Saya tidak akan lupa atas apa yang pernah terjadi
pada Kay waktu itu.
Bayi yang baru beberapa hari melewati usia
satu tahunnya saat itu, harus melewati sembilan jam kondisi otot kaku yang tak
saya sadari sedikitpun.
Semua berawal saat ia mengalami muntah-muntah
sebanyak empat kali sejak Selasa siang hingga malam sebelumnya. Lalu makin
malam, perutnya kembung. Suhu badannya juga makin naik.
Karena Kay tidak suka minum obat, saya lalu berusaha
sebisa mungkin memilih cara alternatif.
Saya buatkan campuran irisan bawang merah dan
minyak telon buat Kay. Setelah itu, saya usap bagian perut, punggung, dan
telapak kakinya dengan campuran tersebut.
Namun keesokan pagi harinya, kondisinya tak
juga membaik.
Akhirnya saya dan suami berinisiatif
membawanya ke bidan yang terkenal kerap menyembuhkan anak-anak yang sakit.
Sepulang dari sana, saya mendapat tiga obat:
antimual-muntah, antikembung, dan lactobacylus. Ketiganya lalu segera saya
minumkan.
Dan di situlah semuanya bermula.
Awalnya Kay akhirnya bisa tertidur pulas. Dia
tidak lagi rewel. Saya merasa lega karena melihat Kay yang sepertinya sudah
membaik.
Namun ketika bangun tidur, lambat laun
keceriaannya berubah menjadi wajah mungil yang terus menatap ke arah atas.
Semula saya kira ia tertarik pada benda yang
sedang dilihatnya. Saat saya ambilkan benda tersebut, tangannya menampik.
Beberapa waktu kemudian posisi tidurnya saya
ubah. Eh, Kay kembali menatap ke arah atas.
Bingung juga jadinya. Lalu saya telusuri
sambil penasaran, apa sih sebetulnya yang menarik perhatian Kay?
Saat menjumpai bayangan beberapa boneka besar
yang kerap tak ia suka, area itu kemudian ditutupi koran oleh ibu saya.
Namun pandangannya tak juga beralih, membuat
saya dan ibu mulai gelisah.
Kay kemudian digendong ibu saya. Kata Ibu, mungkin
Kay sawan pengantin karena beberapa waktu lalu diajak ke pernikahan kerabat
suami saya.
Jadinya, ibu lalu mendesak suami saya untuk
memintakan bedak pengantin untuk diusap ke tubuh Kay.
Makin lama, tatapan mata Kay makin terlihat
kosong. Ia masih saja sering menatap ke atas.
Malah saat disusui, saya lihat matanya
menjadi juling.
Tak hanya itu. Makin sore, tubuh Kay makin
lemah.
Anak yang biasanya penuh teriakan, tawa, dan
kaki yang aktif menendang, saat itu tidak lagi saya jumpai.
Beberapa jam kemudian, Kay tidak mau saya
susui.
Sorenya, suami lalu mengajak ke dokter anak
langganan kami.
Di situlah kami baru tahu, ternyata ada dua
obat yang seharusnya tidak boleh diminumkan ke Kay.
Obat yang maksudnya untuk mengatasi kembung,
malah merupakan obat maag. Padahal Kay tidak sedang sakit maag.
Lalu yang paling membuat saya terkejut adalah
keterangan dokter tentang obat antimual yang telah saya minumkan ke Kay. Karena
sebetulnya dari obat itulah, Kay jadi terlihat aneh.
Saat itu saya bertanya, kenapa anak saya jadi
melulu menatap ke atas. Padahal sampai pagi hari itu tidak demikian.
"Ya itu akibat obat antimualnya itu.
Dulu saya pernah ketemu kasus kayak gini. Anaknya sampai melotot terus ke atas
terus kejang-kejang. Orang tuanya sudah manggil paranormal segala. Padahal
anaknya kena efek obat itu."
Saya dan suami langsung merasa lega mendengar
keterangan dokter.
Selain jadi tahu penyebabnya, saya dan suami jadi
makin percaya bahwa memang tidak ada yang namanya sawan penganten.
Segera kami pulang ke rumah. Namun saat kami
usai shalat maghrib, saya yang sedang meracik bubur untuk Kay, dikejutkan oleh
suara suami yang meminta saya segera datang.
"Mi', anake kena apa iki lo?"
Saya lihat kedua tangan Kay sedang mengepal
kencang.
Sebisa mungkin suami saya mencoba
mengendurkan kepalan tangannya.
Sadar apa yang terjadi pada Kay dan sekilas
teringat masa kecil adik saya yang kerap kejang, saya cek mulut Kay.
Gigi-giginya sedikit mengatup. Namun tidak
begitu kencang menggigit.
Kay segera saya angkat dan saya dudukkan di
pangkuan.
Pelan-pelan, saya suapi ia dengan biskuit
bayi kesukaannya agar ada sesuatu yang bisa ia gigit.
Sementara itu, suami segera melarikan motor
kembali ke dokter anak sebelumnya karena saat kami telepon, pihak klinik malah
meminta kami untuk datang meminta obat antikejang.
Lambat laun, kepalan tangan dan katupan gigi Kay
mengendur. Lega melihatnya pelan-pelan mau makan.
Meski dalam hati saya bingung, kenapa saya
merasakan tubuhnya terus gemetar di pangkuan saya.
