Profesi reporter di mata
beberapa orang, sering dilihat dari sisi negatifnya. Dianggap kerap terlalu
mengritik, memancing narasumber untuk menjelek-jelekkan pihak lain, atau
terkadang citranya dirusak oleh wartawan amplop yang gemar menodong dana
liputan, sampai dianggap terlalu usil pada kehidupan orang lain.
Namun karena reporter juga
manusia biasa, ada juga lho tipe-tipe reporter yang masih memertahankan
sisi-sisi humanisnya. Saya menyebutnya dengan istilah, 'reporter malaikat'!
Tulisan ini merupakan
bagian dari kenangan saat dulu menjadi reporter di Batam.
Saat sebelum hingga ketika
menjadi reporter, tak pernah terbersit dalam benak saya jika profesi tersebut
juga bisa sebagai tangan untuk menolong orang lain yang kurang beruntung.
Mata hati saya kala itu
disadarkan oleh keberadaan Aji, teman reporter sekantor yang bertugas di
Tanjungpinang.
Pada awalnya saya bingung
melihat berita-berita hasil liputan Aji yang dimuat di koran. Kok rata-rata
mengisahkan orang-orang kurang beruntung, ya? Mulai dari anak yang menderita
hidrosefalus, orang yang terkena tumor, dan derita orang-orang lainnya yang tak
mampu menyembuhkan diri karena keterbatasan biaya.
Buat saya, tulisan-tulisan
Aji tersebut seperti menjual cerita sedih orang lain. Kurang ada manfaatnya
untuk pembaca.
Akhirnya sewaktu
berkesempatan chatting dengan Aji, saya tanyakan uneg-uneg saya tersebut.
Jawaban Aji, “Ka, kenapa
nggak kita jadi malaikat untuk mereka?”
Diam-diam saya renungi apa
yang Aji ucapkan. Pikiran saya pada akhirnya menyetujui alasan Aji. Saya sadar,
karena dari berita-berita Aji itulah akhirnya banyak pembaca koran berhati pahlawan yang menelepon ke kantor kami, meminta
alamat di mana mereka bisa menemukan orang yang malang tersebut, dan berniat
ingin menolong.
Lain lagi cerita kawan
saya Tari dan Andres. Suatu ketika tanpa sengaja saat proses liputan, mereka
menemukan seorang pria yang ditinggal istrinya dan hanya hidup dengan seorang
anaknya. Sang istri ini tidak kuat hidup dengan pria tersebut karena penyakit
yang diderita suaminya.
Nah, si anak dari pria
inilah yang awalnya dijumpai Tari dan Andres saat sedang liputan. Setelah
ditanya-tanya kenapa anak ini harus bekerja, mengalirlah cerita dari bibir
kecilnya. Kedua teman reporter ini pun penasaran dan mengunjungi rumah anak
tersebut.
Dulu, sang suami adalah
seorang penjahit. Namun di suatu ketika, sebuah musibah membuat kaki dari pria
tersebut mengalami luka. Karena infeksi, pria tersebut terpaksa harus menerima
kakinya untuk diamputasi. Namun malang, langkah amputasi itu tak mampu menahan
jalaran infeksi yang telah menjalar.
Di hari-hari berikutnya,
pria ini harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak bisa apa-apa karena
kakinya yang makin hari makin membusuk. Menurut Tari yang kala itu bertandang
ke rumahnya, bau busuk dari luka kaki pria tersebut sangat menyengat hingga ke
mana-mana.
Keesokan harinya setelah
Tari meliput, berita tentang kondisi pria yang malang itu dimuat di koran oleh
redaktur. “Semoga berita ini bisa membuat orang simpati dan sang istri kembali
ke pria itu ya, Ka!” cetus Tari di pagi harinya sembari membaca koran dengan
saya, di saat seperti biasa sewaktu kami masih berada di kamar rusun kami
berdua.
Namun nyatanya, sebuah
telepon memupus harapan Tari. Seorang tetangga dari pria itu mengabarkan pada
Tari jika pria tersebut ternyata telah meninggal dunia.
