Buat para orangtua, adakah yang sering
kepikiran bagaimana caranya agar anaknya harus dapat nilai bagus? Adakah yang sampai
pusing waktu tahu anaknya kok dapat nilai jelek?
Kalau ada yang punya pikiran kayak gitu, yuk,
saya kenalin sama yang namanya nilai KKM.
Buat yang belum kenal sih. Tapi kalau sudah
kenal juga nggak apa-apa kok kalau kenalan lagi *maksa
KKM apaan sih?
KKM itu singkatan dari Kriteria Ketuntasan
Minimal. Nah, udah ada gambaran kan arah pembicaraan saya akan ke mana?
Tapi, sebelumnya saya ceritain pengalaman
saya dulu ya waktu ngajar. Jadi kalau urusan nilai anak jelek, sebetulnya yang
lieur juga gurunya lho. Malah seringnya, anaknya nyantai kayak di pantai,
gurunya yang ngos-ngosan kayak naik gunung menanjak dan berjurang.
Pasalnya, tiap guru sudah membuat standar
nilai KKM sejak awal semester. Terus dituntut untuk melaporkan hasil akademik
anak didiknya yang standar terendahnya adalah nilai KKM. Dengan waktu yang
seringnya pendek, nilai anak didiknya harus berstandar KKM, masa iya main ping
ping po kayak Ipin Upin untuk bikin nilai anak didiknya bagus semua? Kalau kata
Mei Mei, nanti lu punya Tuhan marah lo…
Aslinya, nilai KKM ini dibuat nggak
asal-asalan lho. Ada pertimbangan dan perhitungannya. Penetapan nilai KKM dari
tiap guru, tiap mata pelajaran, tiap sekolah, bisa beda-beda. Karena untuk
mendapatkan sebuah nilai KKM, ada dasar-dasarnya.
Guru harus melihat dan menghitung nilai KKM
berdasarkan beberapa hal:
1. Tingkat kemampuan peserta didik. Anak yang
dapat pelajaran itu, kemampuan sebelumnya seperti apa?
2. Kompleksitas kompetensi dasar. Kalau
materinya kok lebih sulit, KKMnya ya jadi lebih rendah.
3. Kemampuan sumber daya pendukung meliputi
warga sekolah, sarana dan prasarana yang mendukung proses pembelajaran. Jadi
sekolah yang fasilitasnya wah, labelnya plus-plus pakai telor, ya nggak
bisa disamakan sama sekolah pinggiran miris fasilitas yang sering diliput
wartawan tapi tak kunjung diperhatikan.
Nah, balik lagi ke cerita betapa seorang guru
bisa lieur kalau habis musim ujian, ceritanya waktu itu di sekolah tempat saya
ngajar, ada anak yang langganan nilainya jelek. Parahnya, hampir di semua mata
pelajaran.
Pas saya curcol ke kepsek, beliaunya
ngingetin saya panjang kali lebar kali tinggi kali lama. Tenang, saya akan
ceritain ulang dengan singkat kok.
Intinya, tiap anak itu punya kecerdasan
beda-beda. Ada anak yang jago di seni tapi jeblok di nilai pelajaran ekonomi.
Kalau kayak gitu, tuh anak nggak bisa disalahin. Karena emang dia nggak punya
kelebihan kecerdasan di ekonomi.
Tapi, nggak berarti juga tuh anak dibiarin
kipas-kipas keenakan pakai kertas ujiannya yang jeblok. Dia tetap harus
memerbaiki nilainya. Dikasih ujian lagi lah dia dengan tingkat kesulitan yang
sama dengan ujian sebelumnya. Malah, bisa juga kok ujian yang sebelumnya
dikasih ke dia lagi. Pokoknya nilai anak itu harus sampai di titik nilai KKM dengan
usahanya sendiri.
Sampai pada akhirnya, semua anak akan lulus
dengan nilai paling rendah yang setara dengan KKM. Hore... *tepuktanganmeriah
Jadi buat para ortu, jangan khawatir kalau
tahu nilai anaknya jeblok. Para guru akan bimbing dia kok untuk mencapai nilai
KKM, nilai standar dan lulus.
Kita para orangtua nggak bisa maksa anak
untuk dapat nilai bagus di semua mata pelajaran. Kan anak pintarnya beda-beda,
nggak bisa dipaksa menguasai semua matapelajaran.
Guru Ekonomi saja bakal keder kok kalau disuruh
ngerjain soal Geografi. Padahal sama-sama mata pelajaran IPS.
Seperti guru yang nggak berarti maha tahu,
anak pun nggak bisa dipaksa jadi maha pintar.
Analogi itu dipakai juga untuk mengingat
bahwa jangan bandingkan nilai satu anak dengan anak lain.
Lha anak kita jeblok di IPA tapi bagus di
IPS, anak orang kok bisa bagus semua nilainya, nggak berarti kita harus push
dia untuk sama dengan si anak lain itu.
Yakinlah, ada kelebihan yang dimiliki anak
kita tapi tak dimiliki anak lain.
Anak memang bisa belajar apa saja. Tapi tak
berarti mereka harus jadi ahli dari semua yang ia pelajari.
Post a Comment
Post a Comment