Saat Kay melihat gelas, ia merengek yang lalu
saya pahami sebagai kebiasaannya meminta minum.
Usai minum, saya minumkan sekalian obat dari
dokter anak. Obat berhasil masuk.
Sesudahnya, saya lihat Kay menjulur-julurkan
lidahnya. Kembali saya beri air putih. Tapi Kay seperti kesulitan menelan.
Segera saya susui Kay. Senang rasanya saat ia
kembali mau menyusu ke saya.
Namun beberapa saat kemudian ia malah
menggigit dan terus makin kuat. Saya lepas sebisa mungkin dan saya ganti dengan
jempol tangan saya.
Gigitannya makin mengencang hingga saya
kesakitan. Sambil panik, ibu segera mencari perban untuk mengganjal katupan
gigi Kay.
Pikiran saya dan ibu sama. Kami langsung
segera membawa Kay ke IGD. Bergegas, ibu menggendong Kay dan membawanya pergi
naik becak.
Sementara, saya terpaksa menunggu beberapa
saat di rumah karena suami belum pulang dari dokter anak dan ayah saya masih
keluar membeli lauk makan malam.
Saat akhirnya saya dan suami bisa menyusul
becak yang dinaiki ibu, segera saya angkat Kay agar kami bisa lebih cepat
sampai ke IGD.
Petugas IGD langsung menyediakan tempat tidur
dan obat-obatan. Setelah saya ditanya berat badan Kay, selang oksigen segera
dipasang.
Obat segera dimasukkan ke dalam dubur. Alat
deteksi jantung dijepitkan di jempol kaki anak saya.
Senyum saya pecah saat melihatnya bisa teriak
lagi, menangis, dan menggerak-gerakkan kaki dan tangannya. Karena hampir
seharian, saya sulit menjumpai itu semua.
Setelah beberapa saat observasi, dokter lalu
meminta Kay untk rawat inap mulai malam itu.
Semua tanda tanya besar saya terjawab saat
dua kali kunjungan dokter anak yang mengecek kondisi Kay selama opname dua hari
berturut-turut.
Kay
tidak Kejang
Meski segala yang terjadi membuat kami
menyimpulkan bahwa Kay telah kejang, ternyata tidak demikian menurut dokter.
Kalau tidak salah, dokter mengistilahkannya
dengan Extrapyramidal symptoms.
Ini berbeda dengan kejang. Jika kejang, anak
atau bayi tidak akan bersuara.
Beda dengan extrapiramidal symtomps yang dialami
Kay. Saat itu, Kay masih bisa mengelurkan suara rintihan tangis.
Ini benar-benar jadi pengetahuan baru buat
saya dan juga para dokter muda yang saat itu mengikuti dokter anak yang sedang
kunjungan untuk memeriksa Kay.
Karena di histori lembar data Kay, kasus yang
dialami Kay ditulis dengan bahasa kejang. Padahal aslinya seharusnya bukan
demikian.
Akibat
Zat Metoclopramide
Obat antimual dengan kandungan ini sebetulnya
tidak boleh diberikan pada anak-anak.
Dari hasil cerita dengan bulek saya atau saat
baca di internet, ternyata ada beberapa orang yang bisa mengalami efek samping
berupa kejang otot. Ada yang lehernya menjadi kaku.
Sementara adik sepupu saya, anaknya bulek,
pernah sampai lidahnya tergulung ke belakang dan membuatnya susah berbicara.
Gara-garanya ya sama kayak Kay, usai meminum
obat antimual dengan kandungan metaclopramide.
Extrapyramidal symptoms memang efek samping
dari obat anti mual. Jika tidak diwaspadai, bisa berlarut-larut dan akhirnya
fatal akibatnya.
Ini akan jadi catatan bagi histori kesehatan
untuk anak saya.
Selanjutnya, saya maupun siapapun, harus
waspada dengan zat metoclopramide yang mungkin terminum Kay. Meski apapun merk
obatnya.
Satu hal yang juga saya syukuri. Alhamdulillah
Kay selamat dari kecerobohan saya yang tidak paham bagaimana mengatasi anak
dengan kondisi kejang atau extrapyramidal symtomps.
Seharusnya, saya tidak boleh menyuapinya atau
memasukkan tangan untuk mengganjal giginya yang mengatup rapat.
Kini, saya jadi lebih waspada untuk selalu
siap sedia termometer dan obat penurun panas di rumah.
Sebelumnya, saya akui kalau saya itu
'ndablek' dengan yang namanya suhu tubuh Kay.
Pasalnya, saya amati bayi saya itu mirip
dengan abinya yang kerap memiliki suhu tubuh lebih tinggi dari orang
kebanyakan.
Biasanya jika sumeng, saya cukup susui saja
dan setelah itu Kay akan banyak berkeringan dan lalu suhu tubuhnya kembali
normal.
Jadi buat para orangtua, benar-benar waspada
deh ketika anak minum obat antimual atau bila anak terlihat kejang.
Jika minum obat antimual, yang sebetulnya
juga untuk obat apapun sih, waspadai kandungan obat tersebut. Kira-kira, ada
zat yang membahayakan bayi atau anak kita nggak?
Lalu jika anak kejang, kita juga perlu tahu
bagaimana cara mengatasinya.
Semoga cerita saya tentang Kay yang penah
alergi obat mual dan pernah (terlihat) kejang waktu itu jadi tambahan
pengetahuan buat para orangtua sekalian.
Post a Comment
Post a Comment