Konon usai Tari dan Andres
meliput ke rumahnya, semburan darah keluar tiada henti dari kaki pria malang
itu. Saking hebatnya, semburan darah itu sampai mengotori dinding dan
langit-langit dari rumahnya. Pria itu kehabisan darah, hingga menghembuskan
nafas terakhirnya di rumah tanpa siapapun tahu dan dapat menolongnya. Termasuk
sang anak yang saat itu sedang di luar rumah untuk mencari nafkah menghidupi
dirinya dan sang bapak.
Cerita heroik juga sempat
ditorehkan oleh Ferdi dan Mbak Ruri, teman reporter sekantor, terhadap Kakek
Junu. Semuanya berawal dari kebingungan Mbak Ruri yang harus mencari bahan
berita untuk dana BLT karena tugas dari redaktur.
Ferdi lantas berinisiatif
untuk mencari masyarakat yang memang membutuhkan dana BLT di sebuah daerah di
Batam yang banyak dihuni masyarakat asal timur Indonesia.
Di situlah akhirnya Ferdi
dam Mbak Ruri bertemu dengan Kakek Junu, seorang kakek yang hidup sebatang kara
dan ingin pulang ke daerah asalnya di bagian timur Indonesia. Sayang, sang
kakek tidak memiliki biaya. Belum lagi kepapaan yang ada dalam hidup Kakek
Junu, membuat kesendirian Kakek Junu tersebut benar-benar menyedihkan!
Usai berita diterbitkan,
tak sedikit dari masyarakat yang menaruh simpati. Banyak orang menyumbangkan
uangnya sampai-sampai, uang yang terkumpul untuk Kakek Junu itu mampu ia
gunakan untuk pulang kampung.
Tak sampai di situ
kekuatan dari berita mampu menggerakkan hati manusia. Sampai di bandara,
seorang pria yang bekerja mengangkut barang-barang untuk penumpang langsung
tergerak untuk membantu.
“Mbak, itu Kakek Junu yang
diberitakan di koran itu, kan?”
tanya si pria kepada saya yang saat itu juga ikut mengantar Kakek Junu ke
Bandara Hang Nadim bersama beberapa rekan kantor.
Saat saya jawab iya, pria
itu pun langsung spontan memberikan selembaran uang yang cukup lumayan nilainya
dari sakunya dan diberikan kepada saya. Sungguh, saya tersenyum dalam hati
seperti senyum lebar yang saya tunjukkan sembari mengucapkan terimakasih kepada
pria dermawan tersebut.
Sebetulnya masih banyak cerita para reporter malaikat yang terkadang dulu saya dapati dari teman-teman reporter namun sayangnya tidak tercatat rapi dalam benak saya.
Sebetulnya masih banyak cerita para reporter malaikat yang terkadang dulu saya dapati dari teman-teman reporter namun sayangnya tidak tercatat rapi dalam benak saya.
Cerita-cerita ini juga
membuat saya tersadar, karena dengan kekuatan media untuk mengungkap
cerita-cerita kurang beruntung yang dimiliki beberapa orang, ternyata menjadi
penghubung dengan orang-orang di tempat lain yang memiliki hati malaikat untuk
berkenan mengulurkan tangannya.
Menggalang
Donasi
Jika
beberapa teman dalam cerita saya tadi adalah para reporter yang membuat berita
dari orang-orang yang membutuhkan pertolongan, beda lagi cerita kawan saya
lainnya.
Saya
dan kawan-kawan memanggilnya Menix. Ia dulu juga teman reporter satu kantor
dengan saya. Cara Menix untuk menjadi pahlawan adalah dengan menggalang donasi bersama beberapa orang yang
dikenalnya.
Para
donatur ini berasal dari lintas profesi. Kebanyakan adalah orang-orang yang
kerap menjadi narasumber dan juga beberapa teman sekantor Menix.
