Dulu sewaktu saya mengajar di sebuah taman
penitipan anak, saya pernah mengajak mereka bermain corat-coret alias
menggambar.
Medianya mulai dari kertas, sampai tembok,
lho!
Yang namanya anak-anak, tentu sering hasil
gambarnya absurd alias tidak bisa dilihat wujud benda nyatanya apa.
Bahasa simpelnya, gambar benang kusut. Yang
namanya warna satu bisa lari ke mana, garis coretan bisa lari ke mana juga.
Tapi, jangan tertawakan atau pandang sebelah
mata dengan kegiatan ini berikut hasil dari si kecil.
Pasalnya, kegiatan corat-coret ini bisa
melatih anak tentang beberapa hal, lho.
1. Melatih imajinasi
Pernah suatu ketika setelah saya mengajak
anak-anak di taman penitipan anak waktu itu, saya tanyai mereka, apa judul dari
lukisan mereka.
Awalnya beberapa anak yang kebanyakan berusia
tiga hingga empat tahun itu kebingungan. Mereka hanya terpikir asal
corat-coret.
Eh, nggak tahunya bu gurunya malah nanya apa
judulnya. Bingung deh merekanya!
Tapi ada satu anak yang kemudian menjawab.
Kembang api.
Sejenak saya tertegun melihat hasil
coretannya.
Iya juga sih. Kalau dipikir-pikir, coretan
semrawut warna-warni di kertas yang ia pegang itu memang mirip kemeriahan
kembang api.
Melihat hal itu, teman-temannya juga nggak
mau kalah. Apalagi setelah saya memuji si anak yang berhasil duluan menjawab
tadi.
Jadilah yang lain berlomba-lomba dengan
jawaban: sapi, taman, kerbau, sampai Power Rangers.
Saya tersenyum sambil mengamati gambar setiap
anak. Padahal kalau dibandingkan dengan gambar si anak yang pertama menjawab,
asli, nggak ada bedanya.
Tapi saya pikir waktu itu, oke, marilah kita
berimajinasi dengan suka hati. Toh para pelukis terkenal yang gambarnya sering
abstrak pun bisa memberikan judul lukisannya dengan sesuatu, yang menurut saya,
juga tidak nyambung.
Mungkin, judul sapi dkk tadi adalah judul
desakan karena anak-anak ini juga ingin diakui. Maklumlah, anak balita.
Tapi di kesempatan lain, siapa tahu mereka
makin memiliki arah akan setiap coretan yang mereka buat. Tidak lagi membuat
sapi yang sebetulnya adalah kembang api.
Komik karya keponakan saya, Rafa. Anak ini makin hari makin punya majinasi tinggi yang kerap ia tuangkan dalam bentuk komik. |
2. Mengenal warna
Tentu, yang namanya corat-coret menggunakan
alat tulis atau pewarna aneka warna.
Di usia balita, kebanyakan anak memang masih
belum mengenal warna. Mereka hanya tahu mengambil alat warna, menorehkannya,
lalu terpikir warna apakah itu pas atau tidak dipadankan dengan warna yang
lain.
Buat beberapa anak, meski balita, ada lho
yang sudah mahir padu padan warna berdasarkan pantas tidak pikirannya saja
tanpa ia tahu nama warnanya.
Nah kalau yang seperti ini, bisa jadi itu
karena bakat. Dan kegiatan corat-coret inilah yang akan mengasah kemampuannya.
Bagi anak lain, kegiatan corat-coret bisa
didampingi orang dewasa yang akan menyebutkan warna dari setiap yang dipilih
anak.
Bila kegiatan ini sering dilakukan, anak pun
jadi mudah menghapal nama warna.
Kay saat usia 16 bulan sudah mulai mengenal alat tulis yang sekaligus membuatnya mengenal warna. |
3. Menstimulus kemampuan gerak jari
Kegiatan corat-coret bisa masuk ranahnya
motorik halus. Anak distimulus untuk menggerakkan jari jemarinya.
Coba deh amati, ada lho anak yang meski masih
berusia kurang dua tahun, tapi ia sudah bisa memegang alat tulis seperti cara
yang seharusnya.
Ada juga yang masih memegang alat tulis
dengan menggenggam penuh. Mirip seperti orang memegang tombak.
Tapi apapun itu, biarkan saja mereka mengenal
alat tulis dulu dan menggunakannya sesuai dengan kemampuan mereka.
Sekali lagi, karena kegiatan ini untuk
menstimulus motorik halus mereka.
Lalu, kapan mereka belajar cara yang benar?
Saya sendiri sih lebih memilih untuk
mencontohkan cara memegang alat tulis dengan mendampingi mereka mencorat-coret.
Untuk jenis anak visual, biasanya mereka
mudah menirunya.
Kalau kita sedang berhadapan dengan anak yang
mudah diarahkan, bisa juga kok kita bantu mereka membetulkan cara memegang alat
tulis. Tentu, sifatnya bukan paksaan.
Saat usia dua tahun empat bulan, gerakan tangan Kay sudah makin mahir memegang alat tulis karena kebiasaan bermain dengan alat tulis. |
4. Sarana rekreasi anak
Corat-coret sesuka hati bisa jadi cara anak
untuk bermain. Tentunya bisa jadi ajang rekreasi atau hiburan bagi anak.
Rafa menggambar untuk membuat pola wayang kertas. |
5. Melatih konsentrasi
Untuk tipe anak pemikir, yang sudah terpikir
warna apa enaknya dipadukan dengan warna apa, corat-coret hampir mejadi
kegiatan yang tidak bisa sesuka hati.
Bagi anak-anak tipe ini, kegiatan menggambar
kemudian bisa menjadi cara mereka untuk melatih konsentrasi.
Selain pengalaman dengan anak-anak di taman
penitipan anak sebelumnya, saya juga memiliki cerita berbeda dengan anak dan
keponakan saya.
Keponakan saya yang bernama Rafa, saat ini
usianya hampir delapan tahun dan sudah duduk di bangku SD.
Sepanjang perjalanan Rafa dengan alat tulis
gambarnya, ia memulai dari tahapan corat-coret biasa bin ngawur, mulai mengenal
bentuk, dan sekarang malah ia memiliki kelebihan spasial bayang ruang.
Kemampuan spasial bayang ruang Rafa membuatnya
bisa membayangkan bentuk yang sudah dia lihat, lalu menggambarkannya di atas
kertas.
Kalau sekarang-sekarang ini, ia sedang hobi
membuat komik. Jadi dia membuat gambar sekaligus ceritanya.
Kadang saya sampai mikir, nih anak kelak bisa
diajak duet ngerjain buku cerita anak kayaknya!
Sedangkan Kay yang usianya sekarang 19 bulan
adalah tipe anak visual.
Jadi ceritanya, saya suka corat-coret
coloring book sambil menemani dia bermain.
Eh, nggak tahunya dia bisa menirukan cara
saya memegang pensil warna.
Malah saat ini, saya harus berhati-hati jika Kay
sudah menggenggam alat tulis. Dia paling nggak bisa lihat tembok nganggur.
Walhasil, saya biarkan ia untuk
mencorat-coret di tembok kamarnya.
Pasti pada punya pengalaman seru juga kan dengan
aksi corat-coret si kecil? Yuk, cerita yuk…
Post a Comment
Post a Comment