Cerpen
yang pernah dimuat di Majalah Bobo pada tanggal 15 Desember 2016 ini sebetulnya
saya kirim dengan judul asli Bunga untuk Disa.
Hehehe,
mungkin kesannya jadi kayak cerita mencari bunga untuk orang meninggal kali ya,
makanya diganti oleh pihak redaktur majalah Bobo.
Inspirasi
cerpen ini sendiri berasal dari cerita pribadi dan cerita pengalaman punya
teman.
Jadi
ceritanya dulu sewaktu kecil, jika akan pentas menari Bali terutama tari
Pendet, saya suka keliling cari bunga untuk ditaruh di bokor atau wadah berisi
bunga yang dibawa saat menari.
Nah,
sedangkan cerita pengalaman teman, ceritanya suatu ketika anaknya ditugasi
mencari bunga tertentu oleh guru sekolahnya.
Si
anak ini ndilalah nggak ngerti siapa-siapa nama tetangganya yang akhirnya
membuat mamanya geleng-geleng kepala.
Mamanya
ini takjub, lha kok anakku ini sampai segitunya nggak hapal apalagi kenal sama
tetangganya.
Dan
tadaaa… jadilah cerita yang alhamdulillah dimuat di majalah Bobo tahun lalu.
Nah, kalau ada yang bingung kenapa kok namanya Maya Alesha, jadi begini ceritanya.
Dulu, saya sempat terpikir untuk menggunakan nama pena. Jadilah saya pakai nama ini.
Lucunya, setelah itu saya nggak lagi-lagi pakai nama pena. Soalnya membingungan banyak orang dan bahkan diri sendiri! Hahaha...
Yups, selamat
membaca cerpen saya ini ya.
Mencari Kamboja
"Anak ini selalu menyusahkanku!" gerutuku dalam hati
sambil memandang sebal ke gadis sebaya di hadapanku.
"Bisa kan?" Disa bertanya sekali lagi.
Barusan Mama yang berujar meminta. Sekarang Disa memastikannya
lagi.
"Iya," jawabku pendek disertai anggukan kepala beberapa kali.
"Iya," jawabku pendek disertai anggukan kepala beberapa kali.
Disa lalu memekik
girang. Ia kemudian pamit ke kamar kecil sebentar sebelum pergi bersamaku
setelah ini.
"Senyum dong,
Tan," goda Mama sambil menyentuh daguku.
Kupaksakan bibirku
tersenyum dengan kaku.
Dalam hati, aku kembali
menggerutu. "Siang panas kayak begini, eh malah disuruh menemani orang
mencari bunga!"
Aku jadi ingat beberapa
kejadian yang membuatku repot. Siapa lagi penyebabnya kalau bukan karena Disa,
sepupuku yang sejak sebulan lalu pindah dari Bekasi dan diajak orangtuaku
tinggal bersama kami di Lamongan.
Sejak awal datang dan
jadi anak baru di sekolah, ia memintaku berkeliling ke rumah guru-guru.
Alasannya silaturahmi, biar kenal. Lalu ia meminta diajak keliling Lamongan
naik sepeda. Bagi orang seperti aku yang lebih suka di rumah saja, rasanya
harus ke sana-sini bersama Disa terasa tidak mengenakkan.
Sekarang, Mama memintaku
menemani Disa mencari Kamboja ke tetangga di perumahan tempatku tinggal. Malam
nanti, sepupuku yang pandai menari Bali itu diminta tampil di resepsi
pernikahan tetanggaku. Disa akan menari Pendet. Jika menari Pendet, Disa
membutuhkan Kamboja untuk ditaruh ke dalam bokor, wadah berwarna perak yang
dibawanya saat menari.
“Baiklah, aku sudah
siap!” seru Disa membuyarkan pikiranku yang sedang melamun selama menunggunya
ke kamar kecil.
“Jadi, kita akan cari Kamboja
ke rumah siapa nih?” celoteh Disa sembari kami menuntun sepeda keluar rumah.