Tiap
bulan, Menix mengumpulkan dana dari para donatur tersebut. Dana yang terkumpul
lalu ia salurkan ke anak-anak di pulau yang membutuhkan untuk biaya sekolah.
Anak-anak ini kebanyakan adalah mereka yang Menix temui saat proses liputan.
Untuk
sampai pada keputusan siapa yang berhak mendapatkan donasi tersebut, Menix yang
kerap dibantu Ganjar, teman bagian pembuatan grafis di kantor, sampai
mengunjungi anak-anak tersebut dan mencari tahu sejauh mana mereka memang
membutuhkan dana tambahan untuk menyokong biaya pendidikan. Singkatnya, ada
proses survei terlebih dahulu.
Menjadi
Pahlawan Bersama Dompet Dhuafa
Banyak cara untuk menjadi
pahlawan atau hero zaman now. Itulah
yang ditawarkan oleh Dompet Dhuafa Republika, sebuah lembaga nirlaba yang
mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF, yaitu
zakat, infaq, shadaqah, wakaf, serta dana lainnya yang halal dan legal.
Dompet Dhuafa sudah berdiri selama 24 tahun, merupakan lembaga nirlaba yang bergerak di bidang kemanusiaan. Foto dimabil dari dompetdhuafa.org |
Dana ini berasal dari
perorangan, kelompok perusahaan atau lembaga.
Awal muasal munculnya lembaga
yang pernah mendapat penghargaan Ramon Magsaysay Award di tahun 2014 ini mirip
dengan apa yang pernah dilakukan teman-teman saya selama menjadi reporter di
Batam. Dompet Dhuafa Republika berasal dari empati kolektif komunitas jurnalis
yang banyak berinteraksi dengan masyarakat miskin, juga kerap berjumpa dengan
kaum kaya.
Kini seteah 24 tahun,
lembaga Dompet Dhuafa Republika telah menjadi media silaturahmi antara para masyarakat
berhati pahlawan dan mereka yang membutuhkan.
Dana yang terkumpul dari donasi masyarakat dan telah
tersalur kepada mereka yang membutuhkan, telah membuat banyak anak bisa mengenyam pendidikan dengan layak, para korban
bencana yang membutuhkan, mengembangkan usaha para petani, dan yang lainnya.
Jangkauannya pun telah meluas
tidak hanya untuk lokal Indonesia saja. Akan tetapi telah sampai ke luar negeri
seperti Allepo Suriah.
Cerita tentang para
reporter malaikat serta gerakan sosial Dompet Dhuafa ini bisa menjadi inspirasi
bagi siapapun, bahwa menjadi pahlawan atau hero zaman now adalah hal yang
mudah. Sesuatu yang berarti besar bagi orang lain, bisa berasal dari hal biasa
yang digerakkan dengan keberanian luar biasa.
Selalu terkesima dengan orang-orang yang tergerak untuk membantu sesama padahal mereka sendiri bukan selalu orang berada. Berbagi itu memang terbukti menguatkan. Salut buat Dompet Dhuafa juga.
ReplyDeleteMerinding bayangin bapak2 yg meninggal sendirian karena kehabisan darah :(
ReplyDeleteSeru ya bu baca betapa kerennya jadi wartawan. Gak salah dlu pernah bercita-cita jadi reporter. Wkwwkwkwkw
Btw. Beberapa nama merasa kenal dan tetiba rindu dengan dosen-dosenku ini.
Dulu juga ada Mba saudara jauh yang kakinya macam tumor dan mesti diobati dg banyak biaya. Wartawan datang untuk motret dan cari info tentang penyakit itu dari si bapak dan istrinya. Sumbangan memang akhirnya datang ke koran itu dan diteruskan ke si bapak, walau akhirnya beliau meninggal juga karena memang udah parah.
ReplyDeleteAdanya gerakan macam dari wartawan atau Dompet Duafa gini memang sangat membantu banget sih. Terkadang orang juga bingung mau bersedekah ke siapa yang paling membutuhkan.