Sekitar
beberapa tahun yang lalu, saya pernah mengalami cerita ini. Tentang anak-anak
yang bisa menghidupkan mushola, rumah Allah, di saat lima waktu salat wajib
tiba waktunya.
Ceritanya, suatu ketika saya
sedang bermain di rumah mbah yang berada di Tumenggungan, sebuah kelurahan di
Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan.
Entah mengapa kala itu, hati saya
tergerak memenuhi sebuah panggilan lantunan adzan yang sangat indah dari suara
seorang anak kecil melalui pengeras suara.
Mulai dari awal, saya bingung. Hanya
ada anak-anak kecil yang menemani saya berwudhu hingga komat, tanda deadline
salat di mushola itu dikumandangkan. Masih juga dari suara seorang anak kecil.
Penasaran, saya sibak sedikit
tirai pembatas jamaah laki-laki dan perempuan. Yang kemudian saya temukan
adalah, masihlah anak-anak kecil yang nampak sibuk bercanda.
“Lho, imamnya mana?” tanya saya
kebingungan karena penasaran, mengapa anak-anak ini berani mengumandangkan
adzan dan komat tanpa ada orang dewasa sama sekali.
Pertaanyaan itu hanya dijawab dengan
sikap saling tatap dan senyum-senyum dari wajah cilik mereka.
Sedetik dua detik, barulah saya
sadar, memang tidak akan ada orang dewasa di salat jamaah dzuhur kali itu. “Ya
sudah deh, salah satu jadi imamnya sana, gih!” pinta saya.
Lantas salat dzuhur saya dengan
anak-anak itu pun dimulai dan kemudian berakhir dengan lancar.
Ya namanya saja salat dengan
anak-anak, ada saja tingkah mereka yang memang tidaklah bisa berlaku tertib dan
hening selama salat berlangsung. Misalnya salat dengan selingan suara anak
bersendawa yang disengaja dan tiada henti-hentinya. Hehehe... dasar anak-anak!
Usai salat dzuhur, penasaran,
saya tanyai anak-anak tersebut.
Anak yang mengumandangkan adzan
bernama Yoga, seorang anak yang waktu itu masih duduk di kelas 4 SD. Sedangkan
yang menjadi imam dan sayangnya saya lupa namanya, masih duduk di kelas 3 SD.
Dari sekian jumlah anak-anak tersebut, hanya satu orang yang paling tua dan itu
pun masih duduk di kelas 5 SD.
“Salat seperti ini ya memang
sering kalian lakukan tanpa orang dewasa?” tanya saya yang dijawab dengan kata
iya dan anggukan kepala dari anak-anak tersebut. Mereka sendiri tidak tahu,
mengapa mereka kerap hanya berjamaah tanpa orang dewasa.
Uniknya, saya dengan naif bisa
bertanya, “Lho, hari Minggu begini ini apa orangtua kalian tidak libur?” tanya
saya lugu demi berpikir, jika anaknya saja bisa salat berjamaah di mushola,
mengapa orangtuanya tidak?
Pertanyaan saya dijawab balik
dengan wajah keheranan dari anak-anak tersebut. Pasalnya, orangtua mereka
bukanlah pegawai yang bisa libur di hari Minggu.
Mereka anak-anak dari orangtua
yang terus mengais rezeki setiap hari untuk membuat dapur tetap mengepul.
Saat berjalan pulang, saya
membatin berbagai pikiran. Suara adzan yang sungguh cantik, dan anak-anak yang
mandiri dengan tetap bersama membuat rumah Allah itu tetap berfungsi sebagai
mana mestinya.
Sungguh, andai saya orangtua
mereka, banggalah saya pastinya memiliki anak-anak seperti itu yang tanpa saya
sebagai orangtuanya, meminta mereka dalam sebentuk perintah wajib!
Post a Comment
Post a Comment