PKK, mendengar kata tersebut
yang ada dalam bayangan saya adalah sekumpulan ibu-ibu, berbusana hijau-hijau
mulai dari atasan hingga bawahannya, berkumpul dengan acara pembuka nyanyian
khas ala ibu-ibu PKK, lalu acara diisi dengan pembicaraan yang bermuatan untuk
kemajuan dan perkembangan para ibu-ibu PKK.
Namun tebakan saya agak
meleset kali itu! Karena yang datang kemudian memang para ibu-ibu yang
kesemuanya datang dengan sebuah tas jinjing berlabel nama masing-masing dan
berisi sejumlah beras.
Ketika sampai di rumah yang
mengadakan acara PKK, beras itupun kemudian ditukar dengan sebungkus kerupuk.
Lho kok?!
Hehehe… tapi demikianlah
yang memang terjadi pada acara tingkepan atau selamatan untuk ibu hamil yang
diadakan ibu mertua dari adik saya untuk adik ipar saya. Satu dari sekian acara
yang merupakan bagian dari syukuran tersebut adalah undangan ibu-ibu PKK yang
diadakan pada siang hari.
Tapi memang acara PKK ini
sangat berbeda dengan yang selama ini ada. Tidak ada ibu-ibu yang datang dengan
seragam hijau-hijau khas PKK. Mereka pun punya bawaan wajib yaitu beras satu
tas serta sebuah buku kecil untuk tempat catatan setoran beras.
Ukuran beras yang dibawapun
ada syaratnya.
Sesampainya di tempat yang
mengadakan acara PKK, beras yang dibawa para ibu-ibu tersebut akan dituang
dalam sebuah alat takar bermuatan 4 Kg. Di bawah alat takar tersebut akan
dihampar selembar karung untuk menadah sisa tumpahan beras.
Beras dari dalam tas akan
dituang dalam wadah hingga melebihi jumlah takaran, diratakan dengan sebuah
kayu hingga ukurannya pas sesuai dengan wadah takaran tersebut. Lalu, beras
yang berada dalam alat takar akan dikumpulan dalam sebuah karung.
Sementara, beras yang tidak
masuk takaran akan dikembalikan ke dalam tas si pembawa.
Uniknya, satu takaran beras
itu akan diganti dengan sebungkus kerupuk aneka rupa dari si tuan rumah alias
si pemilik hajatan.
Tidak asal menyetor beras. Para
ibu-ibu yang membawa beras tersebut pun akan memberikan buku kecil catatannya
kepada pihak pencatat. Isi buku itu sendiri berupa halaman-halaman yang
tercatat nama-nama para peserta PKK yang tentu saja adalah para ibu-ibu. Satu
orang, satu halaman.
Misalnya, jika PKK kemarin
berlangsung di rumah Ibu Dasim, maka si pencatat akan mencari halaman bernama
tersebut di buku si pembawa beras dan mencatat jumlah setoran beras yang
diberikan berikut kapan penyetorannya.
Si tuan rumah sendiri punya
sebuah buku catatan berukuran besar. Isinya, adalah dua buah halaman yang
bertulis nama-nama dari tetangga-tetangganya yang menyetorkan beras. Jadi jika
ada yang sudah atau belum untuk datang dan menyetor beras, si pencatat pun tahu
siapa orangnya.
Sementara nasib buku kecil
yang dibawa pembawa beras sedang dalam urusan pencatatan, pemiliknya akan
dipersilakan untuk duduk dan menikmati hidangan yang ada. Jika telah selesai,
maka mereka pun dapat pulang.
Hm… sebuah PKK yang unik
bukan?!
Gotong Royong a la Desa
Begitulah enaknya hidup di
desa. Ketika kita memiliki hajatan, cukuplah kita memikirkan segala keperluan
selain urusan beras dan para pasukan pembantu masak hingga kebersihan.
Dari acara yang
dilangsungkan ibu dari adik ipar saya kemarin saja saya melihat, ada dua
setengah karung setinggi 1 meter yang penuh berisi beras kiriman dari para tetangganya.
Wah wah wah… sepertinya
beras tersebut tidak habis hanya untuk acara selametan saja ya?
Berminggu-minggu sesudahnya pun rasanya beras itu tidak akan habis untuk
dimakan satu keluarga sendiri!
Demikian juga untuk urusan
masak atau kegiatan bersih-bersih lainnya. Si pemilik hajatan cukup tinggal
berdiri untuk menyapa para pengunjung yang datang saja. Sedangkan urusan masak
hingga pelayanan tamu akan dibantu oleh para anggota keluarga yang lain.
Itupun, ada bagian-bagiannya
sendiri lho! Mulai dari urusan membuat rujak, membuat ketan, memasak nasi,
memasak gulai, sampai cuci piring, semua ada bagiannya masing-masing. Nah,
menyenangkan bukan melihat gotong royong seperti itu?
Tapi ternyata, tidak semua
desa di tempat saya di Lamongan memiliki budaya seperti itu.
Misalnya saja sebuah desa
tempat om saya berada. Bahkan untuk urusan adanya warga yang meninggal, warga
di desa itu justru datang untuk meminta makan. Tidak ada satu pun yang datang
untuk membawa barang ala kadarnya. Selain itu, masyarakat di desa tersebut juga
tidak memiliki budaya untuk mengucapkan terima kasih dalam bentuk perkataan
saja ketika mereka telah ditolong orang lain.
Karena itulah, ketika saya
melihat begitu kentalnya budaya gotong royong di desa tempat adik ipar saya,
saya membatin, untung… sekali adik saya mendapatkan istri dari desa tersebut.
Coba kalau dari desa seperti tempat om saya. Entah apa jadinya keluarga saya
dibuat kaget akan perbedaan budaya tersebut!
Pesta Selamatan Ibu Hamil
Untuk urusan pesta atau
perayaan, umumnya masyarakat akan membuat acara besar-besaran pada urusan
pernikahan. Atau mungkin pesta dibuat ketika ada anak yang usai disunat.
Namun di desa tempat adik
ipar saya, selamatan ibu hamil atau yang sering disebut dengan tingkepan pun
lumayan dibuat besar perayaannya.
Mulai dari siang, si pemilik
hajatan akan mengundang ibu-ibu PKK untuk hadir berikut dengan acara arisan
berasnya.
Sore harinya, waktu untuk
para undangan yang datang sekedarnya.
Sementara itu malam harinya,
giliran para bapak-bapak yang datang dengan membawa uang.
Belum lagi adanya acara
ceramah di kala habis Isya’. Pokoknya benar-benar seperti hajatan orang menikah
saja rasanya!
Post a Comment
Post a Comment