Aku cuma mengangkat bahu
dan memiringkan kepalaku ke kanan tanda tak tahu.
“Sebentar,” Disa sejenak
menghentikan langkahnya. Ia lalu terlihat seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Ah iya, kita ke rumah
Mbah Doyo saja. Dia kan punya tanaman Kamboja di samping rumahnya.”
Seketika aku langsung
melotot. “Kamu yakin? Mbah Doyo kan orangnya galak. Apa iya nanti kita
dibolehkan mengambil bunganya?”
Disa malah terkekeh
mendengar ujaranku. “Kita coba dulu.”
Sepanjang jalan sambil
mengayuh sepeda, Disa terus saja bersenandung. Sementara aku hanya terus
cemberut dengan mengerucutkan bibirku. Aku heran, panas seterik ini, kok bisa
sih dia menikmatinya sambil bernyanyi-nyanyi riang?
Sesampainya di rumah
Mbah Doyo, tetanggaku yang tinggal di dekat pintu masuk perumahan, Disa
langsung sigap turun dan memencet bel. Aku hanya tetap duduk di ataas sadel
sepedaku dan menatap gerombolan bunga bougenville berwarna oranye, merah, dan
ungu yang tumbuh di depan pagar.
Tak lama kemudian,
terdengar suara seseorang membuka pintu dari rumah Mbah Doyo.
“Ada apa Dis?” tanya
Mbah Doyo yang terlihat baru saja bangun tidur.
“Aduh, Mbah sedang tidur siang ya? Maaf, Disa mengganggu.
Sebetulnya, Disa mau minta Kamboja Mbah, buat menari Pendet,” jelas Disa.
“Ambil saja. Memangnya mau menari di mana nanti?”
“Di pernikahan anaknya Pak Agus, Mbah.”
Selanjutnya, Disa dan Mbah Doyo asyik berbincang seputar
tanaman. Disa memuji ketelatenan Mbah Doyo dalam bercocok tanam. Aku
mengedarkan pandangan ke pekarangan rumah Mbah Doyo. Ada banyak bunga warna-warni
di sana. Aku paling terkesan dengan banyaknya tanaman anggrek yang ditanam di
batang-batang pohon yang sudah mati.
“Itu temanmu, Dis?” tiba-tiba Mbah Doyo menunjuk ke arahku.
“Ini Tanti, Mbah. Anaknya Om Slamet. Sepupuku,” ujar Disa.
Aku tersenyum kikuk. Disa kemudian melambaikan tangan, memberi
isyarat agar aku turun dari sepeda dan mendekat ke arahnya.
“Pasti kamu kalau lewat sini nggak pernah menyapa Mbah. Jadinya
Mbah hanya hapal Disa,” ujar Mbah Doyo yang membuatku lagi-lagi hanya
menimpalinya dengan senyuman kikuk.
Setelah
merasa cukup, Disa lalu mengucapkan terima kasih dan pamit.
“Kapan-kapan,
Disa boleh main ke sini lagi, Mbah? Mau belajar menanam Anggrek di batang pohon
seperti punya Mbah,” tanya Disa.
Mbah
Doyo mengangguk.
“Saya
juga ikut belajar ya, Mbah?” timpalku malu-malu.
“Iya,
boleh. Mbah juga senang kalau ada yang bantu-bantu Mbah mengurus taman ini,”
kelakar Mbah Doyo.
Aku
dan Disa kompak tertawa. Dalam hati aku tak menyangka, Mbah Doyo ternyata orang
yang ramah. Padahal selama ini aku tahunya ia terkenal galak.
“Ah,
gara-gara bantu Disa mencari bunga, aku jadi punya kesempatan belajar menanam
anggrek,” batinku senang.
Dalam
hati aku jadi malu. Padahal aku orang yang sejak kecil tinggal di perumahan
itu, tapi, justru tetanggaku lebih mengenal Disa dari pada aku.
Post a Comment
Post a Comment