahnya Dilan datang ke kantor
polisi terus marah besar ke Dilan. Dilan sampai dikasih konsekuensi nggak boleh
pulang ke rumah. Nginep di kantor polisi saja nggak boleh.
10.
Tidak menghakimi
Ada kata-kata Dilan yang tertulis
begini, “Bunda bicara tanpa rasa menghakimi atau membuat terpojok. Bicara dengan
kata-kata yang tidak membuatku frustasi dan justru malah bisa diterima
seolah-olah sedang menawarkan dikunyah sepanjang jalan. Mendukung pertumbuhan
yang sehat dan membimbing ke langkah berikutnya.”
Dan memang, di sepanjang cerita yang ada
unsur Bunda-nya, jarang banget diceritakan Bundanya sampai mencak-mencak,
ngecap anaknya ini itu, meski anaknya sudah melakukan kesalahan.
11.
Membela kesalahan dan kepentingan anak apalagi di depan orang lain malah
membuat anak menjadi raja kecil
Kalau yang ini part-nya ibunya si Anhar.
Di buku yang ke dua, diceritakan kalau Milea disudutkan ibunya Anhar yang minta
Milea untuk maju ke guru, bilang Anhar nggak salah, agar Anhar nggak
dikeluarkan dari sekolah.
Yang lucu, ibunya Anhar ini
ngejelek-jelekin Dilan di depan Bunda, yang justru ngaku kalau dia ibunya
Milea.
Dari sikap ibunya Anhar ini saya jadi
ngerti kenapa ada anak seperti Anhar. Yang hobi malakin anak lain sampai bikin
sekolahnya diserbu anak sekolah lain. Yang hobi berantem, plek ketiplek sama
kakaknya yang disebut Dilan sebagai agen CIA yang sudah ngeroyok Dilan buat
balas dendam karena Dilan sudah mukulin Anhar, setelah Anhar nampar Milea.
Anhar dan kakaknya ini kayak orang nggak
merasa punya dosa, gitu kali ya istilahnya. Karena ibunya saja mau membela
anaknya yang padahal sudah buat salah, di depan orang lain.
Dah, segambreng itu sih kalau menurut
saya wawasan parenting yang bisa didapat dari hasil membaca tiga buku berlabel
Dilan. Hasil seingetnya saya saja. Bagusnya sih baca bukunya langsung ya biar
tahu gimana-gimananya.
Yang sudah baca juga boleh banget lho
kalau mau nambahin di komentar yah… Asal jangan nulis name url dengan url
postingan aja. Nulis alamat blognya saja wokeh? *winks
Pesan sponsor:
Kalau yang penasaran sama bukunya, beli’…
Nggak mau atau nggak bisa beli, noh ada perpustakaan. Asal jangan lari ke
bajakan atau baca versi PDF yang sudah disebarluaskan secara tidak bertanggung
jawab.
Saya saja meski sudah baca bukunya,
kayaknya suatu saat pengen beli bukunya deh. Buku Dilan ini menurut saya buku
yang cakep buat dibaca berulang-ulang. Secakep Iqbaal pemeran Dilan yang konon sudah
bikin gemes para tante angkatan 90-an. Hahaha…
Keren ulasannya. Sy juga waktu baca bukunya justru tersihir dgn kehebatan para bunda tsb. Hingga penasaran dan pengen kenal bundanya Dilan yg sebenarnya. https://bloggernyani2k.blogspot.co.id/2018/01/belajar-memaknai.html?spref=fb&m=1.
ReplyDeleteDan dari buku Dilan juga saya lebih mudah untuk memulai proses pembelajaran
https://bloggernyani2k.blogspot.co.id/2018/01/demam-dilan.html?spref=fb&m=1.
Semoga bisa saling berbagi
Kita tunggu film dan bukunya juga yuk yang Bundahara. Btw, makasih ya sudah berbagi link tulisannya juga...
DeleteKesini karena di retweet pidi baiq👍😉. Setuju sih mba, gaya bunda yang terkesan gaul itu salut banget buktinya meski bandel dilan tetap menghargai orangtuanya.
ReplyDeleteSaya belum nonton nih film dilan tapinya :(
Saya pun belum nonton juga Mbak. Nungguin di tivi aja Mbak. Hehehe...
Deletekereeenn.. bahas Dilan dari sisi lain... Makasih sharing nya ya mbak...
ReplyDeleteSama-sama :)
DeleteWaah mbak, jeli banget ya bisa ngelihat dari sisi parentingnyaa. Suka banget cara didik bundanya Dilaan. Makin cinta sma Dilan #eh. Btw salam kenal mbk, muthihauradotcom
ReplyDeleteSalam kenal juga... Hehe, mungkin karena saya emak-emak kali ya makanya yang kepikir malah sisi parentingnya.
DeleteIni aku underlined mbak :D Buku Dilan ini menurut saya buku yang cakep buat dibaca berulang-ulang. Secakep Iqbaal pemeran Dilan yang konon sudah bikin gemes para tante angkatan 90-an. Hahaha… >> wkwkwk.
ReplyDeleteTFS yah mb sharingnya, memang bener, ambil baiknya, buang yg ga yah. Belum baca bukunya aku, tapi udah ntn filmnya krn penasaran. Dan, akting Iqbal emang oke punya. Setelah baca ini, pengen khatamin bukunya biar punya pandangan yg lbh otentik. Salam kenal mbak :)
Saya kebalikannya Mbak. Sudah baca semua bukunya dan malah belum lihat filmnya. :D
DeleteWah keren ulasannya. Kalau udah jadi orang tua bisa lihat bukunya dari sudut pandang parenting gini ya. Kalau masih remaja mungkin fokus ke kisah cinta2annya aja, hihi.
ReplyDeleteSaya belum baca buku Dilan sih, cuma nonton filmnya. Hehe.
Gara-garanya habis baca buku yang ke tiga. Eh ternyata pas dirunut, dua buku yang lain kok ya sebetulnya ada unsur parentingnya. Dan kemudian jadi deh tulisan ini...
DeleteWah, lengkap banget ini... :D
ReplyDeleteKalau dipikir-pikir bener juga ya, selain romantisme remaja 90'an. Kita juga bisa banyak belajar dari para tokoh orang tua disana. Poin ortu pengertian itu beneran harus bisa kita terapkan juga sama anak-anak nanti. :)
Iya Bun, banyak pelajaran tentang parenting sebetulnya di tiga buku ini. Ada yang emang bisa kita tiru, ada juga yang jadi bahan renungan untuk nggak usah kita tiru.
DeleteIni minjem ipusnas ya bukunya. Waa jd pengin nyoba juga minjem di sana
ReplyDeleteIya Mbak, ngejabanin baca ketiganya lewat iPusnas.
DeleteBanyak banget yah pelajaran parenting di buku dilan, buku ini tidak hanya mengajak pembacanya senyum-senyum dengan kisah cinta dilan-milea tapi banyak nilai tersurat maupun tersiratnya
ReplyDeleteBener Mbak. Nggak nyangka juga nilai parentingnya ada ternyata.
DeleteIni ulasan yang objektif, hehehe ....BTW sebelumnya terlalu banyak aku membaca ulasan negatif tentang Dilan .... Dan sekali lagi terbukti, mereka yang nyinyirin Dilan memang belum membaca novelnya sama sekali. Hahaha ...
ReplyDeleteSaya pun belajar ngerem mulut agar anak-anak tetap dekat. Kalo ibu2 suka banyak bicara, yang ada anaknya malah menjauh
ReplyDelete